Tanggapan Baby Muhammad Ichsan di Postinganku Yang "Terpaksa" Harus Ku Hapus

Menarik diskusinya... Jadi ingin ikutan nih..

Saya mencoba mencermati berbagai pendapat di sini sehubungan "Fiksi, Karya Sastra, Pengalaman, Peran Didaktis dari Karya Sastra, Cara Memandangnya."

Izinkan saya juga berpendapat.

Terlepas dari berbagai penjelasan definitif tentang fiksi yang banyak sekali dikemukakan para ahli, saya berpendapat fiksi sebagai dunia serba-mungkin. Mengapa saya katakan demikian? Memang betul bahwa pengalaman individual penulis berperan besar dalam upaya rekonstruksi kenyataan-kenyataan baru dalam fiksi. Tetapi, berbagai pengalaman penulis tersebut sudah mengalami pergeseran ketika sudah diubah ke dalam karya fiksi. Sebab, sudah tak mungkin sama persis dengan realitas awal yang sebelumnya dialami penulis. Kenyataan dalam karya fiksi yang ada di dalam karya sastra berbagai jenre tersebut, sungguh merupakan kenyataan baru hasil aktivitas imajiner penulis yang mengolah pengalaman-pengalaman pribadi. Fiksi sebagai dunia serba-mungkin mengarah pada "mungkin saja realitas fiksional yang tersaji sama persis atau pun bisa jadi realitas fiksional tersebut sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan yang kita kenali sehari-hari". Bahkan, fiksi tetap berada pada posisinya yang independen sekalipun karya fiksi tersebut serupa benar dengan kenyataan dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang bisa kita temukan dalam karya sastra beraliran realisme.

Lalu, ketika kita bicara "fiksi yang memancing syahwat" tentu kita mesti bicara persepsi dan sudut pandang antara pembaca "karya fiksi genit" sebagai penikmatnya dan penulis yang berfantasi. 

Pembaca mungkin saja menginterpretasi: "Wah, gile bener ceritanya... Sampai gelisah ane bacanya, nih..." Artinya, pembaca dengan sudut pandang pribadinya yang didorong niat tertentu "mengindentifikasikan diri sendiri" sebagai bagian kenyataan hidup dalam realitas fiksional karya. Lantas, niat yang bagaimana sampai bisa mendorong pembaca terserap lesap ke dalam "karya fiksi genit", saya kira hanya pembaca sendiri yang tahu. Namun, fiksi tetaplah dunia khayal dengan kenyataan serba-mungkinnya. Fiksi bertujuan sebagai fasilitator yang memudahkan pembaca untuk relaksasi sejenak. Kalau tak percaya, coba siram dengan seember air orang yang sedang menikmati karya fiksi yang berkisah tentang "usaha mati-matian untuk melestarikan diri melalui persetubuhan" yang dilakukan sepasang kekasih saat hujan badai di atas perahu. Dijamin si pembaca karya fiksi genit tadi akan bilang : "Wah, dinginnya kok beda, yah, dengan dingin hujan badai yang kubaca dalam cerita ini..."

Selanjutnya, saya juga ingin berpendapat bahwa karya sastra pun jelas sangat fiksional. Lalu, ketika kita bicara sebuah karya sastra "mesti mendidik" khalayak pembaca, mungkin saya agak berpandangan berbeda sehubungan dengan hal ini. Verba "mendidik" tentunya berhubungan dengan pembicaraan peran fungsional karya. Pandangan saya untuk hal ini, karya sastra mengarahkan benak pembaca untuk mengambil apa saja yang berfaedah sebagai rujuk acuan. Nah, di sinilah kita melihat bahwa pembaca berpengharapan untuk menemukan sesuatu yang berguna dari apa yang dibacanya (entah itu pengalaman seks, petualangan ganjil mencekam seperti dalam kisah horor dan misteri, cara beretorika, dan banyak lainnya lagi.). Tapi, tentunya berhubungan dengan perspektif pribadi si pembaca yang melakukan proses penafsiran terhadap bacaannya. Hanya jangan lupa bahwa karya sastra tadi tetap saja hasil kreativitas imajiner si penulis, dan tentunya tetap fiksi dengan dunia serba-mungkin berkenyataan fiksional yang independen.

Saya mencermati dalam artikel ini bagaimana Auda berdebat dengan komunikannya setelah dia membacakan sebuah karya fiksi berjudul: “Kutancap Cinta di Selangkanganmu” . Saya melihat bahwa lawan bicaranya memang memiliki pandangan yang tak terlalu luwes, dan lebih-lebih lagi serta-merta lawan bicara tadi tanpa ia sadari telah melakukan identifikasi / penghayatan diri secara total seolah-olah dirinya sendirilah yang sedang "menancapkan cinta di selangkangan."

Pertanyaannya sekarang adalah: "Benarkah ia sudah terserap akibat kurangnya pengetahuan tentang fiksi dan karya fiksi bersama kenyataan serba-mungkinnya?"

Saya berpretensi untuk menjawab dengan tegas "ya". Mengapa? Sebab, terbukti ia marah-marah setelah mendengar karya fiksi genit yang dibacakan Auda padanya. Bahkan saya sempat curiga bahwa lawan bicaranya sebelum marah-marah bisa jadi telah berhasil menikmati sejenak "fantasi secelup dua celup" dari identifikasi dirinya sendiri yang terserap sebagai bagian realitas fiksional dari karya fiksi "“Kutancap Cinta di Selangkanganmu” yang mensugestikan melalui imaji-imaji hasil konotasi makna tiap kata dan kalimat, membangun suasana kegiatan "penancapan batangan cinta berotot pada selangkangan." Sayang sekali bukan? Lawan bicara Auda tak mampu menjaga jarak antara dunia fiksi dan interpretasinya sendiri terhadap kenyataan fiksional di dalamnya. Lalu, serta-merta muntab dan menghakimi bahwa karya fiksi ini sama sekali tak berfaedah. Sebaliknya, bila kita tinjau bahwa sastra yang "Dulce et Utile" itu sendiri juga senantiasa memberikan manfaat sekalipun menyajikan petualangan "secelup dua celup". Karya sastra yang genit juga mendidik. Setidaknya, karya sastra yang genit memberikan pengetahuan cara yang baik dan benar tentang "bergenit-ria".

Lalu, bagaimana bila karya sastra genit tadi ditinjau secara moral? Wah, bagi saya pribadi karya sastra semestinya dihubungkan dengan dunia seni yang mengabdi seni itu sendiri. dan, seni selalu saja untuk eksistensi keindahan. Tentunya, akan senantiasa bertolak belakang dengan kaidah moral. Bisa jadi moral mengatakan ilustrasi petualangan seksual yang ada di dalam karya sastra penuh lubang-lubang yang mengantarkan pada pintu neraka. Tapi, seni akan mengatakan bahwa karya sastra genit dapat mengantarkan pada pengetahuan tubuh sebagai "keberadaan estetis", mengantarkan pada surga keindahan petualangan secelup dua celup yang saya saja tak munafik untuk mengatakan petualangan sedemikian adalah relaksasi kepenatan (ingat kembali fungsi menghibur karya sastra).

Demikian pendapat saya.     

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate