Antara Aku, Kau, dan Pluralisme Negeri Ini

Oleh : Auda & Anindya

Laki-laki itu tersenyum lembut menyambut langkahku yang tengah gontai. Dibukakan kedua tangannya seolah hendak memeluk tubuhku yang memang tengah rapuh saat itu, saat pertemuan kami di cafe biasa yang menyajikan Freezing Chocolate Coffee kegemaranku.Sosoknya memang kekar dan itulah kebanggaannya. Gaya metroseksualnya sungguh berbeda denganku, perempuan desa berkulit sawo matang. “Ah tidak, aku lebih menyukai bila disebut hitam manis.” Ujarku dalam hati. Dia adalah  sempurnanya lelaki bagi kaum hawa lainnya, namun bukan aku. Aku tak memujanya meski rayuannya cukup maut dan mampu bakar gairah perempuan lajang sepertiku.

Namanya Riko, lelaki yang awalnya kutemukakan di pemakaman, saat kami tengah berada di salah satu pemakaman pesohor negeri ini. Lelaki yang kini nyaman bertemu denganku, terlebih akibat angin surga yang sering kutautkan dalam dirinya, mungkin aku sedikit merayunya, ya hanya sedikit ciuman di bibirnya. Bukan french kiss, hanya kecupan biasa dan tanpa rasa. Tanpa kusangka, ciuman bodoh itu dimanfaatkannya. Dan kemarin, ia menyesaki otakku dengan kalimat-kalimat manis, bak don juan, ia terus merayuku. Kau tahu Riko, Sesungguhnya ini memuakkan!

*****

Sekelebat jiwa keangkuhanku menyeruak, “Aku tak peduli akan sifat don juannya dan tak boleh ada istilah kata terenyuh, apalagi di hadapan laki-laki”. Sebagai seorang perempuan, aku tak boleh menunjukkan kelemahanku, seperti yang ia harapakan. Dia dan hanya dia, seseorang yang masih teramat ku inginkan. Seseorang yang paling mengerti akan keinginanku, teman di segala suasana. Setidaknya bagiku, ia mampu mengendorfinku dalam bertukar pikiran. “Adalah kau yang mampu membuka mataku,” ucapku dalam hati

Ikatan yang terjalin di antara kita berawal dari sebuah diskusi, diskusi tak penting bagi mereka yang tak peduli pada stabilitas regional negari ini. Namun itu menjadi tantangan buat perempuan pemikir sepertiku dan hanya kaulah yang mampu memberi opini sekaligus menahan laju langkahku yang mungkin akan membahayakan nyawaku sendiri.

Kau selalu ada, di saat adrenalinku memuncak akan kelakuan preman berjubah yang kembali berulah, atau saat mereka yang seolah ingin menjadikan negara ini sebuah negara seperti negara kaya yang mereka agungkan. Mereka lupa, atau mungkin tak sadar akan besarnya pluralitas bangsa ini. Padahal jika mereka mau membuka mata mereka lebar-lebar, realita terbentuknya bangsa ini adalah karena perjuangan semua anak bangsa ini, dahulu. Ya…, dahulu sebelum mereka seakan menghalalkan darah di atas segala perbedaan yang membentang.
Aku tak suka ini, karena kasus ini sungguh memuakkan bagiku. Sama seperti muakku pada Riko, sang Don Juan yang mungkin akan memanfaatkan kelemahanku saat ini. Namun kau tenang saja, Riko tak akan berhasil mengajakku untuk memuaskan nafsu binatangnya. Kau masih di sini, tepatnya bayangmu masih bersemayam di hatiku.

Harus kuakui, aku membutuhkanmu, saat ini. Saat semuanya harus mampu kulakukan sendiri, seperti didikanmu. Seandainya lawan bicaraku saat ini adalah kamu, akan sangat tepat. Kita akan terlibat diskusi panjang yang seakan tak pernah ada titik. Semuanya akan dipenuhi koma, tanda tanya, dan mungkin tanda seru. Ya… itulah kita saat itu, sesaat sebelum kau pergi menunaikan tugasmu di negeri orang, setahun yang lalu. Dan kini aku hampir kehilangan arah tanpamu,  katakanlah aku hampir putus asa.

Seperti ada sebuah momok, aku ketakutan akan nasib bangsa ini. Bangsa ini lama kelamaan akan kehilangan kedamaiannya, saat masing-masing aliran mengatakan bahwa merekalah yang paling benar. Ah… mereka seperti tak berTuhan saja. Agama hanya sebagai simbol bagi mereka untuk melegalkan memakan jantung sesamanya.

*****

Keputus-asaan telah memenangkan segalanyaImpianku sekedar menjadi harapan di dalam sebuah wacana panjang dan berbelit. Pikiranku kini tak ubahnya sebuah umpan yang tengah menjelma. Kedamaian sebentar lagi akan sirna. Seluruh manusia akan terjebak di dalam peperangan. Sadarkah mereka akan perbuatan bodoh mereka?

Mereka yang menghendaki perang, mungkin adalah mereka yang terlalu dangkal memahami hirarki kebutuhan Maslow. Benar, Abraham Maslow menempatkan aktualisasi diri sebagai usaha pemuas kebutuhan setiap individu, namun kurasa Maslow pun tak menyukai peperangan, bukan? Mereka telah keliru bila menganggap Maslow paling mengerti akan mereka. Padahal aktualisasi diri yang dimaksudkan Maslow tak demikian. Jangankan seorang Maslow, Tuhan Yang Maha Esa pun tak menyukai bila ada hambanya yang terus larut dalam kemelaratan moral.

Aku ingin sekali bertanya kepada mereka, “Bukankah indah ketika dunia ini mampu menjamu banyaknya perbedaan dengan kedamaian? Bukankah nyaman ketika semuanya berjalan seperti dahulu? Dahulu tak ada intrik dan taktik sehingga memicu adanya sebuahkonflik. Seperti itulah kedamaian yang benar-benar kurindukan  sebelum beberapa waktu lalu sekelompok manusia berjubah memporak-porandakan desa di mana ada ibu angkatku yang amat ku sayangi bermukim di sana. Mereka menyerang dengan membabi buta, hingga hancur lebur seluruh bangunan yang ada. Dengan beringas mereka menyebut nama Tuhan dalam aksinya. Mereka salah menempatkan hirarki kebutuhan Maslow di sini. Mereka lupa, Tuhan tak pernah menghalalkan sebuah keberingasan.

Sesungguhnya, kasus itu cukup menyesakkan dadaku. Entah kapan nusantara ini dapat disebut damai yang sebenar-benarnya, dan sampai kapan air mataku akan mengering melihat ketidakmampuan pemimpin negara ini menghadiai perdamaian tanpa cekcok lagi, padahal beliau yang amat ku hormati  itu baru saja menerima penghargaan tentang perdamaian.

Kalaulah boleh aku memilih, aku memilih untuk diam. Namun rasa kemanusiaan ini masih cukup tinggi bila harus melihat ada saudara-saudaraku yang tersakiti. Ini beban tersendiri bagi pekerja sosial sepertiku, beban kemanusiaan antara menyaksikan fakta yang sangat jauh panggang dari api. Sebagai insan yang mungkin tak di dengar, aku Cuma bisa berharap dan terus memanjatkan do’a dalam Ramadhan kali ini, semoga negari ini akan memperoleh kedamaian dan dapat menjunjung tinggi Pancasila sebagai dasar negara, juga pasal 29 UUD 1945 seraya memikirkan untuk kembali menjalin persatuan dan kesatuan di NKRI. Bukankah akan tercipta kedamaian yang sesungguhnya, tuan?

*****

Dan mungkin benar, hanya kamu yang mengerti akan kegundahanku. Juga kamu yang mampu menyeka air mataku dengan hangatmu. Hangatnya seorang yang selalu mengerti akan inginku, seseorang yang tak mau menjamahku sebelum ikrar suci itu kau lafalkan dengan lantangnya lelaki di hadapan penghulu.

Sosokmu begitu berbeda dengan sang don juan, Riko yang sempat membungkamku. “Ah… aku tak tergoda padanya.” Pikirku cepat. Dia tak sepertimu,Bagiku, kau yang pertama dan terakhir, dan damaiku adalah saat-saat dahulu, saat-saat kita masih bisa berdiskusi walaupun itu sengit sekalipun.

Adalah kau yang tetap bersemayam di hati, dan menunggumu di sini adalah keinginan kita. Saling menghargai adalah falsafah dalam hubungan kita, suatu perpaduan yang dilandasi oleh kebutuhan akan jiwa sosialku dan pemikiran filsafatmu.



Rabu, 10/07/2013

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate