Pacar Sehariku Ternyata Psikopat


*
“Sebabmu, aku membenci perempuan. Jua olehmu, beberapa perempuan telah kusakiti. “ Ucapnya malam itu. Aku terkejut, lalu bertanya, “Maksudmu apa?”
“Ya... Kamu meninggalkanku dan menolak tawaran bertahan bersamaku dan juga menikah di tahun kelima jalinan cinta kita.” Jawabnya.“Wah... tawaranmu saat itu memang kutolak, bang. Aku punya alasan.” Sergahku.
Tanpa menunggu jawabanku, Ia pun berkata, “Aku ‘gak peduli. Yang penting dendam dan sakit hatiku kepada perempuan setelahmu, terbalaskan.”
Sebab ketakutan, aku pun mengatakan bahwa aku harus tidur, karena ini sudah larut. Dan tak lama, teleponpun ditutup. Aku tidur? Tidak. Malah aku semakin ketakutan, dan berujar sendiri, ‘Dasar psikopat. Mengapa sempat kukenal kau,ya?” Bisikku dalam hati.
Namanya Rian. Seorang WNI keturunan Arab yang memang sangat aku inginkan, kini. Namun, seandainya saja saat itu dia tak berulah dan berujar macam-macam, aku juga tak mau meninggalkannya.
*
Saat itu, aku masih duduk di bangku sebuah SMA negeri di kotaku. Kebetulan, sekolah ini adalah sekolah favorit yang banyak dihuni oleh anak orang kaya yang bisa dengan mudahnya mengaktualisasikan dirinya. Selain kaya, mereka juga pintar. Seperti mantan pacar yang tak pernah aku sukai. Ia mengikutiku ke SMA ini, namanya Abi. Selama di SMA, aku berusaha menghindari Abi. Ah... kasihan dia. Padahal dia cukup pintar dan juga anak orang kaya. Namun, inilah aku. Bila aku tak suka, aku akan terang-terangan mengatakan kepada si lelaki, termasuk Andrian.
*
Namanya Rian. Lelaki yang lebih tua tujuh tahun di atas usiaku yang saat itu masih belasan tahun. Lelaki yang entah dari siapa mengetahuiku. Lelaki gila yang menyukaiku. Kenapa kukatakan demikian? Tentunya, aku memiliki alasan kuat. Aku tak mengenal latar belakangnya. Bisa saja dia psikopat murni atau apapun itu namanya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba sesosok cungkring itu menikmati tubuhku dari kejauhan. Dan tiba-tiba, menghubungi nomor telepon rumahku. Dendangan kalimatnya, seperti polisi.
Setiap aku pulang sekolah, setiap sore juga tak ketinggalan malam hari, dia selalu menghubungiku. Berhari-hari hingga aku muak. Kerap kumarahi dia, namun tetap saja tak berguna bagi sang pecinta perempuan ini. Perempuan enam belas tahun yang masih teramat lugu dan tak mengerti fungsi pacar. Kalau mengerti, tak mungkin kutolak si kaya dan pintar, Abi.
*
Tiada hari tanpa telepon darinya. Hingga suatu hari, ibuku mengintrogasiku. “Nak. Siapa itu yang sering telepon? Katanya namanya Rian.”
Bagai petir di siang bolong, pertanyaan ibu mengejutkanku yang baru pulang sekolah. Berusah sesantai mungkin, lalu kujawab, “Ooo.. teman.”
“Teman gimana? Dari mana dapat teman begitu? Kok suaranya lebih tua? Itu dia yang sering telepon kamu tiap hari, kan?” Rentetan pertanyaan Mama ini memang menuntut jawabanku. Ya... namanya orang tua, pasti khawatir sama bocah ingusan sepertiku.
“Entah siapa itu, Ma. Namanya memang Rian. Katanya dia kenal Sya dari teman sekolah Sya. Dia sudah sering lihat Sya. Ketika berbicara ditelepon, dia juga bilang kalau dia suka sama Sya.” Ceritaku.
“Terus, kamu jawab apa?” lanjut perempuan yang pernah mengandungku dua puluh lima tahun yang lalu itu.
“Sya belum jawab apa-apa. Rencana tadi mau ketemuan di sekolah. Tapi Sya kabur, Ma. Mungkin dia mau nanyain kenapa Sya gak nemuin dia.” Jelasku pada Mama.
*
Selepas shalat magrib dan mengaji, tiba-tiba telepon pun berdering. Lalu, kuangkat saja. Karena kau tahu ini dari dia.
“Ya... ada apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Tadi kamu ke mana aja sih, Dik? Abang udah nungguin lho. Pas di depan gerbang sekolahmu.” Ucapnya.
Dengan santainya aku menjawab, “Lupa. Sorry, ya.”
“O... Begitu ya, Dik. Ya sudah, Please... besok kita ketemuan, ya... Abang mau kenal kamu langsung. Memangnya kamu mau kita teleponan terus?”
“Doh... rempong ya? Situ yang telepon, kan sini gak telepon situ.” Jawabku ringan.
“Please, Dik.” Mohonnya berkali-kali.
“Ok, see you and bye.” Ucapku sembari mencabut sambungan telepon rumah malam itu.
Heran deh... nomor ponsel sudah kuberikan padanya, tapi masih saja menghubungiku ke rumah. ‘Dasar bodoh.’ Umpatku saat itu.
*
Sepulang sekolah, kami memang bertemu. Tuhan... Ternyata inikah makhluk yang Engkau anugerahkan untukku setelah Abi? Baik... tampangnya memang manis. Namun, pelajar sepertiku tentunya tak mau dengan lelaki yang lebih tua tujuh tahun diatasku.
“Dik. Abang gak mau banyak basa-basi lagi. Semua yang abang mau bilang, sudah abang bilang ditelepon selama ini. Abang jatuh cinta sama kamu.” Ujarnya.
Seketika, meledaklah tertawaku. Lalu ia bertanya, “salah ,ya? Kamu ini ada-ada aja deh. Masa’ abang nyatain cinta, diketawain. Memangnya lucu gitu?”
“Eh, gak lucu sih. Cuma, aku kaget aja. Gak pernah ketemu tapi sekali ketemu udah langsung bilang suka. Sakit jiwa ini pasti, kan? Lagian, gak ada yang menarik dariku, lho!” ucapku.
“Kamu itu gak sadar ya kalau kamu itu manis. Mata sayumu itu bagus. Kamu pernah dengar Love at the first sight? Inilah yang abang rasakan.” Jawabnya.
Setelah suasana mulai mencair, iapun menceritakan bahwa dia sudah dua kali menjalin hubungan dengan perempuan. Kedua-duanya berakhir. Yang satu minta putus karena jarak jauh, yang satu lagi... diambil temannya. Lalu ia menanyakan kesediaanku, tanpa pikir panjang dan terlanjur kasihan, kuterima saja.
“Ya udah deh, aku mau jadi pacarmu, bang. Sekarang, abang pulang aja.”
Terlihat dia tersenyum, “Makasi ya, Dik. Yuk... abang antar kamu pulang.”
“Jangan. Gak usah. Aku bisa pulang sendiri.” Dan tak lama, iapun pergi
*
Ternyata, hari itu adalah hari pertama sekaligus terakhir kubertemu dengannya. Tak pernah kulihat dia hingga usiaku sudah menginjak seperempat abad, kini. Bukan kutak mau, juga bukan kumenghindar. Namun, mungkin ini memang sudah jalan Tuhan untuk menghindarkan sekaligus melindungiku dari psikopat seperti dia.
Tsunami yang meluluhlantakkan kota kelahiranku, mengantarkanku untuk meneruskan sekolah di kota lain. Saat kuliah, aku juga di kota ini. Namun, perasaan bersalahku kepada lelaki cungkring tadi, menghantuiku selama bertahun-tahun.
Tahun ketiga tinggal di kota ini, aku baru masuk kuliah. Keinginanku untuk menemuinya untuk memohon maaf semakin besar seiring kepulanganku ke sana.
Singkat cerita, setiba di sana, kuhubungi ponselnya. Kukatakan bahwa aku ingin bertemu dengannya. Dalam pikiranku hanya memohon maaf, tak ada yang lain. namun, mendengar pengakuannya yang telah meninggalkan perempuan yang telah dihamilinya, juga meninggalkan perempuan lain yang akan bertunangan dengannya, membuatku mengurungkan niatku untuk bertemu lelaki ini.
Setelah bertemu para sahabatku di kampung, kuceritakan kronologis kejadian yang sesungguhnya. Sahabat sekaligus teman ngopiku berkata untuk tak menemuinya lagi. Jikalau aku ingin meminta maaf, cukup utarakan lewat pesan singkat.
Baiklah... tiga puluh enam jam dan setelah bermain-main dengan para sahabatku, dan sudah mengirim pesan singkat padanya, aku pun kembali ke kotaku yang sembilan tahun terakhir kutempati ini.
Bukan. Bukannya aku melupakan orang yang begitu baik menungguiku. Namun, meninggalkan perempuan hamil dan perempuan lainnya yang akan bertunangan dengannya, adalah sebuah kegilaan yang luar biasa menurutku.
Saat itu, aku sangat ketakutan. Tak pernah kuceritakan pada siapapun tentang ini, termasuk pada ibuku saat itu.
Dan setelah kutanyakan pada ibu, ibu hanya mengatakan, “Sudah. Jangan pernah kamu temui lagi dia. Benar, dia psikopat.”
*
Duh... aku memang menginginkan pria keturunan dari Timur Tengah. Semakin hari, kegilaanku untuk bertemu seorang dari jazirah Arab, semakin menjadi. Namun, sepertinya memang benar, impian itu bukan saat ini terwujud.
Sejak kuputuskan untuk meninggalkan Rian, memang telah banyak lelaki yang masuk di hidupku. Aku tak pernah bermain-main dengan mereka, walaupun semuanya berakhir. Baiklah, memang semuanya berakhir. Namun, aku terus mencari hingga ke belahan bumi manapun. Walau bukan lelaki asing, siapapun kuterima, asal baik dan setia.
Dan yang pasti, aku ingin lelaki normal, bukan psikkopat. Lelaki baik, mampu menerimaku apa adanya, dan mampu membimbingku menuju Jannah-Mu, juga masih selalu kuinginkan. Aku percaya, Engkau mengabulkan do’aku. Untuk itu, aku harus selalu optimis untuk menghadapi hariku. Dan mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Aku yakin, Tuhan melindungiku dan memberikan yang terbaik untukku, suatu saat nanti. Aamiin.



You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate