Jadi Penulis, Jangan Ad Hominem!

1393968151158488055
ferdifauzan.blogspot.com
Sebagai seorang yang kerap berinteraksi dengan sesama, saling adu argumen adalah suatu hal yang terhitung biasa. Sesama teman di dunia nyata yang sudah saling mengenal saja, kita sering berselisih paham karena masalah yang bisa dikatakan sepele, semisal kita dan beberapa teman berbeda opini tentang menilai sesuatu. Kalau sudah begini, masing-masing kepala akan mempertahankan argumennya dan kalau sudah kalah (walaupun tak mau mengaku), tak jarang salah satunya malah mengatakan hal-hal yang menyangkut ranah pribadi lawan “debat”nya. Tentunya ini sangat mengganggu, bukan? Nah, itu tadi contoh kejadian di dunia nyata. Bagaimana dengan di dunia maya?

Jadi Penulis, Jangan Ad Hominem!

Dunia maya adalah dunia yang sangat dekat dengan kita di zaman kekinian ini. Bahkan, oleh sebab begitu mudahnya mengakses berbagai situs portal media dari ponsel pintar yang kita miliki, sehingga memicu kita menjadi bodoh. Tak usah jauh-jauh lihat di tempat lain, di Kompasiana ini juga banyak, kok. Malah pusing sendiri penulis lihatnya.
Bodoh yang penulis maksudkan di sini yaitu, ketika kita (komentator) telah capai hingga kehabisan kata-kata dalam beraduargumen, tiba-tiba kita mulai AdHominem. Biasanya, setelah ucapan kita tadi, otomatis si lawan debat tadi akan diam, bahkan enggan melakukan perlawanan apa-apa lagi oleh sebab ranah pribadinya telah dilanggar.
Argumentum AdHominem sendiri dapat diartikan secara bebas sebagai suatu upaya menyerang pribadi lawan debat. Sesat pikir ini terkadang dilakukan ketika kita menyepelekan orang lain, entah karena sombongnya kita hingga tak mau menjawab pertanyaan orang atau ada pemicu lain. Contohnya, “Mbak itu kan perempuan, berjilbab, dari daerah A. Jadi, jagalah kelakuannya.” Atau, ketika seseorang membela apa yang dianggapnya benar, tiba-tiba dia divonis sesat, menganut mazhab tertentu dsb. Nah, yang seperti ini juga pernah penulis dapati, kok. Tuduhan bodoh tak berdasar seperti ini, sudah penulis screen shoot, lho!

See?

Hemat penulis, komentar di atas adalah kebodohan mutlak yang dimiliki oleh seorang  penulis. Mengapa? Biasanya yang mengatakan demikian adalah seorang yang bila dikritik kemudian tak bisa membalas kritikan, malah si AdHominem ini digunakan sebagai senjatanya. Dilihat dari contoh diatas misalnya, ini adalah bentuk diskriminasi juga,lho!
Pertanyaan saya:
1. Kelakuan mana yang mesti dijaga?
2. Perempuan, berjilbab dan dari daerah A, dilarang menyampaikan kritikan, begitu?
3. Sejak kapan hal-hal demikian menjadi pemicu seseorang untuk diam dan tak boleh berpendapat?
*
Adalah kesesatan pikiran ini yang harus dijawab oleh para pengusung “Teologi Horor” AdHominem. Bahkan, Pasal 28 UUD 1945 saja mengatakan, ”Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Mungkin saja berdasarkan bunyi pasal di atas juga Kompasiana ini hadir, toh? #CMIIW

Jadi, bagaimana cara menghilangkan si Ad Hominem ini?
Simple, kok!

Berpikirlah dengan kepala dingin dan berusaha menempatkan diri, “gimana ya kalau saya (penulis) menjadi pembaca? Pasti kalau ada yang dirasakan sedikit mengganjal, saya juga akan menyampaikan kritik kepada orang itu.”
Jadi, dengan berpikir sehat demikian, kita juga akan termotivasi untuk menghilangkan si AdHominem tadi. Terlepas dari serius atau tidaknya kita menulis di sini, kebiasaan ini baiknya tak usah dipelihara karena sesungguhnya, menjadi seorang AdHominem tentunya bukanlah sifat dari seorang penulis.
*
Penulis percaya, bagi seseorang yang memiliki jiwa melayani apalagi yang memang menyukai hal-hal berbagi seperti menulis, sudah tentu berjiwa besar dalam menghadapi gempuran dari pembaca. Masa’ iya sih kita penulis (apalagi penulis profesional) bisa kalah dari Angel Lelga di Mata Najwa tempo hari?
Menulis ya silahkan menulis saja. Jikalau diberi kritikan hingga memicu sebuah perdebatan panjang, ya silahkan saja. Namun, alangkah lebih bijaknya kalau hal-hal (debat) semacam ini jangan sampai mendorong kita untuk melakukan perbuatan bodoh sampai mau membuang-buang waktu menyerang “sisi lemah” si lawan. Belum lagi yang menyempatkan waktunya membuat tulisan balasan. Toh bagi si pengkritik bijak, bila sudah dijawab secara bijaksana, ia juga akan diam dengan sendirinya. Jadi, kita (pembaca) tak perlu marah-marah sampai menggosip ke sana ke mari menceritakan bahwa baru saja dikritik.
Mau jadi penulis lurus dan ikhlas mentransfer ilmu bagi pembaca atau malah mau mendiskreditkan pembaca yang bersebrangan dengan kita, sih?  [AZ]

Tulisan Terkait:

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate