“Dasar PHP. Gak akan kamu dapatin perempuan lajang yang mau sama duda PHP sepertimu.” Ucapku sendiri saat pikiranku kalut.
***
Bagaikan petir di siang bolong, kenyataan yang paling menjijikkan itu pun harus kualami lagi. Situasi yang merelakanku nodai prinsip kesendirianku selama setahun belakangan ini, hampir saja terjadi. Awalnya, ini adalah sejumput cahaya terang. Akhirnya, cahaya itu pula yang tega membunuhku lagi, membuangku kembali ke alam bawah sadarku seketika, seperti sang pendahulu yang dengan mudahnya melumat jantungku, menjadikanku seperti perempuan bodoh.
Namun kau salah, aku tak bodoh seperti perempuan lain yang kau beri harapan kosong, seperti banyak perempuan yang asyik berbalas mention di Twittermu. Kau pikir aku telah mencintaimu? Tidak! Salah kalau kau berpikiran begitu. Seharusnya kau gunakan akalmu. Kita belum lama berkenalan, bagaimana mungkin aku bisa merelakan hatiku untukmu?
***
“Hai, apa kabarmu?” tegurmu pada akun @afniputri milikku.
“Baik.” jawabku sekenanya. Jawabanku singkat memang, sebab aku tengah membentengi diri dari kaum sebangsa Ari, si mantan yang masih memohon untuk kembali padaku.
“Kok singkat gitu jawabnya, lagi PMS ya? Follow back aku ya. Hehehe” balasnya lagi.
“Gak juga, ntar deh aku follow.” Balasku lagi sekaligus memfollownya.
***
Setelah lama saling berbalas mention, aku berpikir bahwa orangnya memang asyik diajak ngobrol. Terlebih, tanpa ragu, ia juga menceritakan persoalan pribadinya di timeline. Nah, ini yang aku tak suka. Seperti kebiasaanku, aku tak terlalu suka segala privacy diumbbar di timeline Twitter atau wall Facebook. Lalu aku menggiringnya ke Direct Messsage dan obrolanpun kita lanjutkan di sana. Obrolan pun makin nyambung dan diakhiri dengan ia meminta nomor ponselku. Tak lama ia langsung menghubungi ponselku dan kita berbicara panjang lebar tentang rencananya ingin menikah lagi. Rencana yang mengejutkanku. Kita belum pernah bertemu, bagaimana mungkin dia membicarakan itu padaku? Memang aku tahu, dia memiliki seorang anak tapi tak etis rasanya jika harus membicarakan itu, bukan?
Semakin hari hubungan kami semakin dekat. Dia sering mengirimkan BBM kepadaku dan mementionku di twitter. Lagi-lagi aku tak suka pembicaraan pribadi diumbar di media sosial. Aku pun mengarahkannya untuk di BBM atau di DM. Dia mungkin memang suka memperlihatkan keakraban secara berlebihan di timeline, sedangkan aku? Tidak!
***
“Tolong jangan mention yang mengundang perhatian orang di timelineku. Kalau ada yang privat, DM atau BBM aja.” Terangku suatu hari saat dia menghubungi ponselku.
“Lho, kenapa gitu? Biar fans-fans twittermu tahu, kalau kamu itu milikku.” Jawabnya.
“Aku gak suka. Bagiku, media sosial ya tetaplah media sosial. Gak perlu diperlihatkan kalau dekat sama orang. Lagi pula, aku bukan milik seseorang. Aku milik khalayak kalau di Twitter. Lagian kamu itu mau dekat sama aku, apa sama twitterku sih?” jawabku panjang lebar.
“Ya kamulah, kan kamu calon ibu dari anakku.” Jawabnya dengan tawa.
“Ya udah kalau gitu. Kita ya kita. Gak perlu di twitter. Lagian kan kita gak pacaran. Dari awal aku sudah bilang, aku masih kuliah, masih mau ngerjain skripsi. Masih mau kerja sebelum menikah.” Kataku.
“Tapi aku mau secepatnya. Gak usah kuliah lama-lama. Berapa sih kerjain satu skripsi? 5 juta? Aku transfer deh. Yang penting, selesai wisuda, kita nikah.”lanjutnya.
“Apa-apaan ini? Tiba-tiba gitu. Kalau kamu mau tahu, orang tuaku saja gak setuju kalau aku menikah dengan duda!” terpaksa kukatakan itu karena paksaannya.
“kenapa begitu?” suaranya melemah.
“Yaiyalah. Pokoknya gitu. Kalau kamu memang serius dan gak Cuma PHP sama aku, temui orang tuaku. Gampang, kan?”
“Akan kutemui.” Jawabnya lagi.
***
Hari demi hari kita lalui seperti biasa, aku di sini asyik bersama kuliah dan teman-teman komunitasku dan dia di sana dengan pekerjaannya. Dia pun tak pernah mention di twitterku lagi. “Hmm.. dengan begini, aku bisa tenang.” Pikirku suatu hari sebelum aku men-stalking TL twitternya.
Kenapa aku lakukan itu padahal aku tak mencintainya? Jelas itu harus kulakukan, sebab gelagatnya seharian ini begitu mencurigakan.
***
Aksi stalking pun dimulai, dan aku menemukan bukti yang membuatnya tak mampu berkelit ketika kutanyai. Di sana terlihat jelas bahwa dia aktif berbalas mention dengan seorang perempuan bersuami. Isinya gombalan layaknya alayer yang tak layak diungkapkan pada istri orang, apalagi diucapkan oleh pria seumuran dia. Aku yang melihatnya saja sungguh malu bercampur muak. Aku jadi berpikir, ternyata ia tak mempermasalahkan argumenku tentang mention karena ia telah menemukan santapan baru. Ia tak berpikir, bagaimana perjuanganku dalam hal melobi orang tuaku terkait dia.
***
“Ternyata selama PDKT sama aku, kamu PDKT juga sama kakak itu. Gak nyangka aku, kamu bisa melakukan hal itu. Di satu sisi kamu lembut ke aku, di sisi lain kamu nusuk aku. Ini rasanya gak enak kali, tau? Apa salahku coba? Cuma karena aku gak mau maen di TL twitter, terus kamu cari orang lain untuk bisa Tlan tiap saat sama kamu?” tulisku 3X di Direct Message Twitternya.
Setelah lama menunggu, akhirnya ia pun membalas Dmku.
“Kisah kita layu sebelum terkembang.” Sebaris kalimat yang terkesan puitis tapi nyakitin.
“Gimana mau kembang, kamunya gak bisa jaga komitmen. Kamu itu benar-benar gak tau diri ya! Aku di sini nanyain tentang kita sama mamaku, eh kamu malah asyik-asyikan di sana merayu perempuan lain.” balasku lagi.
Dia Cuma balas, “maaf”.
“Lebih baik kita gak pernah kenal.” Kataku mengakhiri.
“Baik.” Jawaban sok coolnya itu.
Jawaban yang malesi kalau kata teman-temanku di sini.
***
Aku memang belum mencintainya karena prinsipku selama ini sudah jelas, bahwa aku sedang ingin menikmati masa kesendirianku dengan memperluas networkingku dengan mengikuti beberapa komunitas dan aktif di situ demi mendapatkan banyak sahabat, mungkin salah satunya ada yang nyantol.
Jadi, jangan harapkan cinta dariku karena aku belum bisa membuka hatiku setelah Ari, si mantan. Tentang cerita kemarin, Ari pun tahu. Maka dari itu ia semakin getol mengajakku untuk kembali.
Kalau aku mau, aku masih bisa kembali bersama Ari, toh Ari setiap hari datang ke kostanku untuk membawakanku sarapan. “Ah.. Ari, setiap hari kau menyetorkan mukamu ke pintu kostku, seandainya saja…”
Namun itu tak kulakukan. Kini, aku masih trauma untuk kembali merajut cinta bersama laki-laki dan Ari tahu itu karena kesalahannya. Berulang kali Ari memohon maaf, dan maaf pun telah kuberi. Tapi, tak semudah itu. Traumaku masih terlalu berat untuk ditimbang. Aku tak butuh laki-laki yang Cuma bisa berkata manis, aku benci dikasih janji-janji palsu.
Dan untukmu si lelaki dua minggu, aku benci PHP sepertimu. Lebih baik kita tak pernah mengenal daripada hatiku harus terluka lagi hanya karena laki-laki tak bertanggung jawab sepertimu. Harapku, semoga kau dapatkan mangsa baru yang cukup pintar agar dia bisa mengimbangi kepintaranmu dalam mem-PHP perempuan.
====================================TAMAT=================================
PHP = Pemberi Harapan Palsu
Terakhir saya menulis di Kompasiana tanggal 5 April 2013. Ternyata cukup lama saya vakum ya? Tak menulis bukan berarti saya seketika langsung buta akan informasi ya. Saya masih aktif membaca dan berkomentar di sini.
Beberapa waktu yang lalu ada tulisan fiksi dari salah seorang kompasianer yang disebut-sebut menyinggung agama islam yang ternyata berbuntut panjang sampai hari ini. Sekarang, izinkan saya sedikit menuliskan opini pribadi saya terhadap tulisan tersebut di sini.
Benar, tulisan tersebut sangat menyinggung umat muslim, mau itu masuk kanal fiksi yang mana fiksi itu khayalan sang penulis, namun saya tidak setuju dengan adanya fiksi yang menyinggung agama seseorang dengan atau tanpa motivasi apapun.
Sejujurnya saya sendiri gemas dengan tulisan tersebut yang melecehkan agama saya, namun apakah saya harus menghakimi si penulis? Menurut hemat saya, tak wajar jika agama yang mana merupakan pedoman hidup seseorang menjadi bahan lelucon.
Tak hanya di kanal fiksi dan bukan sekali itu saya menemukan penistaan terhadapa agama saya, saya juga pernah mencium adanya “sulutan api” terkait membenturkan satu agama dengan agama lainnya yang mungkin secara kasat mata tak tampak oleh mata telanjang, biasanya tulisan “nakal” itu langsung saya laporkan admin beserta alasan saya melaporkannya, tanpa perlu saya teriak-teriak di kolom komentar.
Pertanyaan saya kepada Anda wahai kompasianer yang terhormat,
1. Tujuan Anda menulis di Kompasiana ini apa?
2. Siapa pembaca Kompasiana?
3. Menulis di Kompasiana, dibayar tidak?
4. Terkait tulisan menyinggung, Perlukah meneriaki hal tersebut?
***
Tujuan adanya Kompasiana sebagai Jurnalisme Warga ini sudah jelas, untuk sharing and connecting. Sharing itu berbagi, bukan? Silahkan tuliskan opini serta reportase yang Anda miliki disini yang tentunya luput dari media mainstream (media arus utama). Sebaiknya yang Anda bagikan itu memilik News Value (Nilai Berita) yang Aktual, Inspiratif, bermanfaat dan Menarik bagi Kompasianer lain. Jangan Cuma nulis curhatan kegiatan harian yang tanpa pesan positifnya atau amarah apalagi menyinggung agama orang lain.
Selanjutnya connecting yang artinya terhubung. Bina hubungan baik antar sesama kompasianer. Bagi Anda yang telah mengikuti acara Kompasianival, pasti mengenal sesama kompasianer. Selanjutnya bagi kompasianer yang berdomisili di satu daerah juga silahkan adakan Kopdar. Atau jika Anda sedang mengunjungi suatu daerah, temui rekan Kompasianer Anda, seperti kakak saya yang sedang berada di Yogyakarta.
Kompasiana ini bukan hanya kita selaku kompasianer yang bisa membacanya. Pernah saya melihat adik dan teman-teman saya lainnya (tak punya akun di sini) namun men-share artikel yang bagus di halaman facebooknya. Tak jarang juga ada yang mencari suatu berita dan mendapati berita atau info yang Anda tuliskan, sehingga membuat akun di sini demi Sharing dan Connecting dengan Anda. (pengalaman saya). Otomatis nama Anda ikut terangkat mengikuti tulisan Anda itu, bukan? Lalu, jika Anda berada di Kompasiana ini hanya beradu argumen dan menuliskan artikel yang provokatif, apakah Anda tidak malu dilihat orang di luar Kompasiana?
Benar, menulis di Kompasiana tidak dibayar kecuali Anda tembus freez di Kompas cetak. Terus, sudah tidak dibayar, masa’ mau buang-buang waktu, tenaga, dan pikiran Anda hanya untuk berdebat?
Menyinggung agama orang lain, ngapain sih? Indonesia ini negara plural yang mana dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah dijelaskan ada 5 agama yang diakui pemerintah (menjadi 6 di zaman Gusdur). Ya kalau Anda ingin menyebarkan Agama Anda, bukan di forum Kompasiana ini. Silahkan cari forum lain. Kita ada di Kompasiana ini untuk sharing and Connecting, saling melengkapi bukan malah memperdebatkan satu agama. Mengapa? Karena agama itu adalah hak pribadi masing-masing personal yang sangat sensitif, sehingga sangat wajar jika pemeluk agama itu mudah terpancing emosinya.
Seperti fiksi yang menyinggung umat muslim kemarin, wajar pula jika mendapat kritik keras dari kami umat muslim lewat berbagai komentar maupun tulisan lain. Makanya, hati-hati kalau mau membicarakan agama di forum terbuka ini.Sharing sih OK, tak ada yang melarang. Namun, jangan mengganggu agama orang.
Perdebatan yang masih tersaji sampai hari ini, sesungguhnya hanya sia-sia dilakukan, dimana penikmat konflik (baca : orang yang suka ribut) sudah bertebar di sana malah makin senang dengan adanya masalah tersebut sehingga komentar-komentarnya malah menyinggung dan bahkan memvonis si pembuat tulisan (baca : komentar lari dari isi tulisan).
Anda yang berada dalam lingkup Kompasiana ini rata-rata sudah dewasa yang seharusnya bisa berpikir untung dan ruginya dalam menyajikan tulisan maupun berkomentar. Benar, bahwa diperlukan satu kepekaan sosial tersendiri untuk para Kompasianer yang mana dapat melatih kedewasaan Anda dalam berpikir.
Tak layak dan sungguh tidak mengenakkan jika ada orang yang memang sudah terang-terangan salah namun masih disudutkan. Silahkan kritisi jika seseorang itu menuliskan kesalahan tapi bukan berarti Anda harus bolak-balik di tulisan tersebut cuma untuk menghakimi orang itu.
Memaafkan orang itu lebih ksatria daripada menggunjing. Kita itu sama, cuma manusia biasa yang kapan saja bisa berbuat salah. Berpikirlah bahwa Anda itu bukan Tuhan yang berhak menghukum orang lain.
Jadi sepantasnya bagaimana?
1. Introspeksi diri Anda. Apakah Anda itu sudah benar sekali dalam menjalani hidup Anda? Kalau masih belok kiri juga, perbaiki dulu diri Anda sebelum Anda menempelkan cap ke orang lain.
2. Jangan cari-cari kesalahan orang yang pada akhirnya menimbulkan adu argumen yang tak ada habisnya.
3. Buka lembaran baru dan menulislah berdasarkan keihklasan hati Anda untuk berbagi.
4. Saling membina hubungan baik dengan sesama Kompasianer.
5. Jangan lupa, padukan antara Logika (pikiran) dan Etika (perasaan) Anda supaya terciptanya Estetika, baik dalam membuat suatu ARTIKEL maupun BERKOMENTAR.
6. Kompasiana ini diakses semua kalangan, jadi tolong jangan merendahkan diri Anda sendiri di hadapan orang lain. Maksudnya, kalau mau menulis artikel itu yang wajar, kalau mau berkomentar juga isinya jangan kurang ajar!
***
Mungkin tulisan saya yang sedikit ini tidak langsung dapat Anda cerna dengan baik, lagipula bukan hak saya mengatur Anda. Tetapi sebagai sesama penghuni Kompasiana, adalah kewajiban saya sebagai yang sering dianggap anak kecil untuk mengingatkan Anda para tetua yang terhormat agar lebih menjaga kredibilitas Kompasiana sebagai media jurnalis warga tempat Anda berbagi ini.
Provinsi Aceh meninggalkan berjuta kenangan bagi saya pribadi dari sebelum peristiwa tsunami yang mana saya sering mendengar adanya bunyi tembakan di mana-mana sejak zaman GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masih merajalela hingga peristiwa gempa dan tsunami (26 Desember 2004) yang meluluh lantakkan daerah itu. Setelah Tsunami, pada tanggal 15 Agustus 2006, telah ditandatangani MoU Helsinki yang praktis menjadi titik perdamaian antara pemerintah daerah Aceh dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ya… Aceh telah damai. Kedamaian itu turut saya rasakan jika saya pulang kampung dan melintasi jalan provinsi, tidak di temukan lagi sweeping oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bendera dan Lambang tersebut muncul bukan baru-baru ini, namun telah ada sejak tahun 2009 dimana setelah dilantiknya struktur DPRAceh. Keduanya adalah amanah dari Mou Helsinki yang ingin digunakan oleh pemerintah Aceh sebagai ciri khas daerahnya. Sebelum disahkan di tahun 2013 ini, Qanun tersebut telah menjadi pembicaraan paripurna DPRAceh sejak tahun 2012 yang menempatkan Raqan Identitas Aceh sebagai salah satu dari 15 Qanun prioritas. Sebenarnya raqan prioritas itu terdiri dari bendera, lambang, dan hymne. Namun dikarenakan kekosongan hymne, maka DRPAceh mengganti nama menjadi Raqan Bendera dan Lambang Aceh, sedangkan Hymne akan dibuat qanun khusus.
Dikarenakan oleh waktu yang terbatas di akhir 2012, maka pengesahan ini baru dilakukan di awal 2013 Kedua ciri khas Provinsi Aceh itu telah disahkan oleh DPRAceh tanggal 22 Maret 2013 yang mana telah melewati rapat paripurna sejak 18 Maret 2013. Kemudian pada tanggal 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh secara resmi membukukan Qanun tersebut dan menempatkannya pada lembaran Aceh nomor 49 Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013, sebagaimana tersaji selengkapnya di sini.
Pengesahan Bendera dan Lambang Aceh ini sudah pasti menjadi sorotan tajam Pemerintah Pusat dimana telah dilakukan evaluasi Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 itu, sebagaimana dikatakan oleh Mentri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ”Kami sudah menyelesaikan evaluasinya. Ada sejumlah hal yang harus diperbaiki.” MetroTV, Minggu (31/03/2013).
Senada dengan Mendagri, Djohermansyah Djohan selaku Dirjen Otda Kemendagri juga menyampaikan bahwa evaluasi Kemendagri menghasilkan setidaknya ada sejumlah hal yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh yang mana menurutnya penggunaan bendera bulan bintang betentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77/2007 tentang Lambang Daerah. Telah jelas dikatakan pada pasal 6 ayat 4 bahwa desain logo dan bendera tidak boleh punya persamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, ”Lambang ini juga bertentangan dengan semangat MoU Helsinki. Buatlah bendera yang lebih diterima seluruh kelompok yang ada di daerah itu. Lagi pula ini bukan lambang partai.” Seperti yang dilansir oleh www.metrotvnews.com.
Terkait penolakan itu, usai menghadiri rapat tertutup dengan Dirjen Otonomi Daerah di Meuligoe, Banda Aceh, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengatakan, “Kami akan duduk bersama untuk mencari solusi, bukan saling gontok-gontokan.” Menurutnya, apa pun hasil pertemuan-pertemuan itu Aceh harus tetap dalam kondisi damai. Pertemuan lanjutan akan terus dilakukan bersama DPRA dan pemerintah pusat untuk mencari solusi terkait kontroversi bendera dan lambang Aceh (www.okezone.com 2/4/2013).
Dalam wawancara pada acara Primetime News (4/4/2013), Bapak Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dalam membuat bendera sebagai lambang Aceh itu, pedomannya sudah ada dalam undang-undang pemerintahan Aceh itu sendiri. Bendera sebagai lambang Aceh itu :
Pertama, mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.
Kedua, bukan simbol kedaulatan.
Ketiga, dituangkan ke dalam qanun dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada wawancara itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, Bendera tersebut adalah keinginan seluruh rakyat Aceh. Pertanyaan saya, rakyat Aceh yang mana? Bukankah Provinsi Aceh itu cukup Luas dan terdiri dari berbagai suku?
Seperti yang diketahui, massa yang pro terhadap Bendera Bulan Bintang itu telah melakukan konvoi guna mendukung pengesahan Qanun tersebut (1/4/2013), sehari sebelum bapak Djohermansyah datang ke Aceh. sebelumnya, pada tanggal 27/3/2013 telah terjadi konvoi seperti yang terlihat di sini.
Sementara massa yang kontra terhadap bendera bulan bintang itu membuat konvoi tandingan dan mengibarkan bendera merah putih seperti di Aceh Tengah (www.okezone.com). Sebelumnya juga masyarakat Aceh Tenggara melakukan hal yang sama. Selanjutnya, seperti yang diberitakan oleh RCTI, masyarakat Aceh Barat pun berjanji setia pada merah putih dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada berita di tvone (4/4/2013) juga terlihat ketidaksetujuan masyarakat Kutacane atas bendera tersebut dengan berkonvoi sembari membawa bendera merah putih raksasa ke kantor DPRKutacane.
Nah, lagi-lagi yang harus saya pertanyakan, rakyat Aceh yang mana? Mentang-mentang ada rakyat Aceh yang pro bendera itu, terus dikatakan keinginan seluruh? Tolong jangan mengenaralisir. Tak semua rakyat Aceh menerima bendera bulan bintang yang mirip bendera GAM tersebut.
***
Sebenarnya, Provinsi Aceh itu adalah provinsi yang cukup kaya dan sejahtera jika pemimpin mampu menyejahterakan masyarakatnya, bukan hanya menebar janji-janji sewaktu kampanye. Alangkah baiknya jikalau janji tersebut segera direalisasikan sehingga masyarakat Aceh pun hidup makmur dengan mengelola kekayaan alamnya. Mendagri juga menegaskan, semestinya pemerintah Aceh fokus kepada upaya menyejahterakan rakyatnya, tidak lagi diusik dengan persoalan lambang, bendera yang kecil semacam itu seperti tertulis di sini.
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan alternatif lain bagi bendera Aceh yaitu bendera pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, seperti yang dikatakan olehMenko Polhukam, Djoko Suyanto saat pada www.detiknews.com , Rabu (3/4/2013).
Pada tanggal 4/4/2013, Mendagri Gamawan Fauzi menepati janjinya berkunjung ke Banda Aceh dan bertemu langsung dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Wali Nanggroe, dan di Pendopo Gubernur. Untuk apa? Tak lain dan tak bukan adalah untuk memperoleh kata sepakat. Namun harapan tersebut belum dapat terealisasikan juga. Oleh karena itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya di sini, bahwa Pemerintah Pusat memberikan waktu selama 15 hari kepada Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengevaluasi qanun yang telah disahkan itu. Masih dari tayangan Primetime News Metro Tv, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan tidak sampai 15 hari, hasilnya akan dikirim ke pusat.
Dalam acara Primetime News tadi, kalimat Pak Yusril Ihza Mahendra membuat saya pribadi menangis ampai saya menuliskan ini. Pak Yusril mengatakan bahwa beliau saja mencintai Aceh dan berkomitmen menjalankan amanat sesepuh-sesepuh Aceh di masa yang lalu yang pernah beliau temui. Amanat itu adalah bantu Aceh. Beliau juga sungguh-sungguh berharap, mudah-mudahan persoalan bendera ini dapat diselesaikan dengan baik dengan musyawarah semua pihak dan semangat persatuan dan persaudaraan kita semua. Harapan beliau selanjutnya perdamaian Aceh sesudah MoU Helsinki itu menjadi perdamaian yang selama-lamanya.
***
Kemarin malam juga saya sempat ke toko buku dan membaca sebuah buku yang berjudul Soft Power untuk Aceh - Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi karangan Dr. Darmansyah Djumala, M.A yang diberi kata sambutan begini :
Dengan terbitnya buku ini diharapkan publik dapat memahami konflik Pusat dan Daerah tidak mesti diselesaikan dengan kekerasan. Ada opsi lainuntuk menyelesaikan konflik, yaitu soft power yang lebih mengutamakan dialog dan perundingan. Jika Indonesia menyatakan diri sebagai demokrasi, penyelesaian konflik dengan soft power mesti dikedepankan dalam menangani konflik Pusat dan Daerah di tempat lain.
- Dr. Zaini Abdullah
Gubernur Aceh
***
Anda pasti bertanya-tanya, apa maksud saya menyertakan kata sambutan tersebut, bukan? Saya hanya ingin mengingatkan kembali bahwa perjuangan rakyat Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam memperoleh kemerdekaan dahulu bukanlah hal yang mudah. Kita pernah saling bahu membahu dalam membangun negara ini. Tak layak jika adanya konflik ditengah-tengah kita, diselesaikan dengan cara seperti zaman GAM dulu. Ada soft power dimana musyawarah dan mufakat yang selalu bisa digunakan.
Bagaimana pemerintah Provinsi Aceh? Harapan saya, jangan sia-siakan perjuangan dan itikad baik dari pemerintah pusat yang sudah sangat baik memberikan Otonomi daerah untuk Aceh dan silahkan rundingkan masalah ini dengan sebaik-baiknya sehingga dicapai satu kata sepakat.
***
Selanjutnya, dari beberapa tulisan yang disajikan di Kompasiana ini maupun situs lain, ada yang berkomentar selalu menyinggung tentang Aceh dan Tsunami. Sesungguhnya, ini sangat melukai nurani kami sebagai yang merasakannya. Jika Anda mau membuka pikiran Anda sembari berdo’a supaya segera ditemukan solusi yang terbaik dan tidak mengedepankan emosi Anda di tengah masalah ini, pasti semua akan lebih baik. Biarkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh yang bermusyawarah, Anda tidak usah menjustifikasi Aceh seperti gambar di bawah ini :
Anda boleh tidak suka dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh,tentunya itu hak Anda. Tapi jangan menghakimi dan mengatakan apa pun yang bertendensi menyakiti kami. Gunakanlah Logika dan Etika Anda jika Anda ingin berpendapat.
Saleum Aneuk Nanggroe
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat sudah berkurang kepercayaannya terhadap institusi kepolisian akibat perlakuan dari oknum nakal yang masyarakat terima, misalnya pungli (pungutan liar) kepada truk-truk pada jalan lintas daerah atau perlakuan tak adil, yang mana didasari oleh uang. Terkait perlakuan tak adil tersebut, saya pun pernah mengalaminya.
***
Pada hari ini, senin 25/3/2013 adalah tanggal terpenting dalam perjalanan hidup “kedua” saya dimana tepat 3 tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang membuat saya koma.
Dengan sepeda motor milik seorang teman, pukul 11.00 wib saya ingin mengambil tiket untuk kembali ke Medan setelah hampir 1 bulan lamanya saya menikmati liburan di kampung halaman. Saat itu, saya ingin pergi ke SPBU terdekat guna mengisi bahan bakar. Untuk sampai ke SPBU yang dimaksud, saya harus menyeberang jalan. Oleh sebab masih banyak kendaraan yang lalu lalang, sudah sepantasnya saya berhenti terlebih dahulu, bukan? Ketika saya berhenti itulah, saya ditabrak oleh seorang pengendara motor dan saya baru tersadar setelah 5 jam berada di Rumah Sakit.
***
Seperti orang yang sedang mabuk pada umumnya yang mana perkataannya adalah kejujuran, demikian pula saya yang baru sadar dari koma itu. Ketika ditanyai oleh ibu, saya katakan bahwa sepeda motor yang saya kendarai ditabrak dari belakang oleh sepeda motor lain, setelah itu saya tidak tahu apa-apa. Namun kebanyakan orang (termasuk teman-teman saya) tak percaya dengan pengakuan saya dimana menurut mereka saya lah yang menabrak orang itu, katanya polisi berkata demikian.
Menurut hemat saya, saya tidak mungkin melakukan kesalahan tersebut karena :
1. Posisi sepeda motor yang tengah saya kendarai sedang berhenti karena ingin menyeberang.
2. Saya merasakan bahwa ditabrak dari belakang.
3. Jika saya yang menabrak, logikanya saja, saya tak mungkin koma dengan darah mengucur deras dari kepala dan telinga, paling saya hanya menderita luka-luka seperti si penabrak.
Setelah saya sadar total, seluruh organ tubuh sebelah kanan saya tidak dapat bergerak, termasuk perkataan saya yang tak bisa didengar orang lain.
***
Namun kesaksian ini tak bisa saya sampaikan kepada polisi karena polisi tidak menanyai saya saat itu atau maksimal menunggu saya sadar(cuma 5 jam koma). Saya ini posisinya adalah sebagai korban yang hampir meninggal namun sang oknum tersebut keburu meminta tebusan sebesar Rp 500.000,00 kepada abang saya guna menutup kasus ini. Abang saya yang memang pembawaannya tenang dan tak ingin ribet serta ingin segera kembali ke Medan untuk pekerjaannya, membayar saja uang tersebut. Sejujurnya saya amat kecewa dengan tindakan abang saya itu. Namun, seperti kata kebanyakan orang dimana berurusan dengan polisi itu rumit, mau tak mau, abang pun membayarnya.
Kekecewaan saya adalah dimana oknum polisi itu tak menanyai fakta yang sebenarnya kepada saya, padahal saya belum meninggal dunia saat itu. Lalu dengan mudahnya meminta uang kepada abang saya hanya berdasarkan kesaksian palsu dari orang tua si pelaku yang mengatakan bahwa saya yang menabrak sepeda motor anaknya. Di sini saya katakan, saya tidak menabraknya karena jelas saya yang ditabrak dan nyaris meninggal dunia, sedangkan anak itu Cuma menderita luka ringan. Logikanya, kalau saya yang menabrak, saya Cuma luka dan tidak mengalami koma.
Perlu diketahui, anak itu masih pelajar SMP yang belum 17 tahun. Pertanyaan saya:
1. Mengapa bisa membawa kendaraan ke jalan besar?
2. Sudahkan seorang anak SMP memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi)?
Secara hukum, seperti yang tertulis di http://www.tmcmetro.com, persyaratan pemohon SIM berdasarkan Pasal 81 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 22 Tahun 2009, batas ketentuan membuat SIM C minimal telah berumur umur 17 th (Berdasarkan KTP).
Disini yang amat saya sesalkan bukanlah nominal rupiah yang dikeluarkan abang saya, namun lebih kepada kredibilitas polisi yang memiliki VISI dan MISI yang saya rasa tak sebanding dengan perlakuan yang saya dapatkan sebagai warga negara.
Membaca Visi Polri tersebut, saya merasa perlakuan yang saya dapatkan jauh panggang dari api, dimana sang oknum langsung memvonis saya yang bersalah tanpa mengintrogasi saya sebagai korban sekaligus saksi yang masih hidup.
Sejujurnya beberapa waktu lalu, saya sempat membicarakan kepada abang saya dimana saya ingin membuka kembali kasus ini, saya hanya ingin mencari keadilan dimana ayahnya si empunya motor (teman saya) mengenali orang tua si pelaku bahkan mengetahui alamatnya. Namun kata abang saya, “sudahlah Da, abang gak sempat untuk balik ke sana kan abang kerja di sini.” Ok, saya pun Cuma bisa diam.
***
Kepada polisi saya hanya harapkan, silahkan dibaca dan dipraktekkan Visi dan Misi tersebut secara jujur dan profesional. Tunjukkanlah kredibilitas Anda sekalian di mata masyarakat, agar kami mempercayai Institusi Anda lagi. Apalagi adanya kasus simulator SIM yang menjerat Irjen. Djoko susilo yang mana kasusnya telah berada di tangan KPK, tentunya ini mencoreng institusi kepolisian.
Kepada orang tua, sayang anak sih boleh-boleh saja, mau dimanjakan juga terserah Anda, tapi tolong awasi perlakuan anak Anda. Jangan biarkan anak dibawah 17 tahun dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) bebas berkeliaran di jalanan. Selain membahayakan nyawanya sendiri, juga membahayakan nyawa orang lain.
***
Benar kiranya, bahwa manusia biasa memang tempatnya salah dan khilaf. Namun tidak dibenarkan bila ketidakjujuran itu menjadi budaya, bukan?