Haruskah Kami Bercerai [2]

*
Mengasingkan diri…
Ya, hanya itu yang dapat kulakukan ditengah konflik yang semakin hari semakin tak terkira. Konflik yang belum usai antara aku dan lelaki itu. Lelaki ringan tangan yang juga ayah biologis kedua putraku. Lelaki yang juga menjadi tambang emas bagi salah seorang janda yang ada di kantornya. Aku benar-benar muak dengan rentetan masalah rumah tangga yang membelengguku ini. Belum lagi, keluarga suamiku terus mendesakku untuk bekerja. Ah… ingin sekali kupinta talak setelah kutahui hubungannya dengan janda itu. Namun, bayangan kedua jagoanku, selalu mengejawantahkan kecewaku.
Aku kalut. Hariku teramat kacau. Memasrahkan diri untuk dipoligami? atau haruskah kulayangkan surat gugatan cerai?
***
Setelah ia pulang kerja, seperi biasa ia mandi. Kemudian menyantap makan malamnya. Melihat bocahku telah menguap, tanpa banyak bicara lagi, segera kubawa anak-anakku ke kamar. Setelah kubacakan dongeng dan kuajarkan do’a tidur, merekapun terlelap. Masalahku dan lelaki itu teramat banyak. Memikulnya saja sudah buatku kepayahan hingga tanpa sadar, buliran airmata membasahi kedua pipiku.
Ditengah kalutku, sedikit terobati bila memandang wajah anak-anakku. Mereka adalah alasanku bertahan sejauh ini dari siksa fisik dan batin yang kerap kuperoleh dari suamiku. Senyumku mengembang menatap keduanya. “Sebab kalian, Nak. Sebab kalian ibu bertahan dengan ayah kalian.” Isakku.
Ketika tengah larut dalam kesedihan, tiba-tiba saja kusengar, “Putri….! Apa yang kaulakukan? Sedari tadi kauhanya mengurung diri di kamar. Ke mari kau…!” Bentaknya dari ruang tengah. Aku terkejut mendengar teriakannya. Untung saja kedua bocah lucu ini tak bangun mendengar suara ayahnya. Sejurus kemudian, aku menghapus kedua airmataku dan bergegas menemuinya.
“Ya. Ada apa, Yah?” Tanyaku lembut demi meredakan suasana.
Ia menarik tanganku dan berujar, “Duduklah, Sayang. Ada yang ingin kubicarakan.”
Duh… Sudah lama kata itu tak pernah kudengar, bahkan nikmatnya kata sayang itu telah terlupakan sejak beberapa hari kelahiran anak keduaku. Hm… Apa mungkin dia ingin meminta maaf kepadaku dan berbicara sesuatu yang penting seperti sebelumnya ketika ia meminta mas kawinku? Wallahu ‘alam. Aku tak boleh berprasangka buruk memang, namun gerak geriknya yang sedikit lain membuatku curiga. Ditambah lagi, ia membuatkanku segelas susu. “Ada apa ini?”, Lagi kumembatin.
“Susunya diminum dulu, Sayang. Selagi hangat.” ujarnya sambil tersenyum.
“Bagaimana kalau kau minum terlebih dahulu, Sayang. Bukankah sebagai seorang istri, kau selalu ingin kudahulukan.” Ucapku sembari tersenyum sinis. Padahal aku takut, dia menaruh apa-apa di minumanku, mengingat permintaanya minggu lalu yang ingin menikah lagi. Tentu saja keinginan itu kutolak, saat itu. Bisa saja, diminuman ini telah diberi “obat”.
Tak lama setelah kuletakkan pantatku disampingnya sembari menatap keragu-raguannya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Ketika dering telepon itu bernyanyi, tampak sekilas nama pemanggil, Lusi.
*
Lusi, sang janda beranak satu yang kini kerap menggoda suamiku. Selentingan kabar berkata bahwa hubungan mereka cukup dekat, makanya ia ingin menikahi Lusi. Seperti yang sempat ia katakan minggu lalu.
“Sebentar ya, aku angkat telepon dulu. Kau habiskan susunya ya, setelah itu kita tidur.” Ujarnya bergegas menuju teras.
“Ah… Terserahmulah. Mau terima telepon cepat atau lama, aku pun sudah muak. Yang penting susu ini mesti kubuang.” Pikirku. Segera kudekati wastafel dan meluncurlah segelas besar susu itu ke lubang pembuangan, tak lupa kusiram air sembari mencuci wajahku. Segera kukembali ke ruang tengah dan menungguinya. Sepuluh menit kemudian, ia kembali dan mengajakku ke kamar.

bersambung —>

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate