Demi Anakku, Aku Rela Menjadi Pelacur
Marni. Ya.. Biasa pria-pria ku memanggilku
dengan nama itu. Aku adalah primadona di Cafe ini. Awalnya aku yang kini
berusia 30 tahun ini setiap malam melakukan pekerjaan hanya sebagai pelayan
cafe. Namun keadaan memaksa, hingga aku pun sering menemani tamu di cafe itu
sampai di hotel-hotel seputaran kota. Tak jarang, hotel tempat aku bermandikan
hasrat bersama seorang pria, dirazia oleh satpol PP hingga aku digelandang ke
kantor mereka. Memang aku tak dipenjara, hanya diberi peringatan agar tak
melakukan pekerjaan itu lagi. Namun, bagiku tak ada pilihan lain, aku tetap
kembali ke pekerjaan itu demi anakku.
***
Aku adalah seorang ibu dari Putri cantikku
yang berumur 14 tahun, Dini namanya. Sekarang ia sedang duduk di kelas 3 sebuah
SMP. Hari-harinya dilalui dengan aktifitas sekolah dan les tambahan. Bagiku,
Dini adalah satu-satunya harta terindah yang dianugerahkan Tuhan untukku. Demi
putriku, aku rela mencari uang demi kebahagiaannya, demi memenuhi kebutuhannya
walaupun aku harus menjual tubuhku di malam hari. Sering aku menangis di malam
hari, menyesali nasibku yang harus terjun ke lembah prostitusi ini. Semua ini
karena Robi.
Robi yang menikahiku dan menjualku
dipinggir jalan 15 tahun silam. Kalau aku tak mau, Robi memukulku. Aku
sempat berhenti melakukan pekerjaan itu ketika mengandung Dini. Kupikir
penderitaanku selesai, ternyata tidak.
Meski telah melahirkan Dini, setahun
kemudian aku kembali turun ke jalan. Aku kembali menjajakan diri, menjadi
kupu-kupu malam demi tumpukan rupiah untuk Robi, suamiku. Apa Robi masih pantas
kusebut sebagai suami? Aku tak tahu. Yang kutahu adalah Robi merupakan ayah
biologis dari Dini. Kubiarkan saja tubuhku dijamah pria-pria berbeda setiap
malam, kulakukan perintah Robi agar ia tak meninggalkanku bersama Dini. Sakit
sekali rasanya diperlukan begini oleh suami sendiri.
Sungguh perih hatiku ketika aku kembali ke
rumah di suatu pagi, mendapati Robi yang sedang tergolek tanpa busana bersama
seorang wanita di ranjangku. Tak ketinggalan minuman keras disamping mereka.
Aku benar-benar marah. Aku berteriak-teriak hingga mereka bangun dan memakai
pakaian mereka. Robi tak tinggal diam, ia memukulku. Setelah puas
menghajarku, Kemudian ia pergi bersama wanita itu.
Sejak saat itu, aku hanya tinggal bersama
Dini di rumah yang kusewa ini. Dini kecil sering ku titipkan di rumah
tetanggaku. Para tetangga Cuma tahu kalau aku bekerja di sebuah rumah makan di
kota. Ya.. sejak saat itu, aku tak mangkal di pinggir jalan lagi. Aku menjadi
pelayan cafe dan berhasil menjadi primadona cafe tersebut. Banggakah aku? tentu
saja tidak. ini adalah beban tersendiri buatku, apalagi mengingat Dini. Sampai
Dini besarpun ia tak akan tahu pekerjaanku yang sebenarnya. Ia tak boleh tahu.
Yang ia harus tahu adalah aku bekerja demi mendapatkan uang untuk biaya hidup
kami dan pendidikannya.
“Ibu.. aku lagi butuh
uang nih, udah 3 bulan ini aku menunggak uang sekolah”, cerita anakku di suatu malam ketika ia sedang memijatku. “maafkan ibu, ibu belum punya uang sekarang sayang, Dini sabar
dulu ya nak. Besok ibu masuk kerja”, kataku. “jangan lama ya bu, Dini harus
bayar uang sekolahnya minggu depan, kalau nggak bayar segera, Dini gak bisa
ikut UN bu”, tambahnya. Sungguh perih hatiku saat itu, hingga aku
bertekad untuk segera sembuh agar bisa “dinas” lagi besok malam.
Seminggu ini aku tak pernah absen mencari
uang di cafe, hingga terkumpul uang untuk Dini. Tubuhku sakit semua rasanya,
aku kelelahan. Malam ini kuputuskan untuk beristirahat saja di rumah bersama
Dini. Memandang putriku dan mengingat pekerjaanku, tak sengaja aku menangis.
Namun aku cepat-cepat menghapus airmataku agar tak dilihat oleh Dini.
Aku memanggil Dini yang sedang mengambil
air untukku, “nak, ini uang yang kamu
minta kemarin. Kamu sekolah yang rajin ya nak”. “tapi kok cepat sekali ya bu, ibu pinjam uang ke siapa?”, tanyanya.
“sudahlah sayang, biar
ibu yang pikirkan tentang uang. Tugasmu hanyalah belajar. UN sebentar lagi,
jangan banyak pikiran ya nak. Kamu harus benar-benar belajar supaya lulus SMP
dengan nilai yang bagus dan bisa masuk SMA”.
Sejenak aku berfikir,
seandainya Dini tahu pekerjaanku, maukah ia tetap melakukan hal-hal manis untukku?
Apakah ia masih menganggap aku ini sebagai ibunya? Masihkah terucap dari
bibirnya panggilan ibu untukku?
Pekerjaan ini telah kugeluti selama 15
tahun, entah berapa banyak lelaki yang menjamahku. Aku tak ingin lagi begini.
Aku ingin berhenti mengais rupiah di pelukan para lelaki. Semakin perih rasa
hatiku ketika ingatanku kembali kepada Robi. Semua itu tak kutunjukkan di
hadapan Dini. Dini tak boleh tahu.
Aku telah bertekad, suatu saat aku akan
berhenti dari pekerjaan ini. Dengan sedikit uang tabunganku, aku berharap dapat
membuka warung kecil di rumahku. Aku tak ingin lagi menjajakan diri. Aku ingin
dirumah saja agar dapat lebih memperhatikan Dini yang akan masuk SMA nanti. Aku
tak mau masa depannya hancur sepertiku. Semoga Tuhan mengabulkan do’a dan mengampuni
diriku yang telah bergelimangan dosa ini. Amin.
0 komentar