Harapanku Untuk Negeri Penuh Ironi Ini

Banyak kejutan dari para pelaku negeri yang kerap terbaca oleh mata telanjangku. Mereka, berlagak manis dan bertingkah bak seorang kacung bagi rajanya. Padahal, tak jarang mereka menguliti kami, yang awalnya merasa bangga karena dilayani oleh para petinggi. Namun, benarkah itu?
Mereka bermain cantik
Dari yang berdasi hingga berlipstik
Pergi ke luar negeri
Katanya demi ibu pertiwi
Sesungguhnya ini adalah penganan yang mau tak mau harus ditelan mentah oleh anak bangsa ini, terlebih mereka yang selama ini memang tak miliki perhatian khusus pada tanah airnya. Mereka yang hanya berteriak-teriak jika jatah uang makannya kurang. Selebihnya, apakah mereka peduli dengan bangsa ini?
*
Sebentar, jangan hukum aku oleh sebab ucapku yang terkesan kasar. Namun, ini juga akibat tekanan rumah tanggaku.
Jakarta, sebelum Mei 1998
Suamiku yang pengangguran, adalah satu dari sekian banyak karyawan dari kantornya yang di PHK. Sebelumnya, Mas Arya adalah seorang karyawan dengan gaji besar, yang berkantor di salah satu gedung pencakar langit di republik ini. Berkat kerja kerasnya yang hampir tak mengenal waktu demi mengumpulkan rupiah, keluarga kami terpaksa sering hidup terpisah. Bersama bocahku yang berumur setahun, aku tinggal di kampung halamanku sebagai nyonya dengan seorang pembantu dan supir.
Biarpun jarang bertemu suamiku, namun beras masih ada untuk makan kami sehari-hari. Hari-hariku juga kerap diisi dengan rutinitas yang membosankan. Bagai hidup di sangkar emas, segala rutinitasku dipantau oleh suamiku. Ah… walaupun tampak luar aku bahagia, didalamnya, sebongkah hati ingin meledak rasanya.
Ah… itu dulu. Seiring rupiah semakin melambung, demonstrasi mahasiswa yang sempat menimbulkan korban jiwa dan runtuhnya rezim yang telah 32 tahun berkuasa, kehidupan rumah tangga kamipun ikut terkena dampak. Awalnya memang hanya riak-riak kecil. Namun, lama-kelamaan, suamiku yang stres akibat di PHK, mulai ringan tangan kepadaku. Namun, demi keutuhan rumah tangga dan harapan kedua orangtua kami, aku hanya mengalah.
Semarang, September 2006
“Sudah… kejadian ini sudah lama dan memang harus dilupakan, Arini.” Bisikku dalam hati. Namun, aku tak kuasa menolak, ketika buliran airmata tiba-tiba membasahi pipiku saat bayang masa lalu setelah PHK itu terjadi. Kesakitan ini muncul saat tengah kuoperasikan komputer di hadapanku. Ya… setelah suamiku di PHK dan kehidupan kami kembali ke tanah di tahun 1998,  Mas Arya pun akhirnya menyusul sahabatnya dengan menjadi TKI di Arab. Awalnya, memang ia begitu intens mengirim kabar juga uang. Namun, kepulangannya di tahun 2001 adalah sebuah pukulan berat dalam hidupku. Dan setelah palu diketuk, resmi juga aku menjanda hingga saat ini.
Hari-hariku setelah perceraian itu sungguh begitu berat saat. Aku bingung, bagaimana caranya menafkahi si Jelita. Umurku yang saat itu masih 21 tahun, dirasakan belum matang karena tak ada pengalaman. Walau hanya berbekal ijazah diploma, demi menyambung hidup, semestinya aku masih dan harus bisa mencari pekerjaan. Akhirnya, pekerjaanpun kudapatkan hingga di tahun 2005, sebuah rumah mungil dapat kubeli.
*
Semarang, Maret 2014
Kini, aku telah menjadi pimpinan di sebuah Kantor cabang Bank di kotaku. Berkat sambungan internet, aku bisa menjelajah dunia, termasuk situasi politik dalam negeri.
Terpukau mungkin adalah suatu hal biasa bagi mereka yang terlanjur mencecap kelakuan para badut politik di negara yang kaya akan sumber daya alam ini. Namun tetap saja, petinggi negeri ini tak miliki kuasa atas negerinya hingga tak bisa melakukan apa-apa dan membiarkan satu persatu kebanggaan negeri dapat dikuasai oleh pemerintahan asing. Sungguh miris bila kita mau menatap negeri dan bila mereka mau memberikan kesempatan kepada kita agar menjadi penguasa di negeri sendiri.
Mereka yang katanya mengutamakan kepentingan rakyat, hampir semua mewarisi praktek KKN. Yang dekat dengan mereka saja yang diberikan pekerjaan. Sementara lainnya? Seperti mantan suamiku yang terakhir kudengar kabar telah menjalani hukum Qishas, Sepintar apapun dia, harus puas menjadi kuli di negeri orang. Bukankah kekayaan bangsa ini amat banyak? Namun, mengapa masih membiarkan rakyatnya mengadu nyawa di negeri orang? Hanya demi devisa hingga merelakan nyawa orang lain?
*
“Kau tak tahu apa-apa? Kau hanya seorang perempuan!” Katanya.
“Benarkah aku tak tahu apa-apa? Hanya karena seorang perempuan, maka aku tak boleh berbicara? Undang-Undang negara ini tak pernah melarang perempuan berbicara, bukan?”
Ah… aku bukan perempuan lugu yang bisa kalian bodoh-bodohi, kok. Aku tahu, ada jutaan clausal yang penuhi perut ibu pertiwi.
Dimulai dari ketika mereka tak pedulikan hukum negara demi mengais rupiah, hukum Tuhanpun seakan hanya menjadi saksi. Sungguh kejam perlakuan mereka pada ibu pertiwi, hingga hukumpun mampu dikelabui. Ini adalah pertanda, bahwa moral bangsa ini bobrok oleh mereka yang katanya paling mengerti rakyatnya. Lalu katanya, rakyat ini yang salah?
Katakanlah rakyat ini bersalah. Namun, mengapa rakyat berontak? Sebab kalian, wahai petinggi negeri.
“Apa salah kami? Kami ini pahlawan dan menjadi pelayan rakyat.” Ujar mereka.
*
“Apa? Benarkah mereka adalah sosok superman bagi rakyatnya?” kataku sembari tersenyum sinis, masih di depan komputer di mejaku.
Hm… I don’t think so. Mereka tak lebih dari pengeruk kuburan massal bagi dirinya sendiri tatkala mengangap perlakuan bodohnya, legal demi hukum. Sebab mereka beralasan, semua yang mereka lakukan demi masyarakat yang mereka cintai, dan demi memperbaiki infrastruktur negeri ini hingga pelesiran ke luar negeripun tak ayal mereka lakukan.
“Ah… Masa iya sih demi rakyat? Kok tak berdampak apa-apa ya?” masih sinisku tatap komputer. Entah demi apa yang mereka lakukan. Yang pasti, tetap saja banyak masyarakat berada dalam garis kemiskinan.
Seharusnya mereka tak hanya menggunakan logikanya saja, namun juga memadukannya dengan etika agar mereka dapat menjadi wakil rakyat yang berguna untuk negeri. Jika mereka memakai keduanya, maka mereka akan tebal muka bila setiap hari harus masuk ke layar kaca, entah dengan bangga mempertontonkan keberhasilannya atau hal positif apapun yang mereka lakukan di kursi dewan yang empuk itu, sementara masih banyak generasi penerus yang harus menyebrangi sungai atau berjalan berpuluh-puluh kilometer hanya untuk mendapatkan pendidikan.
Seharusnya mereka yang terbiasa menggunakan urat syarafnya ketika sidang isbat itu berpikir, bahwa mereka masih belum berhasil mensejahterakan rakyat republik yang berdaulat ini, bila masih saja membiarkan pengrusakan atas nama agama dan kepercayaan masyarakat yang berbhinneka ini masih kerap terjadi.
*
Semarang, April 2014
Beberapa hari lagi, anak bangsa ini dituntut untuk memberikan hak suaranya untuk memilih mereka calon penguasa yang telah memberikan janji-janji manis untuk lebih membangun negeri. Menuju Indonesia Hebat-lah, menuju Restorasi Indonesia-lah dan janji lainnya yang menggugah rasa anak negeri untuk kembali mempercayai mereka.
Namun, bukan janji-janji semacam ini yang kami butuhkan. Kami hanya butuh makan di negeri sendiri hingga tak perlu mengais rupiah dan menjadi korban dari mafia Diyat yang selanjutnya.
Kami juga butuh adanya jaminan dan hak untuk menjalani agama dan kepercayaan kami masing-masing, tanpa ada campur tangan negara yang mendukung satu pihak yang merasa paling benar untuk mendiskreditkan kami. Kami ingin bertuhan dengan tenang sesuai dengan keyakinan kami. Ini adalah hak yang tak boleh diganggu gugat oleh siapapun.
Kami juga lelah dengan semua yang serba mahal. Kasihan teman-teman yang susah payah berteriak di luar sana, rela berpanas-panasan demi perut mereka. Dan yang paling penting, biarkan anak bangsa ini mengelola sendiri kekayaan bangsanya, agar terciptanya kemakmuran. Semoga calon pemimpin nanti, dapat bekerja tanpa pamrih demi rakyatnya. Dan semoga, para wakil rakyat nanti, tak menyia-nyiakan kepercayaan dari rakyat dan tak hanya sekedar beretorika sesaat. By the way, kalau sudah jadi, Jangan tidur saat sidang,ya!
*
“Mama… kok belum pulang dari kantor?” Mati lampu nih di rumah, Ma”. Sebuah chat masuk ke ponselku dari Jelita.
Ah… iya, ini sudah malam. Sehabis jam kantor, memang dari tadi aku hanya berkutat dengan komputer ini hingga tak menyadari sudah hampir pukul 9 malam. Huff… Lelah. Baiknya aku segera pulang dan menemani putri semata wayangku di rumah. “Iya, Nak. Mama segera pulang sekarang.”
-Selesai-

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate