![]() |
gambar dari: https://web.facebook.com/kaen.bima |
Kota Bima, Provinsi Nusa Tenggara
Barat, memang terletak jauh dari Ibukota. Jangankan wisatawan mancanegara,
bahkan barangkali, masih banyak warga Indonesia sendiri, yang tidak mengetahui
di mana Kota Bima ini berada, karena orang-orang hanya tahu Pulau Lombok, termasuk
sirkuit Mandalika karena merupakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika, yang
terdapat di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Wajar
saja orang tahu, karena sirkuit ini adalah fasilitas balap motor kelas dunia,
MotoGP seperti yang baru-baru ini sukses terselenggara.
Selain Pulau Lombok yang besar,
ada satu lagi pulau besar yang wajib diketahui dan juga menarik perhatian,
yaitu Pulau Sumbawa, dengan Gunung Tambora yang merupakan titik tertingginya
dan juga gunung api yang masih aktif. Tak hanya sampai di situ, pulau Sumbawa
ini masih cukup luas, yang punya empat kabupaten dan satu kota, yaitu Kota Bima,
di mana kita mesti melihat lebih jauh ke Kota Bima, yang seharusnya menjadi
destinasi wisata, sekaligus kita bisa menggali dan mempelajari budaya lokal,
khususnya kain tenun lokal, yang sudah mulai banyak dilupakan, seperti di
Kelurahan Ntobo.
Di sana, ada seorang perempuan yang
berhasil mengubah kecintaannya pada budaya lokal menjadi kekuatan nyata, yaitu Yuyun
Ahdiyanti, yang awalnya merasa kebingungan sendiri, kenapa kampung halamannya
bahkan jarang diperhitungkan sebagai kampung penenun? apalagi sejak kecil, dia
sudah jatuh cinta dengan motif-motif kain tenun yang menceritakan budaya lokal masyarakat
Bima sendiri, di mana mayoritas warganya juga penenun. Ternyata, selain karena
kurangnya modal, metode pemasaran yang dapat menjangkau publik, juga tidak
memadai.
![]() |
gambar dari https://www.tempo.co/ |
Memang awalnya, perjalanan UKM
Dina dirasakan banyak tantangan. Banyak penenun yang sudah biasa dengan cara
tradisional, pasar terbatas, dan promosi nyaris tidak ada. Namun, tekad Yuyun
kuat. Awalnya, dia meng-upload kain tenun yang sudah ada ke media sosial
pribadinya. Perlahan, dia mulai
membangun jaringan, melatih penenun muda, dan memperkenalkan inovasi dalam pola
dan kualitas kain.
Cinta yang dia berikan kepada
kebudayaan tenun kampung halamannya yang mendorongnya untuk mendirikan UKM Dina
pada tahun 2015. Jadi, lewat UKM Dina, dia tidak hanya memproduksi kain tenun
Bima yang indah, tapi juga memberdayakan perempuan lokal dan melestarikan
tradisi yang sudah turun-temurun hingga hari nanti.
Kini, UKM Dina telah berhasil
memberdayakan banyak penenun dan penjahit lokal. termasuk para remaja putri juga
dilibatkan dalam pelatihan menenun, yang berguna agar memastikan generasi muda
tetap mengenal budaya mereka.
Produk UKM Dina kini sudah
semakin dilirik wisatawan, bahkan berhasil dipasarkan hingga pasar
internasional, termasuk Eropa dan Asia Tenggara. Ini merupakan kebahagiaan
tersendiri bagi UKM Dina , karena telah mengharumkan nama Bima, khususnya di
Desa Ntobo, yang dikenal sebagai desa wisata Kampung Tenun, sekaligus
mendongkrak ekonomi lokal.
Dengan demikian, dampak sosialnya
sangat nyata terasa. Perempuan yang sebelumnya dianggap memiliki akses terbatas,
baik dari peluang kerja dan pemasaran, kini memiliki kemandirian finansial,
kepercayaan diri, dan peran penting dalam komunitas.
Kisah Yuyun Ahdiyanti ini,
memberikan padangan baru bagi para perempuan di luar sana, bahwa tekad kuat dari
seorang perempuan, dapat mengubah komunitasnya menjadi lebih mandiri, kreatif,
dan inspiratif. Bersama UKM Dina, dia membuktikan bahwa budaya lokal bukan
sekadar warisan, tapi juga sumber peluang, inspirasi, dan kesejahteraan bagi
banyak orang.
0 Komentar