Konstruksi Sosial dan Media Massa, Legalkan Patriarki?
https://neverokayproject.org/pusat-data/pengetahuan/patriarki/ |
Perempuan, laiknya para laki-laki, sebaiknya mendapat porsi yang sama, dalam pemberitaan. Kalau identitas si laki-laki, ditutupi, seharusnya, si perempuan juga. Supaya kita semua merasa keadilan itu merata. Sayangnya di negeri ini, pemberitaan mengenai perempuan, diumbar secara terang-terangan. Masih ingat, kasus artis VA?
Tak hanya sekali, media terus mengeksposnya berhari-hari,
dengan terus menyebut kalau dia adalah bagian dari prostitusi artis, dengan
bayaran Rp 80 juta. Nah, oleh karena di media terus-terusan disebutkan, di
media sosial, orang-orang, kebanyakan laki-laki, menjadikan nominal Rp 80 juta
itu, sebagai candaan yang dianggap biasa. Menurut saya, ini sungguh sebuah
hinaan. Sementara si laki-laki yang dikatakan sebagai teman kencan VA, yang
mana orangnya saja, tak tampak di layar kaca. Yang ada, hanya inisial dan
pekerjaannya. Kemudia, VA dipenjara.
Belum lagi, pemberitaan juga ramai ketika mendapatkan NN,
yang disebutkan sebagai salah seorang PSK di Kota Padang. Malah menurut berita
yang saya baca, NN sengaja dijebak. Belum lagi saat itu, ada nama salah seorang
anggota DPR yang ikut menggerebek. Setelah ditangkap, sekarang NN dihukum 5
bulan penjara dan mucikarinya yang laki-laki 7 bulan penjara.
https://magdalene.co/story/di-manakah-letak-patriarki
Dari kedua contoh kasus di atas, perempuan, terus disudutkan.
Sementara identitas si laki-laki, ditutup-tutupi. See, betapa budaya patriarki
dan relasi kuasa berbasis gender, masih terasa kental, dan bahkan diamini oleh
perempuan lainnya.
Hal-hal semacam itu,
nyatanya, selaras dengan yang disampaikan PCO Gender UNFPA, Sri Wahyuni. Hal-hal
tersebut dapat terjadi, karena struktur keluarga, yang tidak terlepas dari
kultur yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan tertinggi,
memiliki keistimewaan, penentu moral, juga sebagai pengendali alat dan
properti.
Konsep gender tersebut menurutnya, berpijak pada pembeda
peran, kedudukan, tanggungjawab, fungsi, perilaku dan pembagian kerja yang
merupakan kontruksi (rekayasa) sosial, yang ditetapkan oleh masyarakat,
berdasarkan sifat perempuan dan laki-laki, yang dianggap pantas atau tidak,
menurut norma, adat istiadat, kepercayaan atau kebiasaan masyarakat.
Nah, penting untuk diingat, gender itu tidak sama dengan
kodrat, ya! Kodrat perempuan itu, mengalami menstruasi, kehamilan, dan
menyusui. Semetara pekerjaan domestik rumah tangga, laki-laki pun bisa
melakukannya.
Konsep Kunci Gender
Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan,
antara laki-laki dan perempuan, atau ketimpangan gender, sebagaimana yang
dicita-citakan (kondisi normatif/ideal). Mengapa kesenjangan gender itu terjadi?
Karena:
1.
Nilai
sosial dan budaya patriarki
2.
Produk
dan peraturan perundang-undangan yang masih bias gender
3.
Pemahaman
ajaran agama yang tidak komprehensif dan cenderung parsial
4.
Kelemahan,
kurang percaya diri, tekad, dan inkonsistensi kaum perempuan dalam
memperjuangkan nasibnya
5.
Kekeliruan
persepsi dan pemahaman para pengambil keputusan, Tokoh Masyarakat (TOMA), Tokoh
Agama (TOGA), terhadap arti dan makna Kesetaraan dan Keadilan Gender.
Dari penyebab-penyebab di atas, makanya terjadi bias gender
yang melahirkan ketidakadilan, yang meliputi, Stereotype, Violence,
Diskriminasi, Ideologi gender, dan Subordinasi. Kalau berbicara mengenai
bentuk-bentuknya, banyak sekali. Mungkin sedang kita alami, tapi kita tak
memahami maksudnya, seperti:
1.
Laki-laki,
bekerja di salon dan mengasuh anak, juga menjadi tukang masak, tukang cuci, dan
mengurus rumah, dianggap tidak pantas. Yang
terus dan langgeng berkembang di masyarakat, itu adalah pekerjaan perempuan.
2.
Perempuan
yang keluar malam, tidak pantas. Dampaknya, perempuan yang layak diperkosa. Ini
yang hingga hari ini, masih ada dan menjadi momok bagi perempun. Belum lagi,
diceritakan terus, dicap sebagai perempuan tak baik. Padahal, dia bekerja
mendapat shift malam. Tapi apa yang dilakukan masyarakat? Seolah-olah,
perempuan yang keluar malam, selalu salah dan pantas diperkosa. Anggapan yang
jahat.
3.
Perempuan
juga dipandang tidak layak berada di ruang publik, tidak layak memimpin juga
masuk politik. Contohnya, kuota untuk legislatif untuk perempuan, masih 30%,
kan? Perempuan dianggap lemah, jadi tak bisa melakukan apa-apa di ruang publik.
Padahal, itu anggapan yang keliru. Coba lihat Perdana Menteri New Zealand,
Jacinda Ardern. Dia terpilih lagi jadi Perdana Menteri tahun ini. Lihat lagi
Kanselir Jerman, Angela Merkel. Mereka perempuan yang mampu mengatasi
permasalah di negaranya. Sedangkan kita?
4.
Gaji
perempuan lebih rendah, tetapi pajak perempuan, lebih tinggi. Bisa dibayangkan
dan dihitung sendiri
5.
Cara
pandang masyarakat di negeri ini, banyak yang salah. Sehingga, melahirkan
banyak isu gender.
-
Anggapan di masyarakat, tidak bisa dilanggengkan lagi. Mitos
dan bias gender, tidak berlaku lagi di masyarakat kini, karena nyatanya, banyk
perempuan yang sudah menjadi pemimpin di berbagai kantor dan instansi. Lalu bagaimana
media kita, memotret perempuan? Beberapa contohnya, sudah saya utarakan di
atas.
Potret Perempuan
Indonesia dalam Sinetron
Kalis Mardiasih, yang selama ini dikenal sebagai perempuan
yang sering menulis isu-isu yang dialami oleh perempuan, memotret perempuan. Pertama,
Kalis mengangkat, perempuan yang digambarkan, di sinetron-sinetron.
Perempuan di sinetron di salah satu tv swasta, digambarkan
ada 2 macam. Yang pertama seorang istri sholehah, berpakaian tertutup, tak
berdaya dan memiliki masalah tidak bisa hamil, lalu mertuanya tak suka atau
diselingkuhi. Dia di sinetron itu, digambarkan hanya pasrah dan berdoa walau
mendapatkan kekerasan fisik dan verbal, supaya suaminya kembali baik. Di sisi
lain, si suami, malah asyik dengan perempuan kedua atau kita biasa menyebutnya
pelakor. Dengan dandanan serba wah, lalu menjadi musuh si istri sah.
Dari contoh di atas pula, dapat disimpulkan, omongan-omongan
yang menurunkan harga diri diri perempuan, memang nyata dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan sendiri. Dan ini benar-benar memalukan. Kok bisa? Sudah
menjadi kebiasaan dan dimaklumi sebagai candaan, makanya tak bisa berhenti. Pedih
sekali memang jadi perempuan di negeri ini. Suka tak suka, realitanya memang
seperti itulah pemberitaan dan omongan terkait perempuan. Seharusnya, perempuan
jangan malah memusuhi atau menganggap perempuan lain lemah. Padahal, perempuan
juga memiliki peran penting, baik yang sudah menikah atau yang belum.
Sedikit banyak, sinetron-sinetron itu, memasuki alam bawah
sadar perempuan di dunia nyata, untuk mengejek perempuan lain. Hello sinetron! Kenapa
perempuan terus-terusan digambarkan jadi sosok lemah dan Cuma bisa menangis? Kapan
perempuan Indonesia memiliki pemikiran yang luas kalau tontonannya tentang
perempuan yang meratapi nasib terus? Sajikan film atau sinetron kelas festival
dong, supaya perempuan bisa berpikir dan bertahan untuk dirinya sendiri. Contohnya,
seperti Film Marlina.
Selain itu yang digambarkan juga di sinetron/film Indonesia,
adalah perempuan dengan standard kecantikan berkulit putih, berhidung mancung,
dan tubuh langsing. Mereka dengan standard kecntikan aduhai ini yang laku di
film. Sungguh tak adil sekali. Makanya sampai, tak hanya laki-laki yang
menyudutkan perempuan, perempuan juga menghina sesamanya dan itu terjadi ke
saya.
Suatu hari, seorang kawan, main ke rumah. Kemudian, dia
melihat beberapa bekas luka di tangan dan kaki saya. Lalu dia bilang, “Sudah
turunlah maharmu ini, Da. Banyak sekali bekas lukamu.”
Saat itu, saya tak berkata apa-apa, cuma jadi berpikir
sendiri, “Sehina itukah saya? Semurah apa harga saya? Kenapa ukuran mahar
ditentukan dengan fisik?”
Saat itu saya insecure sekali dengan keadaan saya. Walau memang pernah kenal, sebutlah kawan,
tapi dia mesti menjaga omongan, kan?
-
Media Massa, Momok
bagi Korban Perkosaan
Dominasi laki-laki, juga menjadi momok bagi perempuan sampai
hari ini. Berbagai kasus pemerkosaan, juga masih menghiasi media kita, di mana
kalau ada perempuan diperkosa oleh gurunya, apalagi bertahun-tahun.
Bagaimana media
memberikan judul pada berita seperti di atas?
Media kebanyakan, menggunakan pemilihan kata yang tidak tepat,
sehingga pembaca pun jadi memberikan kesimpulan, “Oh ini suka sama suka.”
See. Seringan itu?
Mikir deh, “Apakah ada seorang perempuan yang merelakan
dirinya untuk diperkosa selama bertahun-tahun?” Tentu saja tidak ada.
“Kenapa dia tak mengadu?” Inilah yang disebut relasi kuasa, karena
dia (korban perkosaan), berada dibawah ancaman. Yang demikian saja, orang-orang
masih tak paham. Malah berkomentar yang menyudutkan si korban. Ini suatu cacat
pikir dari komentator kebanyakan.
Media mengangkat kasus
ini, menggambarkan, seakan-akan, ketika laki-laki memperkosa seorang anak dan
perempuan, merupakan hal biasa. Padahal ini adalah kejadian luar biasa.
Kalau kejadian pemerkosaan seperti itu, di media hanya
menggunakan kata-kata seperti pelampasan hasrat, meniduri, menggagahi, ini
menyakiti sekali bagi si korban. Sudah diperkosa, eh malah disudutkan oleh
media.
Pemilihan kata dalam media tulisan, harus tegas dan tepat
sasaran. Ini pelakunya ada, tulis saja, pelaku pemerkosaan. Langsung dan tepat
sasaran, sehingga si pelaku ini yang jelas-jelas sudah berbuat salah, mendapat
hukuman. Bukannya si korban yang menjadi bulan-bulanan media.
Posisi Perempuan di
Media
Sebelumnya, perempuan memang tak ada yang maju di media. Hanya
akhir-akhir ini, Najwa Shihab yang kita kenal, berkat keberaniannya
mewawancarai politisi, juga seorang feminis. Selain itu, apakah ada lagi? Sepertinya tak
ada. Jadi kita berkewajiban memotret orang-orang di sekeliling kita, khususnya
perempuan, agar dikenal juga secara luas.
Narasumber dan
Pertanyaan “Ajaib” Media Massa
Sebelumnya sudah saya sebutkan, bagaimana nasib perempuan,
khususnya korban perkosaan, pada narasi media massa. Lucunya, para reporter
kebanyakan, malah mencari informasi yang kurang valid, misalnya narasumbernya
adalah tetangga atau orang-orang yang
tak ada hubungannya dengan si korban.
Satu lagi yang kerap aneh menurut saya. Saat si reporter
bertemu korban, pertanyaannya juga sungguh menggemaskan, seperti, “Bagaimana kejadiannya?
Bagaimana perasaannya?”
Kasusnya jelas dia diperkosa, kok malah ditanya perasaannya? Kenapa
harus ditanya lagi kronologis kejadiannya? Apakah harus dijelaskan, si
laki-laki memasuki kamar saya, lalu dia membuka pakaiannya, dan meniduri saya? Tidak,
kan? Makanya, pertanyaan-pertanyaan seperti itu, tak perlu ditanyakan. Seharusnya
ada pertanyaan lain dong. Misalnya, “Usaha apa saja yang sudah dilakukan untuk
menjerat pelaku?” atau “Setelah kasus ini terungkap, apa yang akan dilakukan si
korban terkait pendidikannya?”
Sebagai orang yang pernah berada di lingkup media, saya paham fungsi-fungsi pers. Tapi yang saya lihat, belum ada perubahan yang berarti, terkait pemberitaan soal perempuan korban perkosaan. Kita memang harus memberikan informasi kepada masyarakat. Namun, bukannya malah mengorek hal-hal yang tidak penting. Hal-hal tidak penting, memang disukai masyarakat kita, yang tak semuanya berpendidikan tinggi dan belum mampu berpikir kritis.
Tugas kita sebagai media, mendidik pembaca, lewat pemberian pertanyaan-pertanyaan yang mendorong korban perkosaan untuk bangkit. Jangan malah mengungkapkan kesedihannya. Lalu membiarkannya terpojok dan jadi santapan pembaca yang haus akan sensasi. Reporter, memiliki tanggungjawab untuk mengedukasi pembaca lewat tulisannya. Jadi, perhatikan pemilihan kata-katanya. Jangan sampai, korban pemerkosaan, mendapat stigma dari masyarakat. Ingat! Dia korban.
-
Kasus-kasus di atas, merupakan realita yang terjadi di masyarakat kita. Maka dari itu, kita harus memberikan angin baru kepada pembaca dan masyarakat luas agar dapat memahami perempuan.
Media massa harus berubah. Jadilah media yang memandang perempuan dan laki-laki adalah makhluk setara. Toh, perempuan ini makhluk hidup, makhluk soial yang memiliki hak sama dengan laki-laki.
Perempuan bukan objek seksual. Laki-laki dan perempuan, tak sepatutnya dibeda-bedakan porsinya dalam pemberitaan media. Kita setara. Yang membedakan hanya organ reproduksinya saja. (Auda Zaschkya)
15 komentar
hai mba Auda, ada beberapa dari bagian tulisan ini yang pernah jadi pikiranku, ketika mendengar kabar seorang remaja yang diperkosa bertahun2 bungkam. Aku setuju, bukan dia mau, tapi ancaman itu kadang melibatkan oranglain. Dan itu sungguh mengerikan. Semoga media juga lebih bijak dalam memberitakan kasus2 yang melibatkan perempuan, apapun itu. Mengenai sinetron aku no comment karena sudah sejak lama berusaha tidak nonton apapun judulnya. Bagus banget ini mba opininya. Kirim ke media dong hehe :)
BalasHapusSalam kenal :)
Meminta korban perkosaan untuk bercerita tuh ibarat mencongkel luka yang hampir mengering
BalasHapusDicongkel lagi dicongkel lagi trus dibanjur garam
Kebayang kan pedihnya?
Ya tapi dunia hiburan menuntut demikian
Memang begitulah ya ketika budaya patriarke masih tumbuh subur dan kapitalisme merajai semua lini.
BalasHapusButuh edukasi terus menerus agar hal ini tidak membudaya selamanya, terutama di negeri kita
Bagusnya sebaiknya laki-laki dan perempuan itu melakukan sesuatu itu sesuai peran dan kodratnya ya. Jadi, nggak ada tu, yang bilang bahwa laki2 mah nggak ngerjain kerjaan rumah tangga. Padahal laki-laki yang baik tahu bahwa pekerjaan rumah tangga juga pekerjaan kerja sama antara istri dan suami. Bukan semuanya oleh perempuan ya. Harusnya kita bisa belajar dari Nabi kita, dalam agama kita yang baik itu kayak apa. Bukannya jadi menyalah gunakan dan seenaknya ya
BalasHapusAhahah...aku jadi emosi baca tulisanmu, Da. Itu juga kekesalanku selama ini. Kenapa perempuan yang jadi korban pemerkosaan atau terjebak prostitusi diberitakan terusss. Dia korban. Belum lagi si korban mesti bolak-balik menceritakan kronologis peristiwa.
BalasHapus"Bagaimana perasaan Anda setelah diperkosa?"
Setdah. Itu kepala ada isinya apa cuma pajangan sih.
Tuh kan, kesel >.<
Saya sering melihat kasus-kasus yang meletakkan nama perempuan di dalam pemberitaan apalagi kasus yang berbau tali air. Ujung-ujungnya perempuan juga yang dipermalukan oleh media. Kenapa lelaki enggak dibuat seperti itu ya kan. Memang anehnya lagi justru ditanya perasaan orang yang sudah menjadi korban. Makin menyakitkan lah pastinya.
BalasHapusAku kok baru tau ya kalau ada ketimpangan pemberitaan di media massa soal penyamaran identitas. Ntar coba amati lagi, ah
BalasHapusIndonesia memang kental nih sama budaya patriarki di segala lini, bahkan media pun ikut berperan dalam membangun persepsi masyarakat ini.
BalasHapusAku merinding deh bacanya!
BalasHapusAKu pernah nyariiissss jadi korban pelecehan seksual, dan itu dijerumuskan oleh temen kantor aku sendiri, rasanya dalam waktu lama aku jijik dan dendam banget sama perempuan itu
yaa Allah, betapa tidak adilnyaaaaaa... semoga satu saat mereka akan mendapat balasan setimpal
Nyatanya kaum perempuan masih lebih sering dijadikan obyek ya Mbak. Kalau mau kembali ke konsep kesetaraan gender, rasanya masih setengah jalan dalam dunia nyata. Bahkan terkadang arti kesetaraan itu malah menempatkan perempuan menjadi salah satu sumber pencari nafkah. Apapun itu keadaannya.
BalasHapusWelcome to indonesia, yang di highlight malah korbannya.. tanpa pikir gimanaaaa ini perasaan sang korban huhu...padahal kan pasti ancur banget itu kalo di tanya2inn
BalasHapusPerempuan dan laki² sama saja, yang membedakan adalah takwanya. Hanya aja masih ada TOGA dan TOMA yang berpaham patriarki ya
BalasHapusKasus si N itu bikin aku misuh-misuh berhari-hari, asli kesal sama yg jebak.
BalasHapusHih ga berkah hidup dia. Menganggap perempuan yang terpaksa bekerja di dunia prostitusi pantas diperlakukan seperti itu, aduh teringat lagi rasa kesal ku. Perempuan harus saling support memang untuk kasus-kasus terkait kesetaraan gender, kekerasan dan pelecahan seksual. Negara ini masih belum terbiasa dengan keberadaan perempuan mandiri sepertinya.
Kesetaraan gender masih menjadi PR meski zaman sudah berganti-ganti. Rasanya sudah lama sekali saya baca ini, dari berabad lalu.
BalasHapusMemang perempuan yang sering disudutkan.
Gemes banget kalau bahas hal ini
Iya saya juga setuju, posisi perempuan ditengah publik masih begitu timpang. Seperti kasus contoh yang disebutkan dominasi kaum perempuan yang lebih tersudutkan dan kita juga tidak bisa menampik bahwa di tengah masyarakat sendiri keberadaan (anak)laki-laki masih di nilai lebih
BalasHapusPerihal kesetaraan gender ini masih belum tuntas dan entah sampai kapan