Refleksi 9 Tahun Tsunami: Berhentilah Menghujat Aceh!

Hari ini, tanggal 26 Desember 2013. Ingatan saya sedang kembali pada perisitiwa yang banyak menelan korban jiwa di kampung halaman saya. Tepat 9 tahun lalu, gelombang Tsunami yang didahului gempa dengan kekuatan 8.9 SR, meluluhlantakkan sebagian Provinsi Aceh dan beberapa negara lainnya yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Tentunya hal ini menimbulkan kesedihan dan duka mendalam bagi kita semua, termasuk saya yang langsung mengalami peristiwa maha dahsyat itu. Sejak berkompasiana, telah saya tuliskan pengalaman sekaligus refleksi saya pribadi terkait Tsunami. [1] [2].

13880013821394089384
gambar dari http://blogs.swa-jkt.com/swa/11041/2013/09/23/bencana-tsunami-aceh/

Bagi kita yang memiliki perasaan, tentunya ada beban moril tersendiri dalam bersikap. Maksudnya, kita pasti mengetahui di mana harus meletakkan logika dan etika kita ketika melihat berita yang beredar luas di berbagai media.  Maka dari itu, untuk bersimpati sekaligus berempati terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah itu, mereka yang memiliki perasaan kasih sayang terhadap sesama, terjun langsung ke lokasi kejadian dan bertindak sebagai  relawan. Bagi kita (baca: Anda)  yang tak menjadi relawan langsung, saya, mewakili seluruh masyarakat Aceh yang tertimpa musibah, mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan do’a, semangat juga materi yang telah kita (baca: Anda) keluarkan.

9 tahun memang telah berlalu. Kejadian yang tak pernah diharapkan itu memang tak pernah dapat dilupakan oleh seorangpun di negara ini, termasuk masyarakat Aceh. Banyak orang yan tinggal di luar Aceh yang merasa kasihan dan juga merasa bahwa dirinya sedang ditegur oleh Tuhan atas kesalahannya sendiri, untuk itu banyak yang bersimpati dan berempati. Namun tak sedikit juga yang mencaci, mengutuki atau menuliskan kalimat yang cukup menyayat hati masyarakat Aceh, termasuk saya hingga sekarang, seperti berikut :

13879966162015911847
Screen Shoot komentar di Kompasiana. dok. pri
1387996703577636652
Screen Shoot komentar di portal berita tetangga. dok. pri
13879968222082075756
Screen Shoot komentar di wall salah satu grup fb. dok. pri
1387997334546191861
Screen Shoot komentar di Kompasiana. dok. pri
13879973911389656074
Screen Shoot komentar di Kompasiana. dok. pri
13879974921974713386
Screen Shoot komentar di Kompasiana. dok. pri

Bagaimana, Sudah diperhatikan komentar-komentar dahsyat di atas?

Terus terang, komentar yang demikian, bukan hanya 5 itu saja. Apalagi yang di wall facebook. Astaghfirullahal’adhim… cukup banyak komentar serupa bahkan bahasanya lebih kasar dari itu. Jujur saja, ketika menyaksikan itu, tanpa sengaja saya menitikkan airmata. Saya cengeng? Wajar. Namanya juga perempuan. Apalagi yang dihina kampung halaman saya oleh orang yang bukan dari suku kami sendiri. Kampung saya dihina saja , saya bisa sedih, apalagi Agama saya yang dilecehkan oleh orang lain.

Kembali ke topik.

1. Bila menyangkut Pemerintahan Aceh sekarang, saya juga tak setuju adanya penghamburan dana hanya untuk melantik seorang Wali Nanggroe. Saya lebih setuju dana itu digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Berkali-kali ketidaksetujuan saya itu sudah pernah saya tuliskan. Silahkan cek [1] [2] [3]. Lalu, apa fungsinya kita dan Anda yang tak tinggal di Aceh? Memangnya komentar “seksi” itu bisa merubah keadaan?

2. Bila menyangkut kebijakan Pemda Aceh yang ingin menerapkan Syariat Islam di Bumi Serambi Mekkah, biarkan saja mereka melakukan apa yang mereka rasa pantas bagi daerahnya. Bagi mereka yang tak nyaman tinggal di Provinsi Aceh, tak pernah ada larangan untuk meninggalkan Aceh, kok. Bukannya mengusir, cuma dari pada sama-sama tak nyaman, sepertinya hal itu lebih baik. Toh, Republik Indonesia ini terdiri dari 33 Provinsi, bukan? Atau ke luar negeri sekalian. Siapapun berhak memilih ingin menetap di mana. Mudah saja, toh? Namun, masih banyak orang-orang yang mengindahkan Perda (baca: Qanun) Aceh dan tetap ingin tinggal di Aceh. Teman-teman saya saja yang bukan terlahir dari orang tua yang bersuku Aceh, tapi mereka menghormati Aceh dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Mereka mencintai Aceh, bahkan telah menikah dan berdomisli tetap di Aceh. Itu semua bukan masalah besar bagi masyarakat Aceh. 

Lalu, kita yang tak pernah berdomisili langsung di Provinsi Aceh;

- Mengapa harus repot-repot berkomentar tak pantas?
- Di mana logika dan etika kita hingga mampu berkata kasar demikian?
- Apakah kita tak pernah membayangkan kalau musibah itu menimpa diri kita sendiri?

Tuhan, tak pernah pilih kasih dalam memberi cobaan dan musibah pada hambaNya. Mungkin 9 tahun lalu, di Aceh. Bisa saja, saat ini atau besok, musibah lain menimpa diri kita dan Anda sendiri. Jadi, jangan pernah sekali-kali Anda sombong dan merasa bahwa daerah Anda aman akan musibah.

Bila Tuhan berkehendak, Tuhan tak pernah pandang bulu, Lho!

Jangankan masyarakat Aceh, setelah Tsunami 2004, menyusul juga Gempa Nias, lalu Padang. Lalu ada pertanyaan lagi, Kok semuanya di Sumatera?
Siapa bilang? Coba lihat sekarang, masyarakat Ibu Kota setiap akhir-awal tahun mengalami musibah banjir. Atau coba lihat DI Yogyakarta, Musibah Merapi beberapa tahun silam. Banjir di Wasior, Papua. Kebakaran hutan di Kalimantan, Gempa di Bali, Gempa di Jepang, Banjir di Cina atau Meletusnya Gunung Sinabung di Sumatera Utara baru-baru ini.

Tuhan tak pernah membeda-bedakan hambaNya, lho! Bahkan ketika kita sedang menulis atau membaca di Kompasiana ini, tak menutup kemungkinan bahwa kita akan menutup mata untuk selama-lamanya (baca: meninggal).

Satu kalimat yang paling saya ingat dari Mama, “Jaga omonganmu, Nak. Hati-hati waktu kamu bicara. Satu jari kamu menunjuk orang lain, maka tiga-empat jari menunjuk dirimu sendiri.”

Tentunya kita yang sudah pintar berinternet ini paham maksud kalimat mama saya, kan?

Jangan sembarangan deh klo berbicara dan berkomentar. Sadar dong… Kita cuma manusia biasa yang bisa mati kapan dan di mana saja. Kita kan sudah dianugerahkan Tuhan Pikiran dan perasaan yang harusnya peka. Jangan cuma pintar sama ilmu pasti, tapi juga ilmu sosial. Toh kita sebagai manusia juga makhluk sosial yang tak akan pernah bisa hidup tanpa bantuan orang lain, kan? Syukuri anugerah Tuhan yang luar biasa itu dengan menyeimbangkan antara penggunaan Logika dan Etika, demi cermin diri yang lebih baik.

Jadi, jangan pernah mengutuk dan mencaci daerah orang lain agar mendapat musibah. Lebih baik, contoh yang sudah-sudah itu kita jadikan pelajaran berharga bagi diri kita agar sama-sama dapat memperbaiki diri. Dan satu yang perlu kita ingat, Tuhan tak pernah membeda-bedakan makhluk ciptaanNya.

Hentikanlah komentar tak pantas tentang daerah Aceh. Katakanlah, kita kecewa dengan pemerintahannya. Do’akan saja oknumnya agar lebih baik lagi, atau terjun langsung ke Aceh untuk mengatur birokrasi agar lebih baik. Jangan hanya bisanya berkoar-koar mengutuk daerahnya.

Jika Aceh kenapa-kenapa lagi, memangnya kita semua. termasuk Anda yang sinis dan selalu mencampuri urusan Aceh, mengiginkan ada bencana lagi di Indonesia atau bahkan dunia? Pintar-pintarlah membolak-balikkan logika dan etika kita. Bercerminlah, sobat. Tak ada satu manusiapun yang luput dari azabNya. [AZ]
Saleum Aneuk Nanggroe

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate