Kau Tahu, Janin Ini Darah Dagingmu !

What the hell’s going? How does it comes?”
Terdiamku di atas ranjang “kita” setelah menatap dua garis merah pada sebuahtestpack biru yang kubeli di apotik beberapa menit yang lalu, setelah beberapa hari ini morning sickness menyebabkan asupan sarapan tak mampu kutelan.
***
Fani namaku, seorang gadis yang matrealistic. Benarkah aku matre? Ah,, itu kata teman dan beberapa lelaki yang pernah dekat denganku. Menamatkan kuliah di Perguruan Tinggi jurusan Sastra Inggris adalah sebuah keharusan yang entah sadar atau tidaknya menuntutku untuk bekerja di salah satu Hotel di kota ini,  dan berpisah jauh dari keluargaku yang tinggal di kota kecil di ujung timur Pulau Borneo.
Awalnya, aku memang hanya menjadi Tourist Guide yang bertugas melayani tamu, dimana aku dituntut untuk mengenal pariwisata di kota ini. Tamu-tamu amat ramah, bahkan teramat ramah. Sangking ramahnya ada sebuah keluarga yang telah menganggapku sebagai anak mereka. Selain sering datang ke Indonesia, suami istri yang tak memiliki anak ini pun membuka usaha souvenir yang dipercayakan kepadaku untuk mengelolanya.
Mengapa mereka percaya padaku? sebab kecakapan dan keramahanku pada mereka. Ditambah dengan kemolekkan tubuh serta ayunya parasku menjadi komoditas utamaku selama ini dalam menggaet kaum ada, termasuk kamu.
***
Mengenalmu sungguh bukan suatu kesengajaan. Kau adalah pejantan tertampan yang hadir di pesta pernikahan rekan bisnis pimpinanku. Sedangkan aku menjadi wedding singeryang memukaumu, entah karena suaraku yang memang bagus atau karena gaun V-neckyang sedikit terbuka membuatmu terus menatap dan mengajakku berkenalan.
“Ah… laki-laki!” batinku cuek menyadari kedatanganmu. Namun, keramahanmu mampu buatku melemah. Sejujurnya, aku juga ingin mengenal sosok kekarmu yang tadinya kukira seorang atlit. Ternyata kau pemilik perusahaan yang sering memakai ballroom hotel ini untuk berbagai kegiatan.
“Selamat malam mbak Fani. Perkenalkan, nama saya Putra. Sejak awal Anda menyanyi, saya terus memperhatikan Anda dan saya menyukainya.” Ramahnya.
“Hallo, Malam. Terima kasih telah menyukai performance saya,Pak Putra.” Balasku.
“Jangan panggil pak, panggil nama saja. Saya kira rentang usia kita tak jauh berbeda.” Deretan gigi putihnya tersenyum padaku.
“Ah, lagi-lagi senyum. Senyum ini yang selalu membuatku luluh, ditambah pancaran dari matanya. Luluhku semakin menjadi-jadi, padahal sesaat yang lalu, aku amat cuek padanya.” Batinku.
***
Setelah malam itu, hubungan kami semakin dekat. Dia sering mengantar jemputku bekerja. Aku juga sering mengujungi ke kantornya sekedar untuk mengajaknya makan siang. Berbulan-bulan hubungan ini hanya dibatasi oleh status teman. Namun keseharian dan kedekatan ini tak pelak membuatku lambat laun mulai mencintainya. Cinta kali ini bukan cinta maya seperti yang dulu dirasakan Ari padaku beberapa tahun lalu.
Mungkin ungkapan witing tresno jalaran soko kulino telah menohokku, menyadarkanku akan rasa itu. Rasa yang dimiliki Ari namun kusia-siakan, padahal Ari sangat baik saat itu, ia selalu mau menyisihkan waktunya untuk selalu kerepotan dalam mengerjai tugas-tugas kuliahku, ia juga selalu mampu kumanfaatkan dalam hal finansial. That’s why my friends called me a matrealistic girl.
Intensitas pertemuan itu seakan tak memberi jarak lagi pada kami. Tak sekedar makan, nonton, atau  clubbing bersama, namun hal jauh pun tak luput dari kami. Ia sering menginap di apartementku, berhari-hari tak pulang ke rumahnya. Namun bila sedang ingin mencari suasana baru, aku pun sering bermalam di rumahnya, di salah satu perumahan elite selatan Jakarta.
***
Benar, hubungan ini memang sudah terlalu jauh. Tak pelak, hubungan terlarang itu pun terjadi di dalam status teman yang sedang kami jalani. Bagi adat ketimuranku, dia milikku sebab kami telah melakukan kesalahan bersama. Dia milikku, sebab ia yang merenggut keperawananku.
Seks telah menjadi makanan keseharian kami jika tak sedang sibuk dengan rutinitas kerja atau hangout dengan teman-teman. Tak terbesit sekalipun dalam pikirku tentang kehamilan. Mengapa? sebab selama melakukan itu, ia selalu menggunakan pengaman.
Berbulan-bulan dia partnerku hingga di awal 2013, menstruasi tak kunjung mendatangiku. Saat itu lah aku mulai uring-uringan. Tubuhku seakan lemah. Aku ketakutan. Bagaimana kalau aku hamil? Pikiran itu terus menghantuiku hingga ajakannya malam itu pun dengan mudah kutolak dengan alasan tak enak badan. Tak enak badan? Masa bisa berhari-hari?
***
Sang surya pun menyambut datangnya pagi. Setelah bersiap-siap dan sarapan, ia berangkat ke kantornya. Pagi ini kesehatanku belum pulih sehingga aku pun tak ke kantor. Seusai mandi, aku pergi ke mini market di depan apartementku guna membeli minyak angin dan beberapa cemilan. Tak lupa aku pun membeli alat itu, alat penentu itu. setelah membayar, aku pun kembali ke kamar apartement. Barang yang pertama kurogoh dari dalam kantung belanjaan adalah testpack itu.
“What the hell’s going? How does it comes?”
Terdiamku di atas ranjang setelah menatap dua garis merah pada sebuah testpack biruyang kubeli di apotik beberapa menit yang lalu, setelah beberapa hari ini morning sicknessmenyebabkan asupan sarapan tak mampu kutelan.
Saat itu pula, aku menghubungi ponselmu dan memintamu ke apartementku. Setelah kita bertemu, kujelaskan bahwa apa yang telah kita lakukan membuahkan hasil.
“Aku mengandung anakmu.” Lirihku. Namun dengan mudahnya kau tertawa sembari mengatakan, “gugurkan saja, habis perkara, bukan?”.  Kau pun menawarkan sejumlah uang untuk biaya aborsi itu.
”Kamu butuh uang berapa untuk mengugurkan anak itu? bilang aja, segera aku transfer.”
Tak kuat kutahan tangisku, mengiba agar kau menikahiku. “Aku tak butuh uangmu. Tolong, nikahi aku. Anak ini tak pantas dilenyapkan atas kesalahan yang telah kita lakukan.”
Namun tangisku tak kau gubris. Kau malah semakin menghancurkan hati dan harapanku saat kau katakan, “aku hanya ingin senang-senang sebelum aku menikahi calon istriku”.
Ingin rasanya kuhujamkan pisau pemotong buah yang ada di meja makan apartementku tepat di jantungmu.
***
Sejak saat itu, aku terus memohon padamu untuk menikahiku, namun bukan tanggapan baik yang kuterima, malah makian hingga tamparan cukup kudiamkan saja demi status nikah yang kuinginkan. Seringnya aku memohon padamu ternyata cukup buatmu besar kepala. Kau tak menganggap aku bahkan mengatakan bahwa janin ini bukan darah dagingmu.
Sesungguhnya aku marah dan tak terima hingga aku nekad mendatangi kantormu yang sedang mengadakan launching produk baru. Harapku, biar semua orang tahu bagaimana tindak tandukmu diluar kantor dan media.
“Kini aku tak berharap dinikahi olehmu. Aku hanya butuh pengakuanmu atas janin ini. Di hadapan rekan media ini, kukatakan bahwa kau telah menghamiliku, dan jika sekarang kau tetap tak mau mengakui anak ini sebagai anakmu, kita lihat saja setelah anak ini lahir, bersiaplah kau harus melakukan tes DNA.” Sengitku. Dan kau hanya terdiam, seketika pergi dengan tetap dikejar oleh kuli tinta yang haus akan informasi.
Puaskah aku? Kurasa Iya.
Caraku mempermalukanmu memang tak baik, namun apa yang bisa kulakukan lagi? Kau tak mau mengakui anak ini dan menyuruhku untuk menggugurkannya. Dosaku sejak mengenalmu telah cukup banyak, aku tak mau menambah dosa dengan menghilangkan nyawa bayi ini.
***
3 bulan setelah kejadian itu dan tak lagi bekerja di hotel, aku mengurus usaha souvenir ini. Entah mengapa bayanganmu terus menghantui hari-hariku. Hm… mungkin karena janin yang tak kau akui ini, ya?
Terhitung sejak aku menceritakan tentang kita di hadapan media, masyarakat telah memvonis bahwa aku yang bersalah. Benarkah? Ah.. kukira ini bukan pertanyaan yang harus dijawab semua orang. Setiap orang boleh mencibirku, mengatakanku pelacur atau apapun. Mungkin mereka jijik terhadapku sebab kehamilanku yang kubuka di media. Atau mereka iri melihatku mampu menggaet konglomerat itu. Terserah mereka.
Ketika pikiranku kalut aku menuliskan surat yang kusampaikan juga pada media yang berisikan :
“Hai kau ayah biologis dari janinku, kau tahu alasanku membuka aib kita di media, bukan? Tadinya memang aku berharap dinikahi olehmu, namun setelah melihat perangaimu, itu urung kuminta lagi. Kau tak usah menikahiku, nikahi saja calon isterimu, biar anak ini kubesarkan sendiri. Aku tak memerlukanmu wahai lelaki tak bertanggung jawab. Aku hanya ingin namamu dipakai di akte kelahiran anak kita. Ups.. bukan. ini anakku sebab tak kau akui. Satu yang pasti, ini anakmu dan tak akan pernah kugugurkan. Tunggulah tuntutanku padamu tentang tes DNA setelah anak ini lahir.”
***
Hari-hariku hanya menunggu kelahiran anak ini dan membuktikan pada semua orang bahwa aku tak pernah berkata bohong tentang asal usul anak ini. Anak ini darah dagingmu. Dan jika masih ada yang tak percaya, bukti kondom bekas dan celana dalammu masih kusimpan di apartementku.

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate