Kejujuran dan Keikhlasan, Pelajaran Penting Untuk Anak-anak Sejak Dini


Judul Buku                                              : Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para Pendidik
Penerbit                                                 : Tanoto Foundation dan Raih Asa Sukses (Penebar Swadaya Group)
Penulis                                                   : Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan
Cetakan dan Tahun Terbit                    : I, Jakarta 2014
Tebal buku                                            : iv + 260 hal
1406795838499592371
dok. pri
Pada buku ini, terdapat tulisan yang berjudul, Belajar dari Gentong dan Celengan. Di sini, sedikit akan saya ceritakan.
Diceritakan bahwa hampir semua anak yang terdapat di Sanggar Anak Alam (Salam) mandi di sekolah. Kebiasaan mandi ini sangat dinikmati oleh anak-anak ini. Sangking nikmatnya, akhirnya pada suatu hari gentong tempat penampungan air itu pecah. Kebetulan saat itu, Ken yang sedang masuk ke dalam gentong. Hampir semua anak menyalahkan Ken, apalagi terlihat kakinya berdarah sembari terus menangis. Karena terjadi keriuhan, akhirnya Bu Wahya berbicara supaya mengobati dulu luka Ken. Anak-anak pun dipanggil untuk berkumpul. Setelah semua anak ada, Bu Wahya meminta anak-anak untuk menceritakan kronologisnya. Saling tuding dan tak mau mengakui kesalahan pun berlanjut akibat masing-masing ketakutan untuk mengaku. Setelah ditengahi oleh Bu Wahya, akhirnya anak-anak mengaku kalau pernah masuk ke gentong. Dan merekapun satu per satu mulai berkata jujur.
Selanjutnya, ada juga cerita tentang celengan yang hilang. Anak-anak merasa amat sedih karena celengan yang hilang itu. Walaupun sedih dan lesu, anak-anak berusaha ikhlas dan masih bermain dengan ceria. Malah, ada orang tua yang mau mengganti uang celengan itu. Setelah difasilitasi untuk melakukan diskusi, akhirnya diputuskan untuk menabung lagi.

Tanggapan saya:
Melalui kedua cerita di atas, anak-anak yang, memang baiknya diajak untuk saling bekerjasama memecahkan suatu permasalahan. Di sinilah dibutuhkan kebijaksanaan oleh para guru. Mereka tak boleh langsung ditunjuk untuk mengaku lalu dijadikan pesakitan dan mendapat hukuman (untuk kasus masuk ke gentong air). Anak-anak harus dilatih berkata jujur. Jujur, walaupun awalnya saya rasakan terkesan lama. Namun, harus saya akui, dibutuhkan kesabaran ekstra untuk membangun karakter seorang anak agar dapat berlaku jujur sejak dini, agar ketika mereka dewasa nanti, hal-hal yang dirasakan kecil tadi, dapat berdampak ke psikologis mereka. Begitu juga untuk cerita tentang celengan yang hilang. Baiknya memang, sedari dini, anak-anak dilatih untuk belajar ilmu ikhlas. Saya tahu, ikhlas ini memang tak mudah. Namun, jika kasusnya seperti celengan yang hilang tadi, kan memang kita tak tahu siapa yang mencurinya dan di mana si celengan tadi. Jadi, hemat saya, yang sudah berlalu ya biarkanlah berlalu. Selanjutnya, buka lembaran baru (menabung lagi) dan lebih meningkatkan kewaspadaan.  Kedua hal diatas (kejujuran dan keikhlasan), memang harus dimiliki sejak dini oleh seorang anak agar nantinya mereka mampu menapaki hidup yang memang tidak mudah, apalagi di zaman canggih ini.
*
Juga terdapat tulisan yang berjudul Lagu Gaza untuk Murid-muridku.
Terdapat lagu We Will Not Go Down yang diputar oleh sang guru. Anak-anak begitu semangat menyanyikannya. Lalu sang gurupun berkata, “Ini pelajaran bahasa ingggris, bukan pelajaran menyanyi”. Hal tersebut dikatakan oleh sang guru agar anak-anak tak ragu mengeluarkan suaranya. Sang guru juga memberikan beberapa artikel yang tentunya sudah dihilangkan detailnya.

Tanggapan saya:
Dapat saya simpulkan, melalu metode lagu tersebut, anak-anak dilatih agar berani mengeluarkan suaranya dalam pengucapan bahasa inggris. Tak perlu malu karena takut salah. Kalau salah, tentunya sang guru akan membantu memperbaikinya. Jadi, anak-anak diperkenalkan beragam kata, juga artinya hingga mereka merasa benar-benar memerlukan bahasa inggris. Sejatinya, bahasa inggris ini, sangat diperlukan, di manapun kita berada.
Tak hanya sampai di situ, lagu ini dipilh juga agar anak-anak melek informasi. Tentunya, sang guru harus menjelaskan sembari memberikan artikel bahasa inggrisnya. Karena sejatinya, pada tahap awal, anak-anak ini tak bisa dilepaskan begitu saja karena dikhawatirkan akan terjadi kesalahpahaman akan peristiwa itu, walaupun sang guru telah menghilangkan detailnya. Pada tahap ini pula, sang guru juga harus melakukan cek ricek kebenaran. Tak elok rasanya, jika sang guru pun ikut-ikutan terprovokasi akan berita yang banyak beredar, bukan?
*

Kekurangan buku:
Sebenarnya, buku ini nyaris sempurna, tanpa cacat. Bahasa yang digunakan cukup mampu dipahami oleh para calon guru, maupun guru yang telah ada di lapangan. Sungguh inspiratif. Kekurangannya yang dapat saya sorot adalah, pada detail isi buku. Saya mengerti, memang sudah berkali-kali saya katakan sangat inspiratif, bukan? Namun, beberapa bagian isi buku, digunakan kalimat yang bertele-tele, hingga tulisannya panjang dan dibutuhkan waktu yang tidak cukup sehari atau duah hari untuk selesai membacanya.

Harapan saya:
Untuk buku selanjutnya, semoga kalimat-kalimatnya dapat dipersingkat saja. Jangan terlalu panjang dan isi bukupun tak perlulah setebal ini. Harus saya akui, agak menjemukan hingga saya kesulitan mendapat dan mengolah isi buku ini.
Selain kekurangan serta harapan saya untuk kelangsungan buku ini, tentunya, ada kelebihan yang saya rasakan.

Untuk kelebihan buku, dapat saya uraikan kembali sebagai berikut:
Walaupun saya tak menuliskan detail Bab per bab, setelah saya baca keseluruhan isi buku, saya rasa, buku ini sangat pantas untuk dimiliki oleh seorang guru yang benar-benar ingin mengabdikan dirinya demi menciptakan generasi yang membanggakan. Dapat dibaca,  banyak hal yang harus dipelajari para calon guru sebelum terjun menjadi guru, semisal, seorang guru harus mempunyai kesabaran yang luar biasa dalam menghadapi anak didiknya. Seorang guru, juga dituntut untuk selalu sempurna dan menjadi panutan muridnya. Jadi, gurupun tak boleh bersikap kasar dan acuh tak acuh kepada muridnya.
Bila benar-benar telah mematri diri untuk mendapat sebutan guru, hendaklah jangan hanya digunakan untuk membuat anak-anak takut dengan guru yang kasar. Sebaiknya, buatlah anak-anak itu sebagai sahabat. Dekatilah murid itu, maka muridpun tak akan ketakutan ketika melihat sang guru. Namun, bukan berarti sangking dekatnya, sang anak sampai berlaku tidak sopan. Sambil melakukan pendekatan itu, anak-anak juga diajari etika dan tata krama.  Bila kesiapan dan kebaikan ini telah dilakukan oleh sang guru, hemat saya, guru-guru seperti ini layak menuntut upah tinggi, diangkat menjadi PNS maupun sertifikasi.
*
Demi pendidikan yang lebih baik, tak lupa saya tuliskan kutipan menarik yang dapat membakar para murid juga guru untuk terus belajar. Kutipan ini tentunya dari sang Founder of Tanoto Foundation, Sukanto Tanoto yang berbunyi, “The moment you stop learning, your brain becomes cancerous. Continue to improve, continue to learn-never stop learning.”

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate