Berkaca dari Kasus Sampang, Masihkah Ada Toleransi di Negeri Ini?
Tak
terasa, hampir 9 tahun saya berada di kota ini setelah musibah yang saya alami
di kota kelahiran saya, akhir tahun 2004 silam. Tak kenal, maka tak sayang.
Ya... ini adalah peribahasa yang selalu saya ingat ketika mama menyuruh saya
untuk melanjutkan pendidikan di kota ini dan tinggal bersama abang saya yang
telah bekerja dan berkeluarga, sementara mama tinggal bersama kakak
perempuannya di sana.
Awal
2005, saya memasuki sekolah baru. Di sekolah ini saya menemukan banyak
perbedaan, salah satunya perbedaan keyakinan. Saat itu saya berpikir, bagaimana
murid menjalani ibadah dan pelajaran agamanya? Ternyata setiap jam pelajaran
agama, kami dipisah. Selanjutnya, ada juga kegiatan agama masing-masing. Lalu,
apakah kami mencampur adukkan ajaran agama kami? Tidak! Apakah kami bertoleransi? Iya! Karena kami saling menghormati
dan menghargai perbedaan diantara kami.
Ini
membuktikan, kami yang muda saja sudah mengerti arti toleransi sebagaimana yang
tertuang pada pasal 29 UUD 1945. Lalu bagaimana dengan diri Anda para tetua
yang terhormat? Masih meributkan hal-hal berbau agama? Dan yang mirisnya,
sesama muslim saja masih ribut dan seolah-olah menghalalkan darah orang lain
yang berbeda madzab.
Sangatlah
mudah untuk menjalani hari di atas perbedaan keyakinan itu bila Anda mau
membuka pikiran Anda dan tak seperti katak di bawah tempurung. Caranya
bagaimana?
1. Saling
menghormati antara sesama manusia baik yang berbeda keyakinan/tidak
2. Membuang
jauh-jauh pikiran negatif terhadap pribadi penganut agama lain
3. Jangan
ikut campur yang berkaitan dengan agama mereka
4. Jalani
saja keyakinan Anda sesuai fitrah Anda sedari kecil
5. Tak
usah saling mencela/menghina agama lain, apalagi mencelakakan pemeluk agama
lain
*
Saya
paling benci yang namanya ribut-ribut, apalagi mencampur adukkan agama di
negara ini. Mungkin Anda lupa bahwa negara ini adalah negara plural yang
berdasarkan hukum dimana ada 6 agama yang diakui dan bukan negara agama. Saya
rasa, pasal 29 UUD 1945 sudah cukup untuk membentengi diri Anda dalam berbuat
yang tidak baik atas nama agama. Berpikirlah yang ringan-ringan saja, bila
memang mereka bersalah, hukum mereka dengan payung hukum negara, bukan payung
hukum agama.
Tak
usah mencela, menghujat apalagi mencelakakan mereka. Ingat bung! Kita ini
adalah manusia biasa yang tak pernah luput dari kesalahan. Agama yang Anda anut
itu, alangkah baiknya Anda jadikan cermin bagi diri Anda sendiri.
Pertanyakan kepada diri Anda, sudah cukup baikkah saya
menjalani agama saya? Bila ada orang awam menyebut Anda ustad/pastor/pendeta,
silahkan bercermin, sudahkah pantas Anda disebut seorang pemuka agama bila Anda
sendiri masih berlaku tak baik kepada penganut agama lain? Silahkan Anda renungkan!
Sebenarnya
tips di atas adalah tips sederhana yang sudah sejak lama Anda ketahui, namun
bagi Anda yang merasa paling benar, mungkin tips ini tak menjamin kehidupan
Anda akan lebih baik. Namun bagi saya pribadi, ini adalah tips yang saya jalani
dan mampu bertahan di kota ini. Kota yang hari ini merayakan Ulang Tahunnya
yang ke 423. Walaupun bukan tempat kelahiran saya, namun kota ini telah
berhasil menempa dan mengajari saya untuk menghargai agama/keyakinan orang
lain.
Sejatinya,
agama yang Anda anut adalah pagar bagi diri Anda masing-masing untuk menjaga
perbuatan Anda masing-masing, bukan digunakan sebagai pembenaran untuk
mencelakakan orang lain. Saya yakin, Agama mana pun tak menyukai jika ada
pemeluknya yang saling baku hantam, bukan? Selamat merenung ! [Auda]
0 komentar