Penyakit Kusta adalah Kutukan. Yang Benar Saja?
gambar dari https://www.solider.id/ |
***
Berbicara tentang penyakit
kusta (lepra), memang tak ada habisnya, mengingat penyakit yang masih dianggap
sebagai kutukan oleh banyak orang awam ini, merupakan sebuah penyakit kuno (tua),
yang sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum zaman para nabi.
Maka dari itu, terkait
penyakit kusta ini, tertuang dalam beberapa ayat dalam kitab suci beberapa
agama dan hadist Nabi Muhammad SAW, seperti yang disampaikan oleh dr. Muhammad
Iqbal Syauqi, seorang dokter umum di RS. Aisyiyah Malang dan kotributor di islami.co, yang pernah mengenyam
pendidikan ilmu hadist di Pesantren Darus Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan.
Disampaikannya pada Talkshow Ruang Publik KBR, Senin (8/5), di dalam
agama islam, seperti yang tertuang di dalam hadist, fenomena penyakit seperti
kusta ini, sudah ada di masa Nabi Saw, maupun sebelumnya. Dalam hadist Nabi
Saw, penyakit kusta ini disebut Judzam, yang berasal dari kata jadzama –
yajdzamu yang sama dengan qatha’a – yaqtha’u, yang berarti terpotong, karena
gambaran penyakit kusta ini, ada fasenya yang mengalami multilasi (terpotong
dan terlepas), sehingga menyebabkan penderitanya mengalami disabilitas.
Tentang penyakit kusta
tersebut, bahkan ada hadist shahihnya, yang memiliki arti, Diriwayatkan oleh
Anas Ra, “Ya Allah, aku berlindung dari belang, gila, kusta dan penyakit-penyakit
buruk.” Hadist ini diriwayatkan oleh abu Dawud dengan Sanad Sahin, seperti yang
bisa dibaca selengkapnya di sini .
Jadi jelas, dari masa lampau,
kusta merupakan salah satu penyakit yang cukup mengkhawatirkan dan ditakuti. Lalu,
bagaimana sikap Nabi Saw pada saat itu? Di atas, sudah ada do’anya, di mana
Nabi Saw meminta perlindungan dari Allah Swt, berarti Nabi juga takut kalau ada
orang yang mengalami penyakit tersebut. Makanya nabi mengajak orang-orang untuk
membaca do’a tersebut.
Ada juga hadist yang
mengatakan, pergilah dari orang yang terkena kusta sebagaimana kamu lari dari
singa. Dengan hadist ini juga menunjukkan bahwa kusta di masa lalu, cukup
ditakuti oleh masyarakat Arab.
Namun demikian, walaupun
dengan ketidaktahuannya yang mendalam tentang penyakit kusta ini, Nabi tetap berusaha
tidak mendiskriminasikan penderitanya.
Lalu di masyarakat awam
sendiri, stigma yang lahir akibat penyakit kusta ini, memang cukup beragam
hingga saat ini, seperti dikatakan penyakit kutukan, azab, balasan dari Tuhan, akibat
dosa, dll, yang tentu diakibat oleh ketidaktahuan masyarakat.
Dijelaskannya,
ada beberapa faktor yang harus diketahui orang-orang, bagaimana penyakit kusta
ini menular.
- - Terjadinya
kontak erat dengan si penderita kusta
- - Faktor
imunologis (daya tahan tubuh)
Pemberian
obat secara terus menerus kepada penderita kusta, merupakan jalan terbaik,
selama 12 bulan setiap hari, supaya sembuh. Lalu pertanyaannya, apakah orang
itu bisa terkena kusta lagi? Bisa saja.
Berarti
dia sudah harus benar-benar memperhatikan kesehatan dan daya tahan tubuhnya
(makan makanan bergizi dan selalu mendapati akses kesehatan), juga selalu
menjaga kebersihan lingkungannya. Pokoknya tidak boleh lengah, termasuk tidak
lagi kontak erat dengan penderita kusta lain.
Jadi, menurutnya, selain informasi yang harus dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat umum, juga perlu peran tokoh-tokoh agama, untuk menjawab terkait stigma tersebut. memang sudah dilakukan, tapi harus terus menerus, setiap tahun. peran mereka, tentu dapat mengedukasi orang-orang awam seperti kita.
Sebagai orang yang pernah
mengalami kusta (OYPMK), Pdt (Emeritus) Corinus Leunufna mengatakan hal yang
sama.
Diceritakannya, awalnya pada
tahun 2016 tersebut, Pendeta Corinus,
berkonsultasi ke dokter dengan gejala mati rasa pada kaki. Menurut dokter yang
menanganinya, Pendeta Corinus, disarankan untuk segera memeriksakan diri ke
puskesmas. Setelah diperiksa, ternyata Pendeta Corinus, sudah terinfeksi kusta.
Pendeta Corinus menjelaskan perasaannya saat itu, yaitu takut pada stigma yang beredar
luas di masyarakat termasuk keluarga dan jemaat yang menghindarinya, bukan ke
penyakit kustanya.
Setelah diperiksa lagi lebih
intensif, Pendeta Corinus diberikan obat dan diminum tanpa berhenti selama satu
tahun. Kemudian pada bulan Mei 2017, akhirnya pendeta Corinus menjadi dinyatakan
sebagai OYPMK. Dikatakannya, menjadi seorang OYPMK, tak disesali karena
menurutnya, sebagai seorang rohaniawan, Pendeta selalu berdoa kepada Tuhan untuk
mereka yang kurang beruntung, termasuk penderita kusta lainnya, untuk menolong
mereka-mereka yang membutuhkan. Namun, Pendeta berpikir lebih, untuk turut
terlibat langsung dalam pelayanan kepada mereka yang menderita kusta.
Dijelaskannya, di dalam
Alkitab, kusta banyak disebutkan bahkan sampai 23 kali dan diyakini bahwa kusta
sebagai kutukan Tuhan, di dalam kitab perjanjian lama dan kitab perjanjian
baru. Mereka yang menderita kusta saat itu, sangat dihindari. Mereka ditinggal
sendiri di dalam kuburan dan goa. Kalau diberi makan, makanan mereka dibungkus
dan diikat dengan tali dan diberikan kepada mereka yang di goa. Kemudian,
talinya dibuang. Jadi saat itu, penderita kusta sangat dihindari, tentu karena
ditakuti penularannya. Wajar saja perlakuan itu selalu terjadi, karena saat
itu, belum ada fasilitas medis yang lengkap seperti sekarang.
Di dalam Al Kitab Matius 8 ayat 1-4, dikatakan Yesus menyembuhkan orang yang sakit kusta. Nah, ini
berarti, Tuhan mampu menyembuhkan seseorang dari sakitnya , tanpa
mendiskriminasikannya. Intinya, kita yang manusia, berlaku adil juga terhadap
sesama.
Jadi, penyakit kusta bisa
dihindari dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan, juga lebih banyak
membaca terkait kusta sendiri, termasuk tidak mendiskriminasi penderitanya,
meski tetap harus menjaga jarak agar tak terlalu erat. Selain itu, tetap
menjaga daya tahan tubuh. Hal-hal tersebut penting dilakukan, agar terhindar
dari penyakit kusta.
Lalu bagi yang sudah terkena
kusta, selain dengan perawatan medis, hendaklah sebagai umat beragama, kita
juga berdoa, agar Tuhan memberikan kesembuhan kepada si penderita.
0 komentar