Anomali Cinta
Kolaborasi Oleh : Auda Zaschkya + Muhammad Ichsan (21)
***
***
Aku mengenalnya tak sengaja. Saat itu aku berada dalam satu gerbong dengannya di kereta malam LIMEX yang membawa kami dari Stasiun Kertapati menuju Stasiun Pasar Bawah Bandar Lampung. Namanya El-Maruki. Ia duduk berhadap-hadapan denganku.
Persahabatan pun terjalin dari perkenalan itu. Kami akrab. Suatu malam menjelang ba’da Isya, ia mengunjungiku di kontrakan di wilayah Gedong Aer. Aku senang dan kami pun mulai berbagi cerita. Uki, begitu ia minta dipanggil, lalu mengkisahkan pengalaman cinta luarbiasanya padaku. Tak ditutup-tutupi, bahkan aku kira sangat lepas ia bercerita.
Ia berkisah tentang seorang gadis jelita, Ester. Katanya padaku bahwa si bidadari itu tergila-gila padanya. Bukan main pengalaman romansanya. Entah apa maksudnya menceritakan ini. Mungkin karena ia menyangka aku masih menjadi seorang yang mencintai kesendirianku ─ bersolilokui dalam hasrat cinta yang terpendam, tersumbat tak memuncrat-muncrat, gagal menebar pesona ke segala arah. Begitu anggapannya. Ah, ada-ada saja! Aku pun hanya tersenyum menanggapi ceritanya. Sekalipun begitu tak berselera mendengar tuturan dramatis ’kisah asmara bukan main’ dari mulut teman baruku ini, aku tahu kalau aku harus menjaga perasaannya. Jadi, aku pun berperan di pojok panggung sandiwara, berpura-pura antusias menyimak. Seorang Brutus yang sabar mengamati situasi, menunggu momentum bertindak.
”Wah, beruntung sekali dirimu, Ki..” cuping hidungnya mekar-mekar. Aku tahu ia tengah melambung tinggi, ”Kau dicintai seorang gadis jelita seperti Ester. Kau tengah ditumpahi anugerah dari langit. Lelaki paling beruntung yang mendapat cinta gadis kaya luar dalam.”
’Uppss… Tahan… Hahahaha….” tawanya meledak seketika. Yang mekar kini bukan hanya cuping hidungnya, tapi tiba-tiba matanya menyala-nyala dengan sinar paling liar memancar.
”Asal kau tahu saja, Tris…” ujarnya meyakinkanku, “Ester sangat tergila-gila padaku. Dia yang pertama kali mengutarakan cintanya padaku. Aku ini apalah… Hanya seorang perjaka rupawan yang ketiban rezeqi nomplok jatuh dari langit ketujuh. Aku sadar Tuhan tak pernah menyuruhku menyia-nyiakan ketampananku.”
”Hmm… Ya, kau memang tampan, teman, biarpun sedikit legam.” ujarku dalam hati. Aku pun tersenyum padanya penuh arti.
”Benarkah?!?” Aku berpura-pura takjub.
”Sungguh! Aku tak bohong padamu.” Ia menegaskan. ”Ester yang memohon-mohon padaku untuk menjadi kekasihnya.”
”Wah, wah… Luar biasa! Kalau begitu kau harus menjaganya. Jangan sampai Ester tergoda kehadiran lelaki lain.
”Tenang saja. Itu tak mungkin terjadi. Telah kuikat erat-erat hatinya padaku. Segala sesuatunya telah kurencanakan dengan baik.” Maruki, teman baruku, ini sangat percaya diri. Salut aku padanya.
”Kalau begitu …. Toss dulu, Ki …” kusodorkan telapak tanganku padanya, penuh semangat ia pun menyambut akrab.
Hening. Sejenak kami merasakan pikiran yang menelusup masuk ke dalam benak masing-masing. Ada sesuatu tersirat dari semua yang kudengar, membuatku merenungi tingkah-polah teman baruku ini. Maruki pun aku kira merasakan hal yang sama. Ia mencoba mencari-cari kebenaran faktual dari tiap kata yang telah ia ucapkan padaku. Terkadang orang baru bisa berpikir setelah terlampau banyak berbicara. Sebab, suara seringkali tak berguna bila serupa igau, tak berisi syair lagu bermakna.
Sekian menit, temanku merasakan kesadaran menggigit seperti listrik yang menyengat karena tak sengaja tersentuh. Namun, biasanya cepat dilupakan bila ada suatu rencana yang lain lagi. Dan, kata-kata terlampau mudah melayang-layang, ringan tanpa arti memenuhi udara kembali, tak mampu ditarik gravitasi pegalaman empiris dalam kenyataan sehari-hari.
”Begini saja, Tris …”ujarnya lagi. Aku mengeryitkan dahi. Alis mataku hampir bertaut kukira. Apa lagi yang ingin ia sampaikan?
”Biar nanti kau akan kukenalkan padanya. Supaya bisa melihat langsung kecantikan Ester yang berserah diri padaku.”
”Hmm, boleh … boleh … Ide cerdas itu. Sudah betul, kawan.” Aku menganguk-ngangguk, membuatnya terkesan. Ah, ilmu teater terkadang muncul tiba-tiba di saat yang tepat rupanya. Tak sia-sia. Sungguh berguna.
”Kapan itu?”
”Bagaimana kalau besok?”
”Bisa diatur, Ki … Santai..”
***
Sabtu sekitar pukul 16.15, aku baru pulang kerja. Lebih awal dari biasanya yang menjelang seruan adzan Maghrib. Baru saja hendak merebahkan diri, HP-ku berdering. Nomor Maruki tertera di layar. Segera kusambut panggilannya.
”Halo,Uki.. Apa kabarnya, nih?”
”Baik. Jadi tidak kita ke rumah Ester?”
”Wah, aku baru pulang nih, Ki …”
”Tak apa lah.. Malah bagus. Kau tak perlu ganti baju lagi, tunggu saja di kontrakan sebentar kujemput.”
”Bagaimana, yah?”
”Ayolah, jangan sia-siakan kesempatan emas bertemu pacarku yang cantik. Tunggu saja sebentar. Lima belas menit lagi aku datang.” Telepon langsung ditutupnya. Ah, ada-ada saja temanku ini. Tapi, enak juga kayaknya main ke rumah gadis cantik, bermalam minggu dengan pemandangan yang indah daripada bengong sendirian di kontrakan.
Tak lama kemudian …
”Sudah siap, kan?” serunya menyaingi raungan motor. ”Ayo, tunggu apa lagi!” Aku pun bergegas mengunci pintu kontrakanku. Berboncengan dengannya menuju rumah Ester yang ia ceritakan.
Setengah jam dalam perjalanan, seakan seharian saja rasanya. Kepercayaan diri temanku yang sudah overdosemembuatku jenuh. Ia menjadi-jadi berkisah tentang dirinya sebagai penakluk hati kaum hawa di permukaan bumi. Dengan gaya dramatisasi yang hiperbolis, ia posisikan dirinya sebagai mahluk paling bercahaya ketampanan yang memikat hati gadis jelita. Aku pun menanggapi layaknya seorang penjaga toko menghadapi pembeli pelit yang ingin barang bermutu dengan harga murah. Bagaimana pun juga lagi-lagi aku mesti menjaga perasaannya. Bualannya pun kian membengkak seperti bisul di pantat, memerah mau pecah.
***
Akhirnya kami pun tiba di sebuah kompleks perumahan Bumi Asri. Aku turun dan Maruki memarkir motornya. Pintu rumah tampak dibuka dari dalam. Begitu terkuak, muncul seorang gadis tinggi semampai, mulus putih berkilauan cahaya lampu beranda.
”Pangeran tampan turun dari langit menjemput cinta, Ester jelita pun menyambut sukacita.” Berpantun-ria sahabatku mencandainya. Si gadis mulus berdiri di ambang pintu bersemu merah.
”Wow… Ini orang apa bidadari? Makan apa dia diberi emaknya sampai luarbiasa cantik begini?” jujur saja aku seperti disihir pesona Ester. Tak berlebihan rupanya Maruki menceritakan kecantikannya.
”Apa kabar, Bang Uki?”
”Kabarnya baik, cantik. O, ya, mari kukenalkan dengan temanku.” Ester anggun mendekat. Pesonanya memikat. Aku terjerat. Hampir saja aku tak dapat menguasai diri, susah-payah lepas dari jaring-jaring pukat auranya.
“Ester Lier.” Senyumnya kembali mengembang. Ah, aku mengambang. Tak sadar aku menyambut uluran tangannya. ”Trisno, Trisno saja tak ada yang lain,” kataku setengah melongo.
Kurasakan telapak tangannya begitu halus, hangat mengalirkan gelegak rasa memanggang. Mataku tertuntun lama memandangi kulit wajahnya yang licin, hidungku mengembang kempis, mengendus-endus semerbak aroma tubuhnya. Oh, Tuhan, ini wangi betina! Feromon menghasutku. Aku pejantan sedang birahi di musim kawin. Akibatnya, telapak tangannya sengaja lama kugenggam. Imajinasiku kian liar menari-nari, sungguh tak mau diam.
”Kenalannya jangan lama-lama!” celetuk Maruki tiba-tiba, ”Nanti lengket pula tangan kalian berdua.” Ester tersipu malu. Tapi, aku jadi salah tingkah dan memalukan. Aku lemas. Darah dalam pembuluh serasa deras mengalir terbalik tak semestinya. Aku mendadak seperti mau terkulai.
”Lho, Mas Trisno… Kenapa?”
”Anu.. Tenagaku hilang mendadak. Maklum kelelahan, baru pulang kerja langsung diajak ke sini. Di dalam sudah ada air dingin? Tak ada makanan, tak masalah. Yang penting segelas air dingin dari kulkas saja dulu.”
”Hahahaha…..” meledak kembali tawa Maruki, ”Dia minta dipersilakan masuk cepat-cepat, Ter… Haus kayaknya.”
Aku merasa sangat malu dengan tingkahku barusan. Lagi-lagi sembari memekarkan kelopak bunga kecantikannya melalui senyum manis, Ester elegan mempersilakan kami masuk.
***
”Mari diminum es sirupnya,” candaku lagi tanpa malu-malu, bertingkah layaknya tuan rumah. Ester tertawa lepas. Manis sekali, aduhai. Barisan gigi serinya yang putih terbingkai bibir tipis, alami kemerahan, ranum minta dilumat-lumat. Memaksa caudate nucleus di sudut-sudut gelap otakku, mengundang dopamin menyalakan hasrat, beramah-tamah mengajakku tanpa sungkan menabrak resiko moral. Ah, di musim kawin, kumandang tawa betina di masa subur terdengar empuk. Aku tahu sebundel proposal birahi berisi cinta yang kemistri tengah ia sodorkan. Agaknya sebuah pertimbangan nilai sedang digoyahkan seringai yang merdu, digoda oleh deklarasi yang binal. Jangan salahkan jika nanti basic instinct ternyata lebih berkuasa daripada akal.
”Iya, Bang Uki, ayo dong diminum sirupnya. Jangan dianggurin, Bang.” lembut dan agak kemanja-manjaan Ester mempersilakan juga pada temanku.
”Iya, mubazir, Ki…” tambahku pula sembari mataku asyik menelusuri mulus leher jenjang Ester.
”Santai..” sahut Maruki pendek mengambil minumannya.
Di ruang tamu kami santai mengobrol. Ester luwes meladeni. Merasa segar mendengar suaranya yang renyah dan akibat kesejukan sirup manis buatannya, aku begitu lancar berkicau. Aku murai batu yang baru belajar berkicau, maka kicauanku sengaja dilantunkan semerdu mungkin. Tak mengherankan, bukan? Di hadapanku telah ada gadis jelita wangi, ah, ia sungguh stimulus kaya nutrisi bagi benakku, mengarang-ngarang topik cerita, berganti-ganti tanpa jeda. Aku pandai bicara jadinya.
Tetapi ….
Di tengah keceriaan saling berbagi cerita, aku melihat keanehan terjadi pada sahabatku. Maruki mendadak berubah pendiam. Kalau pun menanggapi obrolan, ia hanya sekedarnya saja. Hemat sekali ia mengeluarkan kata. Dingin dan hambar. Wajahnya suram. Sangat kontras dengan air mukanya pada awal kedatangan tadi.
”Uki … Ester…., kenapa orang mesti membuktikan cinta tulusnya dengan pemberian hadiah?” tanyaku memancing, mencairkan suasana.
”Bang Uki jawab, dong …”
”Ah, pertanyaan tak bermutu dan dungu!” ketus sahabatku berkata. Heran. Apa yang ada di dalam benaknya? Apa yang sebenarnya berkecamuk dalam dirinya?
”Oh, begitu rupanya,” sahutku pendek, ”Kalau kamu, Ter..”
Ester diam sejenak. Pandangannya tajam ke arah Maruki. Kehalusan perasaan wanitanya menuntun ia untuk bertanya.
”Bang Uki, kenapa?”
”Ah, aku cuma kurang sreg saja dengan pertanyaan begitu, Ter … Banyak hal lain yang bisa dibahas, kan?”
Suasana berubah tak nyaman. Aku merasa ada ’sesuatu’ yang membuat sahabatku ini jadi aneh mendadak. Sejenak aku terpaku. Akhirnya, merasa tak enak hati, aku melirik arloji di pergelangan tangan. Sudah hampir pukul 10 malam. Kupikir sudah saatnya untuk mengakhiri percakapan.
”Sudah malam, nih .. ”
”Memang kalau sudah malam kenapa, Bang?” mata Ester sendu menatap padaku.
”Ya, kami mohon diri dulu lah, Ter …”
”Aihhh …, kok buru-buru, sih?”
”Lain kali kami main-main lagi ke sini.” Aku melirik ke sahabatku.
”Janji, ya? Bang Uki sama Bang Trisno mau datang lagi …”
”Iya, tenang saja, Ter …” sahut Maruki cepat, ”Malam ini kami pamit dulu.”
”Sampaikan salam ke papa dan mamamu, ya?”
”Iya, Bang Tris, pasti Ester sampaikan salamnya.”
Aku beranjak keluar yang diikuti Maruki dengan kaku. Ia menuju ke motornya dan menyuruhku segera naik. Sesaat Ester memandangiku dengan tatapan sayu, lalu beralih ke sahabatku. Kami pun pamit pulang dengan membawa serta kesan tersendiri. Jemari lentik angin berhenti memainkan musik malam, harpa pada tiap pelepah di pepohonan palem putri telah bungkam di sepanjang kiri-kanan jalan keluar komplek.
Di perjalanan pulang, dingin dan senyap menyergap. Hawa lembab musim hujan menggigit kulit tubuh. Kami melaju, menembus pekat malam, melewati jalan menurun dan menanjak.Tak ada obrolan pengisi waktu. Sepertinya kata-kata lebih mahal daripada emas segenggam. Malam pun semakin kental saja menyimpan misterinya. Meruapkan bulu tengkuk. Ah, sesuatu sedang bersembunyi nun jauh di kedalaman. Mengintai dalam kelam kian menghitam, kebekuan pun kian terasa.
***
Di kontrakan pikiranku melayang-layang, berputar-putar di sekitar cahaya lampu kamar. Kelap-kelip serupa kunang-kunang: aku terkenang-kenang pertemuan pertamaku dengan seorang ’Ester Lier’, betina di masa subur itu sungguh penuh daya tarik. Mulus jenjang lehernya hingga ke bawah mengandung mistik; aku terusik. Seketika aku melihat bukti nyata pernyataan filosofis tentang diri: aku adalah tubuh. Tawa lepasnya yang renyah adalah katarsis, menggodaku memulai petualangan dorongan kimiawi dari dalam diri sendiri: cenderung menyukai. Salahkah jika nanti aku jadi lebih berani? Lebih gesit menerobos bak buldozer biar pun yang kuterjang nanti temanku sendiri.
Ia begitu inspiratif bagiku, pelan tapi pasti masuk ke relung hati menawarkan sebentuk bangunan cinta segitiga anomali. Dengan atau tanpa kesadaran sama sekali, ini telah menyeretku masuk lesap ke dalam kembara bersudut-sudut yang mengandung keganjilan, berisi berbagai kemungkinan tak terduga. Siapkah aku dengan resiko ini? Lihat saja nanti. Tentu aku tak bisa melawan perkembangan situasi. Baik berawal dari gerak di dalam, mau pun dimulai dari gerak di luar ─ hukum perubahan bersimaharaja, berlaku untuk semua hal seiring waktu.
Dengan membawa segenap rekaman pengalaman indah terbaru, aku jatuh tertidur. Rubuh terlelap, didekap ruh cantik dugaan bersayap-sayap.
***
Aku bangun pagi sekali saat adzan shubuh berkumandang dari sebuah musholla tak jauh dari kontrakan. Tak biasanya aku begini apalagi di hari Minggu. Setelah mandi, kunyalakan TV, sembari menyeruput kopi pagi. Acara yang lihat tak dapat kunikmati. Pikiranku masih terkenang dengan Ester.
”Ester, cantik dan supelnya dirimu. Ah, kau penuh harapan dan cinta yang menggodaku.” Tak sadar aku senyum-senyum sendiri. “Tapi kau kekasih sahabatku. Maruki yang begitu memujamu.” Selintas bayang temanku mampir ke dalam benak, menyelinap masuk terus ke hatiku, membuatku bimbang. Namun, pesona si cantik mulus itu terlalu memukau jiwaku. Ini memaksaku mengambil sebuah keputusan bertindak, mengambil resiko dan menguji keberanianku. Tidakkah dalam hidup kita harus berani mengambil resiko di antara pilihan-pilihan yang ada?
“Selagi belum ada janji setia di depan penghulu, hmm, apa salahnya hatimu kuarahkan ke jalan yang benar. Tepat lurus ke arahku. Ah, Ester, aku tak bisa membohongi hati kecilku. Aku jatuh cinta padamu, gumam batinku resah. “Tapi bagaimana caranya? Hmm, baiklah, segala cara akan kucoba. Daripada aku mati penasaran.”
Jam dinding di kamar menunjukkan lima belas menit kurang dari pukul tujuh. Biasanya hari Minggu adalah waktuku melepas segala kepenatan akibat kerja enam hari jadi mesin berdaging. Adatku di waktu libur adalah tidur. Namun, ini hari Minggu yang tak biasa akibat pertemuanku semalam. Aku berencana mau menyambangi rumah Ester lagi tanpa sepengetahuan Maruki.
Sementara itu di kediamannya Maruki kusut sendiri.
”Monyet… Dasar monyet norak tak bisa lihat jidat licin!” gerutunya. Ia sangat dongkol mengenang peristiwa semalam.
Ia berprasangka aku, sahabatnya mulai berusaha merebut Ester darinya. Tapi, mengapa pula ia marah-marah jika si gadis sendiri pun kemungkinan besar belum menjadi kekasihnya?
”Tidak! Aku harus mendapatkan Ester bagaimana pun caranya. Trisno tak boleh merebutnya dariku. Enak saja!”, gerutunya lagi.
***
Sekitar pukul 1 siang seorang lelaki tampak sedang mengguntingi tanaman asoka border taman rumahnya. Aku tahu ia pasti papanya Ester. Tak apalah memulai keramahan dengan calon mertua.
”Siang, Om… ” sapaku ramah.
”Siang. Cari siapa, ya?”
”Saya Trisno, Om… Temannya Ester.”
”O, silakan masuk, Nak… ”
”Ester ada di rumah, Om?”
”Dia tadi pergi sama mamanya. Paling sebentar lagi juga pulang. Masuk dulu.”
”Baiklah, Om, ” sahutku cepat sembari berjalan di belakangnya menuju pintu. Di siang hari yang panas berada di rumah yang nyaman tentu saja nikmat. Sebuah solusi cerdas!
Baru saja mau melangkah masuk ke dalam, suara deru dua sepeda motor datang mendekat dan berhenti di luar pagar rumah. Kami berpaling.
”Nah, itu mereka pulang, ”tunjuk papa Ester.
Ester dan mamanya memasuki pekarangan, menuju ke arah kami setelah membayar ongkos ojeknya.
”Wah, borong, ya?” gurauku mencoba bersikap ramah.
”Eh, ada Bang Trisno. Sudah lama, bang?”
”Belum lama. Paling juga baru sepuluh menit, Ter.. Habis dari borong, ya, di pasar?”
“Ah, tidak, bang. Ini hanya beli kebutuhan sehari-hari untuk stock bulanan di rumah.” Mama Ester tersenyum dan melihat ke arahku.
”Mama, ini Bang Trisno.”
”Siang, Tante.. ”
”Siang, silakan masuk, Nak…” sambil mengambil barang belanjaan di tangan anaknya, ”Ester, panggil Bi Imah.. Tolong bawa masuk belanjaan ke dapur.”
”Biar saya bawa ke dalam, Tante..” tawarku cepat mengambil belanjaan.
”Ya, sudah, Ma, mumpung ada bantuan gratis. Biar Ester sama Bang Tris yang bawa belanjaannya ke dalam. Lagian mungkin Bi Imah sedang tidur jam-jam segini.”
Aku bergegas mengambil dua plastik besar belanjaan dari tangan mamanya, dan mengikuti Ester ke dapur.
”Taruh dimana, nih?”
”Letakkan di sana saja, bang,” tunjuknya ke pojok samping kanan kulkas ketika kami berada di dapur. ”Biar nanti Bi Imah yang membereskan. Terima kasih, ya, bang.” Aku mengangguk dan langsung ke ruang tamu. Kulihat Ester masuk salah satu kamar.
Sepuluh menit menunggu, ia kembali menemuiku. Rupanya Ester sempat merapikan penampilannya di dalam.
”Datang ke sini sendirian, ya, bang?”
“Iya, abang sengaja datang sendiri,” jawabku dengan sembari melirik ke arah penampilannya. Mataku tertuju ke bibirnya yang terpoles tipis oleh ulasan lipstik natural yang basah. Ia tahu kuperhatikan. Ia menyembunyikan wajahnya.
“O, ya, abang mau minum apa? Mau dibuatkan es sirup lagi?”
“Tak usah, Ter.. Abang cuma sebentar. Rencananya mau mengajakmu makan di luar. Ester mau, kan?”
“Wah, boleh juga tuh.. Sudah lama Ester tak makan siang di luar,” aku senang ia menanggapi ajakanku, “Makan siangnya dimana, bang?”
“Kita ke Diggers saja, ya? Kudengar kafe itu suasananya romantis,” aku mengerling nakal padanya.
Tak kuduga ia mencubit manja lenganku,”Atur saja, bang,” ujarnya lagi mengangguk setuju.
Kami pun berpamitan dengan mama dan papanya. Berkencan pertama kali tanpa sepengetahuan Maruki. Tapi apa hubungannya dengan dia? Toh, yang namanya telah tertembus lembing cinta terkadang mesti berani melakukan improvisasi keadaan, bukan? Lagi pula siapa yang mau jadi penasaran atau menyia-nyiakan yang peluang bagus?
***
Di kafe Diggers, kami duduk di pojok luar. Pertimbanganku pemandangan kota di bawah sana tampak lebih menawan, semilir angin terasa sejuk di kafe gaul bukit ini dan lagi tentunya sedikit privacy bisa kami rasakan.
Obrolan demi obrolan mengalir lancar. Hingga tiba pada arah pembicaraan yang bersifat agak lebih pribadi.
“Boleh kutanya hal yang agak pribadi, Ter?” tanyaku memancingnya, “Tapi kalau kurang berkenan, Ester abaikan saja.”
Mimik wajahnya berubah serius, “Memangnya apa yang mau abang tanyakan?”
“Apa hubunganmu dengan Maruki? Ester berpacaran, ya, sama dia?”
”Siapa bilang?” ia malah balik menanyaiku.
”Cuma ingin tahu saja, kok,” elakku kemudian.
”Tidak. Ester tak mempunyai hubungan asmara dengan bang Maruki.”
”Oh, begitu…, lha, terus..” aku jadi penasaran.
”Begini ceritanya, bang… Aduh bagaimana, ya? Ester tak enak hati membukanya, bang..” kata-katanya tersendat. Ia diam. Kubiarkan ia bertimbang-pandang barang sejenak. Ia minum orange juice dingin di atas meja.
”Dulu bang Maruki pernah mengungkapkan perasaan sukanya padaku,” lanjutnya kemudian, ”Dia meminta Ester jadi kekasihnya, tapi kutolak.”
”Bisa dijelaskan lebih banyak lagi, Ter? Kenapa Ester menolaknya?” anjurku ingin tahu lebih banyak lagi.
”Bang Maruki orangnya tak romantis dan urakan. Awal Ester kenal dengan dia pun sebenarnya tak sengaja. Dia kenal Ester melalui Mas Pur, sepupu Ester yang menjadi seniornya sewaktu sama-sama kuliah di Jogja. Karena tak punya pacar untuk menghadiri pesta ulang tahun temannya, Ester dimintai tolong sama bang Maruki. Menemaninya saat menghadiri acara itu. Mas Pur juga memohon-mohon pada Ester supaya mau membantunya. Ester kasihan pada bang Maruki, akhirnya ya, Ester temani dia dan berpura-pura jadi pacarnya.”
Terus terang aku jadi terperangah mendengar pengakuan Ester ini. Kini baru kutahu duduk persoalan sebenarnya. Maruki rupanya memendam hasrat besar, rasa suka yang menggunung pada Ester. Namun, merasa tak ditanggapi, ia menghibur diri dengan fantasi yang bertolak-belakang dengan fakta sesungguhnya. Tahu hal ini, aku merasa mendapat peluang agar dapat menjalin hubungan asmara dengannya.
”Hmm, begitu ceritanya…” tanggapku pendek.
”Ya, itulah fakta sebenarnya, bang Tris..” tegasnya pula, ”Boleh tahu kenapa abang tanyakan ini padaku?”
”Sudah abang bilang tadi… Abang cuma ingin tahu saja.” Lagi-lagi aku menghindar. Aku tak mau membuka aib temanku. Selain tak layak juga kurang penting. Sebab, yang lebih penting lagi bagaimana caranya agar aku bisa diterima menjadi kekasihnya.
”Ini seandainya, ya… Misal ada seorang lelaki lainnya lagi, datang mengungkapkan perasaan suka padamu.. Ingin mendekatimu.. Apa Ester mau menanggapinya?” tanyaku dengan gaya diplomatis dan retoris.
”Yaa.. Lihat dulu siapa lelakinya, kan?”
”Kalau lelaki itu abang sendiri bagaimana?”
”O, abang ngajak Ester makan di kafe siang ini… Rupanya mau ’nembak’ Ester, ya?” suaranya sengaja dikeras-keraskan. Sepasang muda-mudi yang juga tampaknya sedang berkencan di depan melihat ke arah kami dan cekikikan. Ah, malunya aku. Ester, Ester….
Benar kiranya orang bijak bilang. Persoalan tentang wanita adalah dalam. Bahkan tak berdasar. Kadangkala arah tindakannya sulit terduga sama sekali. Tiba-tiba ia maju ke arahku. Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi kananku. Aku merasakan ada bekas bibir tipisnya melekat di kulit pipiku.
”Ester juga suka sama abang dari pertama bertemu semalam,” akunya tanpa malu-malu. Mendapat cintaku tak bertepuk sebelah tangan, aku kira sekarang diriku sedang tersangkut di lengkung awan. Rencanaku berjalan mulus. Kami mengalami fase ’turning a friend into a lover’. Aduhai buai rasanya tak kepalang indah. Hingga aku lupa bahwa uang untuk kencan pertama ini adalah anggaran untuk bayar kontrakan tahunanku.
Ah, cinta bercandu kelat menempel, mengatup erat mataku melihat. Aku tak bisa bijak mengatur pengeluaran padahal aku tahu gajian masih separuh jalan. Mataku lamur melihat Maruki yang tergila-gila pada Ester karena yang terasa hanya perasaan cintaku yang meluap-luap pada si cantik mulus tepat di depanku kini.
***
Menjelang sore akhirnya kami pulang. Setelah mengantar ester kembali, aku langsung ke kontrakanku dengan taksi yang kutumpangi.
Di kontrakan aku senyum-senyum sendiri. Ingatan betapa lembut kecupan Ester di pipiku, tak sadar telah membuatku meraba-raba, memastikan apa masih ada sisa bibir tipisnya melekat.
Tiba-tiba terdengar raungan motor di luar. Entah kenapa dadaku berdegup kencang. Aku sangat mengenali suara motor itu. Jelas itu milik Maruki.
Kubuka pintu, dan ingin melangkah ke luar. Namun mendadak sosok lelaki legam telah menghadangku.
”Dasar bangsat, kau, Tris!” hardiknya seketika melihatku di ambang pintu, ”Aku tadi menguntitmu pergi bersama Ester.”
”Tenang dulu, Ki.. Ini bisa kujelaskan padamu.. Masuk dulu, kawan..”
”Jangan berlagak baik, kau anjing! Kau telah menikamku dari belakang!” Ia sangat emosi. Matanya merah menyala-nyala.
”Dengarkan dulu penjelasanku…” belum sempat kuselesaikan kalimatku, mendadak ia menerajangku hingga aku terjerembab di sudut kamar. Diangkatnya TV inch di atas mejaku. Ia lemparkan ke arahku. Namun, aku mengelak dan luput dari lemparannya.
Melihat ini, ia merangsek masuk ke dalam kamar. Bertubi-tubi tinjunya dilayangkan ke wajahku. Aku tak bisa melawan karena terpojok. Ketika sebuah tendangan kerasnya mendarat di dadaku, aku terkulai dan merasa sesak. Pandanganku gelap.
***
Saat siuman yang kulihat hanya warna putih. Aku menoleh ke samping kanan. Aduh! Sakit sekali rasanya. Dadaku terasa perih. Namun, ada rasa dingin dan sejuk di dahiku. Rupanya Ester sedang mengompres kepalaku dengan handuk basah. Matanya sembab. Ia seperti habis menangis hebat.
”Kenapa abang ada di sini?” kataku dengan suara lemah.
”Sudah, bang, jangan bicara dulu.”
”Siapa yang bawa abang ke sini, Ter?”
Aku melihat Ester menitikkan air mata. Dengan menahan tangisnya, ia berkata, ”Bang Maruki yang bawa abang ke sini.”
Aku terhenyak. Apa lagi yang mau dilakukannya padaku? Mengapa ia yang telah memukuliku sampai pingsan, tapi sempat pula membawaku ke rumah sakit?
”Ester tahu darimana?”
”Tahu dari dia juga, bang..” ujarnya sambil dua jari tangan kiri menyapu bulir air matanya.
Tiba-tiba Maruki menghampiriku. Rupanya ia telah ada di sini sejak tadi.
”Maafkan aku, Tris. Aku khilaf dan emosi.”
Ester mengenggam tanganku. Ia lalu berpindah ke pinggir kanan ranjang, memberi Maruki ruang untuk duduk. Temanku itu pun langsung memelukku dan sesunggukkan. Air matanya berurai, membasahiku. Aku tak bisa menahan haru. Aku pun larut menangis bersamanya.
Beberapa saat setelah itu, hanya hening membungkus suasana. Maruki melepaskan pelukannya. Ia kemudian melirik ke arah Ester. Lalu, ia bimbing agar lebih mendekat ke diriku.
”Aku telah salah pada kalian berdua. Sekarang aku sadar… Kalian takkan bisa terpisahkan lagi. Kalian bisa menjadi kekasih yang saling mencintai sepenuh hati.” Maruki menyatukan tanganku dan tangan Ester.
Selanjutnya, Ester mendekapku dengan tangis yang tertumpah di dadaku.
”Sayangku, abang sungguh telah jatuh cinta padamu. Resiko apapun berani abang tempuh demi bersamamu”, ucapku.
Itu pula terakhir kalinya aku melihat sahabatku, Maruki. Ia kemudian menghilang sampai hari ini tak ketahuan dimana gerangan keberadaannya. Hubunganku dan Ester akhirnya mencapai jenjang pernikahan. Kami pun berbahagia, berbagi suka dan duka dengan landasan cinta yang kuat.
=TAMAT=
0 komentar