My Great Passion is a Journalist!
![]() |
https://www.keepcalm-o-matic.co.uk/p/keep-calm-and-become-a-journalist/ |
Menjadi seorang wartawati, masih merupakan hasrat terbesar dalam hidupku hingga saat ini. Kadang, aku juga tak tahu mengapa aku begitu mencintai pekerjaan ini. Saat di kampus, aku juga biasa saja dengan IPK 3,2 untuk lulus. Namun keaktifan menulisku, mengarahkanku untuk terjun ke dunia jurnalis, dosenku juga mengatakan bahwa aku cocok untuk menjadi wartawan. Entah mengapa, keinginanku untuk menjadi wartawan begitu besar. Padahal, kalau dilihat dari silsilah keluarga, belum ada dari keluargaku yang menjadi wartawan. Beragam stigma dari mulai gaji yang tak banyak sampai resiko pekerjaan yang tak mengenal waktu, sering terdengar. Rata-rata, mereka semua menjadi guru atau pegawai kantoran. Sedangkan aku?
Baca juga : Investasi Kaum Milenial lewat PRUlink Generasi Baru
Aku tak tahu mengapa, aku tak bisa berlama-lama berada di satu tempat,
kecuali berdiam diri di sebuah Kafe sendirian bersama notebook. Tanpa makan, Cuma
kopi berkali-kali, cudah cukup untuk menemaniku menjelajahi dunia ini dengan
WiFi. Atau berada di toko buku, sembunyi-sembunyi membaca sepintas buku sambil
bersandar di rak buku.Itu saja kegiatan yang bisa mendiamkanku. Selebihnya, aku
lebih suka bepergian ke mana saja dengan sepeda motorku, melihat sesuatu yang
belum pernah kuketahui. Bahkan suatu hari di tahun 2011, entah mengapa, aku
ingin sekali pergi ke Berastagi yang cukup ditempuh sekira hanya 2 jam saja
jika dengan mobil dari Kota Medan. Padahal siku kiriku saat itu, baru sembuh
dari patah dan masih terpasang pen.
Kali ini, aku memutuskan untuk tetap berangkat, walau kupikir akan memakan
waktu lebih lama karena dengan sepeda motor. Dua jam perjalanan, aku begitu
menikmati pemandangan serta udara yang sejuk, bersama jalanan aspal yang
berkelok dan merupakan tanjakan. Sungguh perjalanan itu luar biasa dahsyatnya bagi seorang perempuan
dengan sepeda motor. Sendiri kulewati semuanya hingga sampailah aku di Bundaran
Kota Berastagi, yang jika berbelok ke kanan, ke arah Gundaling. Di sekitar itu,
aku melihat banyak pedagang buah tangan, terang saja karena Berastagi merupakan
salah satu destinasi wisata di Sumatera Utara. Di sana, aku tak membeli apa-apa,
hanya beberapa bungkus strawberry. 15 menit di sana, aku pun berbalik pulang,
tak lupa mengisi Bahan Bakar untuk sepeda motorku yang tampaknya lelah.
Ketika berbalik arah ke Medan, jalanan yang harus ditempuh, tentu saja
turunan. Dan hari pun mulai mendung. Kupikir, ini akan hujan. Pun kalau aku
berteduh, aku takut kemalaman. Tanpa mau menunggu, aku pun jalan untuk kembali
ke Medan. Sial, tak ada yang mendorong, tiba-tiba aku terjatuh dengan situasi
jalanan yang sedang macet. Syukurnya ada yang menolong dan aku pun tak terluka,
hanya jaket dan celanaku yang kotor. Kulanjutkan perjalanan, yang tiba-tiba
hujannya deras. Tak menunggu lama, aku segera memakai mantel dan terus
mengendarai sepeda motorku dengan hati-hati di tengah hujan. Ajaibnya, lebih
kurang 1 jam kemudian, aku sampai di Medan. Ini mungkin karena, ketika pulang,
aku tak singgah-singgah lagi untuk memotret beberapa tempat. Setelah Berastagi
itu, setiap hari, aku berpikir akan ke mana lagi aku hari ini, tapi tidak ke
luar kota seperti ke Berastagi, kapok juga jalan jauh sendiri dengan sepeda
motor. Kawanku yang orang Berastagi saja marah mengetahui aksi gilaku. Dia
bertanya, “nyawamu ada berapa pergi ke kampungku sendirian naik kereta?”
(Kereta: sebutan kami di Sumatera Utara/Medan untuk Sepeda Motor).
Baca juga: Xpander Tons of Real Happiness, Hiburan Variatif di tengah Kota Medan
Baca juga: Xpander Tons of Real Happiness, Hiburan Variatif di tengah Kota Medan
Semakin hari semakin kusadari, menjadi wartawati adalah pilihan hidupku.
Tak semata pekerjaan, menjadi seorang wartawati adalah mediaku berlatih agar
tak melulu takut dan ragu untuk bertemu dan berbicara di hadapan khalayak
ramai. Menjadi seorang wartawati, memuaskan keingintahuanku akan sesuatu yang
tak diketahui orang banyak. Dan menjadi wartawati adalah mediaku untuk
berinteraksi dengan orang-orang yang bahkan jarang tersentuh media, untuk
berbagi kepada khalayak tentang mereka. Setiap hari, banyak tempat baru yang
kukunjungi selama menjadi wartawati.
*
Jalanku menjadi seorang wartawan, bukanlah suatu hal yang mudah. Setelah
lulus dari D3 jurusan Sekretaris pada tahun 2009 lalu, aku sempat melamar
beberapa pekerjaan ke sana ke sini hingga akhirnya di Desember 2009, aku
diterima menjadi telemarketing. Sedihnya, dua bulan bekerja, malah tak
mendapatkan gaji dengan alasan masih masa percobaan. Jerih payahku sungguh tak
ada hasilnya. Kalau boleh jujur, aku sempat down.
Februari 2010, aku keluar dari kantor itu.
Beberapa bulan saat masih dalam rangka mencari pekerjaan, aku mengalami
kecelakaan yang menyebabkan syarafku mengalami masalah. Beberapa bulan berobat
rutin, aku sembuh. Setelah sembuh, aku memutuskan untuk melanjutkan kuliah. Kali
ini aku mengambil jurusan Komunikasi di salah satu universitas swasta di Medan.
Saat kuliah, aku sempat beberapa kali diterima bekerja sebagai marketing
dan telemarketing. Setelah Berbulan-bulan gonta ganti pekerjaan yang bergaji
rendah, aku memutuskan untuk berhenti kerja. Aku merasa tak memiliki kompetensi
apa-apa di bidang marketing. Akhirnya, aku berniat serius kuliah sekaligus
menjadi blogger di blog keroyokan. Tujuanku hanya satu, yaitu berlatih menulis
karena aku memang lebih suka menyampaikan maksudku lewat tulisan. Berbekal
keterampilan menulis itu ditambah kesukaanku membaca, selesai kuliah, aku melamar
pekerjaan sebagai wartawan di salah satu surat kabar lokal di daerahku. Syukur
kepada Tuhan, aku diterima setelah dilakukan seleksi.
Awal mula menjadi wartawan, tidaklah mudah. Aku harus terjun ke lapangan
sendirian, tanpa didampingi oleh siapapun. Aku diharuskan untuk mencari bahan
untuk tulisanku, baik di pasar, loket bus, kafe, dan tempat-tempat ramai
lainnya seperti konser atau pagelaran seni lokal. Karena masih baru, aku
bertanya seadanya. Melihatku, ada narasumber yang malah kasihan, ada juga yang
tak mau diwawancarai. Setelah mendapatkan bahan dan menuliskannya, aku harus
menghadapi lagi kritikan dari para redaktur. Saran mereka selalu kuterima meski
masih banyak kesalahan dalam tulisanku. Aku mencoba terus bertahan dan terus
berusaha memperbaiki tulisanku hingga enak dibaca dan layak ditayangkan di
koran. Ini semua karena aku mencintai pekerjaan ini.
9 bulan lamanya masa percobaan dengan upah yang cukup layak, setelah
dirasakan cukup, akhirnya aku diangkat menjadi karyawan tetap dengan kenaikan
upah. Setelah itu, aku makin semangat menjalani rutinitasku. Aku makin suka
menghadiri seminar usaha kecil mengah (UKM) dan pemiliknya. Buatku, sekaligus
memberikanku pelajaran tentang usaha yang melingkupi strategi penjualan
hingga cara-cara terbaik untuk mendapatkan omset yang terbilang besar. Aku juga
sering bertemu dengan para pelaku seni di kotaku. Ini juga pembelajaran buatku
agar semakin mencintai seni. Selain itu, sensitifitasku menjadi semakin terasah
melihat beberapa kondisi sosial yang kurang baik. Tak peduli siang atau malam,
selama masih bisa bertemu narasumber, semua wawancara, aku selesaikan. Buatku,
selama masih bisa, kenapa harus ditunda?
Selain itu, saat perayaan ibadah agama lain, aku menghadirinya semata untuk
liputan, melaporkan situasi dan kondisi, serta melihat tata cara mereka
beribadah. Tak sampai di situ, aku mewawancarai para pastor,
pendeta, maupun bhiksu. Aku berusaha untuk selalu membina hubungan baik dengan
mereka, agar mereka nyaman dan memudahkanku dalam menjalani pekerjaanku.
Semuanya kujalani karena cintaku pada pekerjaan ini.
Namun memang, anugerah Tuhan tak dapat ditolak. Jelang dua tahun
menjadi seorang wartawan, aku mengalami kecelakaan yang kali ini
tergolong dahsyat hingga patah kaki. Para teman dan narasumber yang mengetahui,
semua tak percaya. “Tak mungkin seorang kamu yang begitu energik, ada di sana
di sini, liputan ini liputan itu, bisa sakit.”
Sebagai perempuan normal, aku sempat merasakan keterpurukan yang begitu
menghancurkan hatiku. Ketakutan merajai pikiranku setahun pertama setelah
kejadian itu. Namun hari demi hari, aku berusaha bangkit. Aku terus memotivasi
diriku sendiri, “Aku harus sembuh. Aku mencintai menjadi wartawati. Jadi aku
harus menempuh segala pengobatan supaya aku dapat memulainya lagi.”
Buat sebagian orang mungkin, setelah mengalami kecelakaan, akan mundur dari
pekerjaan ini. Namun tidak bagiku. Aku masih mau melakukan pekerjaan itu karena
aku sangat mencintainya. Wartawati mengubahku dari yang tadinya pemalu dan
pengecut, menjadi pemberani. Ya, namanya sudah terlanjur cinta, tentu aku tak
akan menyerah. Ini pilihan hidupku.
Salam,
Auda Zaschkya
17 komentar
Tetap semangat yaaaa... peluk dari jauh....
BalasHapusKakak Retno 😘😘😘
HapusKaaak.. D3 Sekertarisnya dimana? Kalau di USU berarti Juniornya suami aku lah..hahaha.
BalasHapusAku tahu tulisan ini adalah obat penguat. Maka hapuskan kata sedih dan terharu. Mari ganti dengan kata bisa dan kuat. Ayo semangat. Kak auda Hebaat
Bukan di USU hehe..
HapusAmin
Makasih, Kina 😘
semangat kak .. Allah selalu menjagamu ...
BalasHapusAmin. Makasih, Dinda..
HapusSenang bacanya. Inspiratif. Sehat ya
BalasHapusAmin. Terima kasih sudah singgah 😊
HapusAd aj materi yg d tulis. Mesti belajar dari kaka👍
BalasHapusSama2 belajar yuk, Kak...
HapusKeren, aku suka penulisannya dan aku suka perjuangan hidup kamu. Terbaik. :×
BalasHapusTerima kasih sudah membaca 😊
HapusSo inspiring!! Love your story. Never gives up hope and one day you’ achieve it
BalasHapusWaaah semangat beb ya! Aku sempet jadi jurnalis di media tv tapi cuma beberapa bulan aja abis itu pindah karena ga kuat ��
BalasHapusSemoga kesehatan selalu menyertaimu auda, rezeki jodoh dan maut sudah ditentukan Allah,, sabar dan sukssukses selalu
BalasHapusDulu sempat bercita-cita jadi wartawati, tapi saya enggak bernyali,hehe. Saya enggak bisa meyakinkan orangtua saya kalau bekerja sebagai jurnalis dapat menjanjikan. Akhirnya putar setir, tapi sekarang tetap melampiaskan hobi menulis dengan ngeblog. Tetap semangat ya mbak mengejar cita-citanya! :)
BalasHapusAs an ex journalist, It's really touching to see you with all the passion and motivation, just to pursue a career that doesn't work for me. Saya justru nggak pernah bermimpi utk jadi jurnalis, sesimpel krn saya nggak pernah melihat diri saya yg pemalu dan rather introvert bisa mengemban tugas seorg jurnalis. But life happens dan saya direkrut mjd jurnalis salah satu perusahaan media tertua dan terbesar Indonesia.
BalasHapusWhat I love about the work is, seperti yg Mbak bilang, saya bisa menyampaikan sesuatu kepada khalayak lewat tulisan. Saya memang suka menulis, that's why saat ditawari pekerjaan itu saya akhirnya menyanggupinya. Dan saya merasakan banyak hal seperti yang Mbak rasakan. Senang bisa belajar dan mengenal banyak hal baru, mulai dari berbagai masalah dan isu sosial, juga keberagaman.
Saya juga mengalami, tuh, yg namanya mengunjungi masjid dan pemuka agama saat perayaan ibadah agama yg berbeda dg yg saya anut. Seru, krn kalau nggak jd jurnalis, blm tentu saya akan pernah mengunjungi dan masuk masjid, hehe. Begitu juga tempat ibadah lain. Trus inget saat-saat dikirim utk pergi liputan malam-malam, atau menggarap peliputan yg lokasinya jauh di waktu yg mendadak. Dan deg-degan saat wawancara eksklusif dg tokoh penting, atau adrenalin terkuras saat liputan bencana atau serangan teror. Ah, those unforgettable three years.
Benar kata Mbak, pekerjaan jurnalis itu pun mengubah diri saya yang tertutup, pemalu, dan pengecut menjadi seorang yang lebih berani dan mau mencoba untuk keluar dari zona nyaman. Pekerjaan itu lebih dari sekadar menulis. Semangat terus ya Mbak untuk berbagi cerita dan kebenaran fakta lewat tulisan jurnalistik Mbak! Semoga kebaikan selalu menghampiri Mbak. Salam kenal and thank you for sharing :)