Pertanyaan Dari Pelacur Kepada Negaranya


13572558221840313472
http://manado.tribunnews.com

Menjajakan diri di pinggir jalan bukanlah mauku, namun sepertinya ini adalah jalan hidup yang harus kutempuh. Perutku harus ku isi. Aku juga pantas mengenakan pakaian bagus seperti layaknya wanita kelas atas. Aku juga ingin punya barang mewah seperti kalian yang selalu pamerkan harta benda jerih payah orang tua kalian di hadapanku.

Kini, kalian hanya mampu berkata, “Mengapa tak mencari pekerjaan lain?” Atau mengulitiku dengan ucapan wanita jalang perebut suami orang, perusak rumah tangga mereka yang dianggap suci dan luput dari dosa karena mereka duduk di bangku kayu terhormat di ruangan yang katanya menampung aspirasi dari rakyat kecil sepertiku.

Hidupku berbeda dengan kalian. Kalian tak tahu apakah aku dapat memamahbiak seperti kalian sebanyak mungkin? Kalian juga tak tahu, apakah aku sempat memakan bangku pendidikan? Kemiskinan telah membutakan mata hingga aku menghalalkan segala cara agar aku dapat bertahan hidup. Aku hanyalah gadis yang tak pernah bisa membaca, namun dapat menghitung jumlah uang. Itu pun karena dulu membantu pekerjaan orang tuaku di kampung dan mendapat bayaran dua ribu rupiah per kilogram sampah yang berhasil kukumpulkan.

***

Kini aku hidup di kota. Sedari kecil aku dibawa ke kota oleh tetangga yang darinya juga kuketahui pasal 34 UUD 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara”. Mana? Mana realisasi pasal tersebut? Sedari masih miskin di kampung, negara tak pernah melihatku. Jangankan negara, kepala desa pun enggan meringankan langkahnya untuk ke gubukku yang sering terendam banjir ketika sungai meluap jika hujan deras tiba. Beginikah nasib rakyat kecil di mata negara?

Jika kami mencuri sendal dan buah kelapa milik tetangga, baru ramai-ramai kami dipotret dan diwawancarai hingga wajah buruk kami tertempel di berbagai media dan di tonton oleh negara. Dimana keadilan untuk kami rakyat jelata yang tak tahu hari ini bisa makan atau tidak? Yang kaya makin kaya, sementara yang miskin seperti kami makin digencet hingga terpaksa memiskinkan diri sendiri.

Itulah hidup pahit yang pernah kurasakan di kampung dulu sampai aku dibawa ke kota oleh tetanggaku sehabis jasad orang tuaku dikuburkan. Mereka telah menghadapNya. Kalian tahu mengapa? Kalian tak tahu, bukan bahwa mereka meninggal karena kemiskinan, sebab menahan lapar dan penyakit yang tak kunjung sembuh. Bagaimana bisa sembuh sementara beras saja mesti mengharap tetangga yang mau berbaik hati menolong kami.

*

Kini aku telah menjadi gadis dewasa berumur dua puluh tahun yang mampu bertahan hidup dengan merelakan tubuhku untuk dijamah para lelaki yang mampu membayarku mahal. Mengapa aku sampai menjual kemolekan tubuhku? Tetangga yang membawaku ke kota telah dibunuh oleh anak buah sang mucikari yang menculikku hingga aku terjerembab ke liang dosa ini.

Aku tahu ini dosa namun tak punya pilihan lain. Aku harus hidup walaupun aku harus menjamah lembaran merah jambu dari para pria hidung belang yang mampu membayar jasaku memuaskan nafsu setan mereka. Dari sang mucikari, uang itu di potong lagi hingga aku terkadang cuma mendapat seratus atau paling banyak dua ratus ribu. Aku tak mampu berontak, jika aku melawan maka aku tak mendapat uang, sebab wajahku yang selalu tampak cantik berdempul bedak dan blush on akan memar dihajar sang bodyguard mami. Ya.. mami mucikari itu lah yang memerah selangkanganku.

Kehidupanku biasa saja. Hari ini dipelukan Pak Budi, besok ditindih oleh Om Heri atau lusa? Entah lelaki mana lagi yang akan memintaku untuk memuaskan nafsu bejat mereka. Setelah menjalani ritual bersama mereka, aku mendapat lembaran merah jambu yang biasanya disebut uang tip. Aku tak meminta, mungkin karena mereka sangat puas dengan layananku. Tak jarang, kamar kami didatangi oleh istri-istri mereka yang tak segan menamparku serta menyeret suaminya pulang sambil bertelanjang dada tanpa sempat memberiku uang.

*

Aku merasa tak adil dengan perlakuan sang mami, aku tak tahan lagi hingga suatu pagi sehabis dinas di hotel bintang lima dan mendapat uang tip dua juta rupiah dari pejabat yang kulayani semalam, kuputuskan untuk tak kembali ke rumah penampunganku. Aku pergi dengan selembar tank top dan rok mini yang masih melekat di tubuhku. Kulangkahkan kaki dan merelakan mata para pejantan menelanjangi tubuhku ketika aku hendak menuju terminal. Pergi ke kota lain adalah tekadku.

Niat awalku adalah untuk mencari pekerjaan lain, namun tak jua kutemui. Di kota baru, aku tak mungkin hanya diam di kamar kost tanpa mencari uang sebab tak selamanya uang dua juta rupiah itu cukup untuk hidupku. Aku sadar itu. Mau tak mau, aku harus kembali ke lembah hitam, menjajakan diri lagi. Namun kali ini tanpa potongan karena aku berdikari,What the hell is this? Setidaknya aku mencari uang dan uang itu sepenuhnya untukku tanpa discount dari mami. What.. Discount? Bukan discount, tepatnya pemotongan jatah. Kali ini aku harus menjajakan diri di pinggir jalan. Setidaknya ini halal kulakukan, tak seperti mereka-mereka para petinggi yang dibui karena kasus korupsi.

*

“Oh negara, masihkah pasal 34 UUD 1945 itu berlaku,” Tanyaku si gadis miskin penjaja cinta satu malam di pinggir jalan. Jika memang masih berlaku, tolong perhatikan kami yang hidup di kampung. Perhatikan si miskin yang berserak di perkampungan kumuh supaya mereka tak salah jalan sepertiku yang telah bergelimangan dosa ini.

Tuhan.. sadarkanlah mereka yang katanya wakil rakyat supaya mampu dan mampu, minimal melihat kami atau mengentaskan kemiskinan yang terus kami geluti. Hanya do’a itu yang mampu si pelacur ini panjatkan kepadaMu Ya Tuhan, walaupun tak kutahui akan Engkau dengarkan atau tidak.

*

Dalam gelapnya kamar,  4 Januari 2013

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate