TUGAS KEWIRAUSAHAAN : Taksi Blue Bird

SEJARAH BERDIRINYA

Bemo adalah angkutan umum roda tiga yang digunakan sejak tahun 60-an. Modelnya unik, dengan moncong yang membulat lonjong kadang digunakan personifikasi orang sebagai bahan kelakar.Bemo kini usianya yang sangat tua dan tidak layak digunakan lagi, karena polusi asap dan suara yang dikeluarkannya sehingga Pemerintah Daerah DKI menghapus jenis angkutan bersejarah ini disemua jalan-jalan ibukota. 
 Kiprah Keluarga Djokosoetono dalam bisnis  transportasi diawali dengan memiliki Bemo pada kurun waktu awal 60-an. Bemo ini merupakan hadiah dari Departemen Perindustrian kepada Ibu Djoko, dimana beliau aktif di Departemen yang kini  telah merger dengan Departemen Perdagangan.

Kendaraan ini selain untuk membawa penumpang juga digunakan untuk membawa dagangan telur dan batik kepasar-pasar, bisnis keluarga yang telah dimulai sebelumnya oleh Mutiara Siti Fatimah Djokosoetono SH, untuk menutupi biaya hidup dan biaya sekolah anak-anaknya. Sebab sang suami Prof. Djokosoetono SH, sudah sakit-sakitan dan membutuhkan biaya pengobatan  yang tidak sedikit pula.

Kala itu kedua putra beliau, Chandra Suharto dan Purnomo prawiro terlibat langsung dalam bisnis ini. Chandra Si Sulung sebagai pengemudi Bemo, sedangkan Pirnomo Si Bungsu, karena waktu itu masih duduk di sekolah menengah atas, dan belum memenuhi syarat mendapatkan Surat Ijin Mengemudi, hanya sebagai kenek yang berteriak-teriak memanggil penumpang dan menarik ongkos.

Kerasnya hidup di jalanan menempa keluarga ini hingga tidak mudah patah semangat. Bahkan, pernah suatu kali Purnomo remaja harus berkelahi dengan penumpang, gara-gara tidak mau membayar ongkos. " Saya hanya mempertahankan apa yang menjadi hak saya. Mungkin uang itu bagi orang lain nilainya tidak seberapa, tapi bagi sayasangat berarti, untuk makan ", tandas Purnomo pada suatu kesempatan.

Bisnis transportasi berlanjut setelah Prof. Djokosoetono SH mangkat pada tahun 1965. Waktu itu, pemerintah menghibahkan mobil jenis sedan, masing-masing dari Perguruan Tinggi Hukum Militer dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, serbagai hadiah atas jasa-jasa beliau. " Timbul pemikiran dari Ibu Djoko untuk memanfaatkan kedua mobil ini karena bila hanya dipakai sendiri tentu biaya perawatannya juga tinggi. Sedangkan kalau dijual, maka akan habis begitu saja. Beliau kemudian menjadikan kedua mobil itu untuk taksi", kenang candra, putra sulung beliau.
   
Pertama kali menjalankan bisnis ini, seluruh keluarga turut berperan. Mereka bekerja rangkap sebagai pemasaran, ponerima order, mekanik, bahkan menjadi pengemudi melayani tamu. Belum ada karyawan luar, kecuali beberapa orang pengemudi. Semua dikerjakan di rumah Jl. HOS Cokroaminoto No. 107, karena belum ada kantor dan belum ada nama. Semua berjalan alami, disamping karena ijin taxi resmi memang belum ada.

Kedua putera Ibu Joko, Candra Suharto dan Purnomo Prawiro tetap  melakono pekerjaan ini disela-sela kesibukan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Tak jarang keduanya pulang hingga dini hari karena melayani tamu-tamu yang membutuhkan jasa taksi. Keesokan paginya keduanya harus siap-siap berangkat kuliah lagi.

BISNIS TANPA NAMA

Berkaitan dengan nama perusahaan, ada kisah unik saat bisnis taksi gelap ini mulai dikenal orang. Saat itu Chandra ( Putera Sulung ) lebih sering sebagai operator telephon. Karena sering menyebutkan nama dirinya pada saat menerima order, " Selamat pagi dengan Chandra, ada yang bisa dibantu.......? " para  pelanggan akhirnya lebih mengenal dengan sebutan " Chandra Taksi " ( kini Golden Bird ). Nama Chandra Taksi ( CT ) telah demikian melekat dan populer dimata para pelanggan dan para pengemudi lama.

Waktu itu, Chandra Taksi merupakan satu-satunya perusahaan jasa taksi yang melayani pemesanan lewat telephon dan beroperasi selama 24 jam. Dalam menjalankan bisnis taksi ini Ibu Djoko beserta kedua puteranya selalu menekankan pada kepiasan palanggan, kebersihan armada, kenyamanan, keamanan, kemudahan reservasi, serta ketepatan waktu selalu diutamakan. Bahkan Ibu Djoko rela menggunakan becak atau angkutan umum lainnya untuk beraktifitas dibanding menggunakan mobil sendiri, demi menjaga pelayanan kepada pelanggan.

Kepercayaan pelangganpun semakin tinggi. Chandra Taksi menjadi buah bibir di kalangan tamu hotel yang menjadi pelanggannya. Seiring dengan tingginya permintaan akan taksi, maka armada taksi CT mulai dirasakan kurang. Perlu ditambah armada dan pengemudi untuk bisa melayani permintaan pelanggan. Sedangkan untuk menambah dibutuhkan modal besar. Pinjam bank? rasanya tak mungkin, karena perusahaan ini belum ada nama dan tak punya agunan yang cukup.

Sampai disini keluarga Djokosoetono mulai berfikir keras, mencari solusi. Timbul pemikiran untuk melibatkan janda-janda pahlawan lain yang senasib, seperti Ibu Yamin dan Ibu Suharjo untuk bekerja sama mengoperasikan mobil pribadinya sebagai taksi. Inilah embrio atau cikal bakal Blue Bird Group  dalam bidang pertaksian, sampai kelak Pemerintah DKI memberikan izin resmi argo meter pada tahun 1971.
 
Ketika Pemerintah DKI membuka izin taksi resmi pada tahun 1970, Ibu djoko mencoba mengajukan izin. Sayangnya permintaannya tidak dululuskan. Alasannya, beliau dianggap tidak memiliki cukup pengalaman di bidang transportasi. Usaha taksi gelap yang dikelolanya dianggap belum cukup kompeten karena masih berbasis  usaha keluarga, bukan perusahaan. Sedangkan perusahaan yang diberikan izin waktu itu sudah punya basis managemen dan modal kuat yakni Perusahaan Otobus, antara lain PPD, Gamadi, Steady Safe, Presiden Taksi, dan Merantama.

 Ambisi keluarga Djokosoetono untuk membuka perusahaan taksi resmi ini harus tertunda masalah perijinan. Ibu Djoko tak putus asa. Beliau mencoba cara lain untuk mendapatkan ijin, dan akhirnya timbul pemikiran untuk meminta referensi tertulis dari para pelannggan CT yang selama ini dilayani. Sebagian besar para pelanggan menyatakan bersedia membantu.

Selanjutnya, referensi tersebut dilampirkan dengan persyaratan ijin lainnya. Pemda DKI akhirnya luluh dengan usaha keras keluarga Djokosoetono dengan memberikan ijin pada tahun 1971.

 Ijin sudah didapat, namun kendala lain muncul. Untuk merealisasikan ijin tersebut butuh dana yang sangat besar, khususnya untuk pembelian armada. Kendala yang dihadapi perusahaan baru adalah memdapatkan kepercayaan pinjaman dari bank, karena bank mempunyai persyaratan khusus unutk mengucurkan kredit. Akhirnya, Ibu Djoko menggadaikan rumah yang didiami keluaraga Djokosoetono sebagai agunan dan mobil yang akan dibeli unutk armada taksi. Sampai disini permasalahan modal bisa diatasi, hingga meluncurlah 25 unit taksi Blue Bird pertama pada tanggal 1 Mei 1972.

BLUE BIRD KINI
Blue Bird dan Teknologi
Kesuksesan yang diraih oleh Blue Bird ini tak luput dari kelihaian blue bird dalam memanfaatkan teknologi. Berawal sekitar tahun 1972, Blue Bird-lah yang mengimplementasikan pertama kali di Indonesia sistem komunikasi radio serta penggunaan argometer yang ketat untuk armada-armadanya. Jejak langkah Blue Bird ini diikuti pula oleh perusahaan taksi lainnya yang beroperasi di Indonesia.
Sekitar 4 tahun terakhir ini Blue Bird sudah menggunakan teknologi GPS (Global Positioning System). Selain digunakan untuk melacak posisi armada-armadanya, GPS ini juga digunakan sarana berkomunikasi antara armada taksi dengan Call Center. Berbeda dengan teknologi komunikasi radio yang terbatas pada komunikasi suara yang sudah umum digunakan oleh operator-operator taksi, teknologi GPS ini mempermudah operator dalam menentukan posisi customer dan armada mana yang bisa menjangkaunya, sehingga pelayanan bisa dilakukan lebih cepat dan mengurangi antrean order. Keunggulan lainnya, customer tidak perlu mendengarkan suara berisik dari radio komunikasi ketika ada lelang order yang masuk.
Baru-baru ini, Blue Bird meluncurkan lagi salah satu layanan pelanggannya. Blue Bird berusaha mengikuti teknologi yang sedang trend saat ini. Layanan baru tersebut adalah SMSTaxi: Order Taksi via SMS. Dengan layanan ini, pelanggan cukup mengirimkan SMS ke nomor 1234 untuk melakukan order taksi. Pelayanan ini tentu saja sebuah langkah strategis yang diambil oleh Blue Bird untuk menjaring pelanggannya.
Hanya saja, sebelum dapat melakukan order, customer harus mendaftarkan nomor telepon selulernya melalui SMS atau website Blue Bird Group (http://www.bluebirdgroup.com). Selain itu alamat dimana taksi akan menjemput pelanggan juga harus didaftarkan. Setelah itu baru pelanggan dapat memesan taksinya. Saat ini baru pelanggan yang memiliki telepon selular dengan menggunakan operator Indosat saja (seperti Matrix, IM3, dan Mentari) yang bisa memanfaatkan pelayanan ini.
Cara order ini dinilai masih kurang mudah, karena prosedurnya yang rumit daripada melakukan order via telepon biasa. Namun sepertinya order via sms ini memang sengaja ditujukan untuk pelanggan tetap Blue Bird, misalnya bagi pelanggan yang sering memesan taksi dari lokasi-lokasi dimana mereka biasa dijemput.
Strategi Blue Bird untuk mengadopsi teknologi-teknologi baru ini cukup bagus untuk memikat konsumen dan meningkatan brand awareness. Lebih dari itu, penggunaan teknologi ini diharapkan juga bisa mendorong persepsi konsumen terhadap taksi Blue Bird sebagai pionir dan market leader dalam usaha jasa transportasi.
Blue Bird Group telah berkembang menjadi perusahaan transportasi darat terkemuka khususnya di ibukota Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Bahkan sangat sulit dibantah, di antara berbagai merek taksi yang beredar di sekitarnya, diferensiasi taksi Blue Bird tampak begitu menonjol.
Diferensiasi itu bukan saja hanya pada sistem IT, database management, maupun sistem renumerisasi yang baik. Dalam hal pelayanan, pengemudi Blue Bird juga terkenal lebih baik dan sopan ketimbang supir-supir taksi merek lain. 
Mengembangkan sayap, merambah segmen non-penumpang
Perkembangan Blue Bird tidak cukup hanya di kota Jakarta dan sekitarnya saja, melainkan di kota-kota besar lain di Indonesia. Di Bali, sejak tahun 1989 Blue Bird Group telah menempatkan armada Golden Bird-nya, yang diikuti dengan armada taksi regular Bali Taksi pada tahun 1994. Kemudian berturut-turut pada tahun 1996 dan 1997, taksi regular memasuki Lombok dengan nama Lombok Taksi dan kota Surabaya dengan nama Surabaya taksi.
Sekitar bulan November 2005, Blue Bird mulai menjamah kota Bandung dengan 75 armada taksi regulernya. Meskipun dengan jumlah armada yang masih sedikit, Bandung Taksi ini mendapatkan pertentangan yang cukup keras dari operator-operator taksi lainnya di Bandung. Harus diakui jika reputasi dan brand image yang telah diposisikan oleh Blue Bird Group, cukup menjadi ancaman terhadap operator taksi lainnya.
Gebrakan bisnis Blue Bird sepertinya tak cukup di jalur angkutan penumpang saja. Jasa angkutan non-penumpang pun telah digeluti Blue Bird dengan menyediakan jasa Truk Container, yaitu Iron Bird dan Angkutan Kontenindo Antarmoda. Di luar usaha transportasi primer, Blue Bird juga telah mendirikan Holiday Resort Lombok, dan perusahaan manufacture otomotif seperti Everlite, Restu Ibu, Ziegler Indonesia, serta usaha service lain seperti Jasa Alam, Gas Biru, dan Ritra Konnas Freight Centre.
STRATEGI, VISI, DAN MISI TAKSI BLUE BIRD
Mempertahankan mutu pelayanan kepada pelanggan
Strategi Blue Bird Group yang berslogan ‘Andal’ pun mulai diluncurkan. Andal merupakan kepanjangan kata dari Aman, Nyaman, Mudah, dan Personalize. Slogan inilah yang digunakan untuk memberikan pelayanan kepada pelanggan. Slogan Andal ini juga harus diaplikasikan oleh semua karyawan Blue Bird di semua tingkatan. Dari atasan hingga back office dan frontliners yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Jika semua karyawan, khususnya pengemudi, merasa nyaman dalam bekerja, akan berdampak pada pelayanan yang diberikan kepada pelanggan.
Visi melayani yang diterapkan sendiri mengacu pada sistem top-down. Artinya, service yang baik harus dimulai pada tingkatan atas yang kemudian berlanjut ke bawah. Pemimpin harus memberikan contoh kepada bawahannya. Purnomo pribadi memiliki gaya kepemimpinan spesial, baik dalam membentuk budaya perusahaan, mengantisipasi perubahan, menggiatkan inovasi dan memaksimalkan sumber dayanya.
Sebagai market leader, mempertahankan reputasi sebagai Partner Transportasi yang Handal memang tidak mudah. Oleh sebab itu, untuk membentuk brand loyalty para konsumen, Blue Bird menerapkan quality control terhadap seluruh lini usahanya, dari technical support hingga customer service.
Basis usaha Blue Bird terletak pada jasa transportasi, khususnya adalah taksi dan alat angkutan / kendaraan. Secara langsung yang menjadi penggerak utama usaha ini adalah para pengemudi-nya. Selain berfungsi utama sebagai driver, pengemudi juga menjalankan fungsi sebagai customer service dan sales force, karena mau tidak mau, para pengemudi inilah yang akan berhadapan langsung dengan penumpang / customer. Para pengemudi di Blue Bird dilatih secara khusus dalam berbagai tahapan training. Dari para pengemudi inilah image Blue Bird dibangun. Sehingga tidak heran bila masyarakat mengenal Blue Bird karena para pengemudinya yang baik dan jujur.
Selain pengemudi, ada pula Call Center yang harus bekerja keras merespon setiap permintaan pelanggan. Beruntung dengan adanya teknologi radio, GPS, MDT, Internet, dan kini dengan SMS, order dari pelanggan dapat ditangani dengan cepat dan mudah.
Keistimewaan lainnya dari pelayanan transportasi Blue Bird ini adalah ketersediaan 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sehingga jalanan tidak pernah sepi dari armada taksi. Dengan model kerja shift karyawan, taksi ? taksi yang beredar di jalanan ibukota ini diharapkan akan ada baik siang maupun malam hari, dari hari kerja biasa hingga hari libur sekalipun.
Dari segi pricing, Blue Bird bukanlah perusahaan yang bermain-main di strategi ini. Tarif yang dikenakan oleh Blue Bird mengikuti standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat. Bahkan untuk menjaga image-nya, setiap kali ada perubahan tarif, Blue Bird langsung aktif merespon. Berbeda dengan operator taksi lainnya yang argometernya dikenakan tarif sesuai kehendak pengemudi-nya.
Mungkin kebijakan mengenai tarif ini akan mengurangi jumlah konsumen yang menggunakan Blue Bird. Namun justru dengan menerapkan tarif yang berlaku, Blue Bird menjadi teladan dalam urusan pricing, dan tentunya tidak akan kebingungan dengan biaya operasional. Bahkan, penerapan pricing ini bagi konsumen Blue Bird akan menjadikannya sebagai operator taksi yang konsisten sehingga positioning Blue Bird tetap terjaga. Apa jadinya bila Blue Bird menempelkan tulisan Tarif Lama di kaca depan mobilnya? Pasti yang terkesan adalah Blue Bird sebagai taksi murahan yang rela menurunkan tarifnya untuk menggaet para penumpangnya.





















You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate