Benarkah Sabar Ada Batasnya?
Sebagai makhluk sosial
yang tak pernah terlepas dari bantuan orang lain, pastinya kita memiliki
banyak teman. Dalam menghadapi tingkah laku mereka yang tentunya
berbeda dengan kita pribadi dibutuhkan kesabaran. Apalagi tingkah mereka
yang amat mengesalkan, rasanya meluapkan emosi dengan marah-marah,
minimal saat itu batin kita terpuaskan, bukan? Pastinya kita tak
memikirkan dampak dari perbuatan itu.
Terkait dengan judul
tulisan ini, Saya jadi teringat oleh kata-kata seorang mantan teman
dekat, sebutlah namanya Juna. Ia selalu mengatakan bahwa setiap
perlakuan yang kita alami, hadapilah dengan kesabaran.
***
Suatu ketika saya pernah berucap sambil marah-marah ditelepon, “udahlah,
jangan pernah bicara lagi sama aku, aku bosan sama kamu, pembicaraanmu
tak jelas juntrungnya kemana, dikit-dikit nasehatin aku”. Ia menanggapi saya dengan sikap tenangnya, “da,, sabar ya, jangan marah-marah aja, nanti auda sakit”. Mendengar ucapannya yang saat itu mencoba memberi perhatian kepada saya, saya malah tambah berang dan berkata, “kamu jangan sibuk deh ngurusin aku, jangan sok-sok cari perhatian, sabar apa? Bosan aku, sabarku juga ada batasnya ya Juna”. Dengan tetap memberi perhatian ia pun mengatakan, “
Jangan pernah berkata bahwa sabar itu ada batasnya. Rasa sabar itu tak
pernah berbatas. Manusia sendiri yang memberi batas untuk sabar itu”.
Saya akui, saat itu
emosi saya masih cukup meledak-ledak dan teramat sering marah-marah
kepadanya untuk suatu hal yang tidak terlalu harus diselesaikan dengan
amarah. Apalagi memang dasarnya saya tidak suka padanya, jadi apapun
perkataannya yang baik, tetap saja selalu salah di mata saya. Namun
kalimat terakhirnya itu membuat saya berpikir, memang benar yang ia
katakan.
Sabar Membuatmu Mandiri
Ucapan dari Juna cukup
menohok saya yang dahulu memang tak pernah sabaran jika mengalami
sesuatu hal. Apalagi teman-teman memang terkadang tidak bisa saya
andalkan untuk beberapa hal yang menurut saya pribadi sangat penting.
Kalau saya ajak si kawan ini ke suatu tempat, dengan berjuta alasan ia
pasti menolak. Kini dengan sikap yang mencoba tetap sabar saya hanya
mengatakan, “oo.. tidak apa-apa, mudah-mudahan bisa lain kali ya”.
Kemana-mana saya selalu berusaha sendiri, bertemu dengan orang-orang
baru pun sendiri, bahkan berjam-jam duduk di warung kopi dan cafe pun
saya sendiri karena ingin menggunakan fasilitas wifi.
Keseringan sendiri
membuat saya berani untuk mencoba hal-hal baru. Misalnya saja saya
sendirian pergi ke Berastagi dengan mengendari sepeda motor. Perjalanan
kesana bukannya mudah dimana saya terus menemukan jalan yang berkelok,
tak lupa jalanan yang curam pun harus saya lewati. Menggunakan sabar,
akhirnya saya kembali dengan selamat, walaupun sempat jatuh juga sih
disana, hiksss…
Kembali saya teringat pada perkataan si Juna ini, Sabar tak pernah berbatas.
Sejak saya mengenalnya di SMP tahun 2000 yang lalu, ia tak pernah
mengeluh apalagi balas memarahi saya. Sifat penyabarnya selalu ia bawa
kemanapun. Yang lebih jelas, sabarnya itu saya lihat di saat peristiwa
Tsunami yang sama-sama kami alami 26 Desember 2004 lalu, Juna ini
menjadi salah satu korbannya, dimana ia terhimpit mobil sehingga
beberapa bagian tubuhnya mengalami sakit dan mengalami kebocoran pada
sebagian kepala sehingga air tsunami itu masuk ke dalam kepalanya.
Pengobatan pun ia
lakukan di Medan dan setelah sembuh ia kembali ke Banda Aceh dan
melanjutkan pendidikan disana hingga suatu ketika ia mendapat jatah
pertukaran pelajar selama beberapa bulan ke negeri Kangguru Australia
bersama beberapa teman yang lain. Kembali ke Banda Aceh dan
menyelesaikan SMA, ia pun mendapatkan Beasiswa untuk kuliah di salah
satu perguruan tinggi swasta di kota Bogor. Hidup jauh dari orang tua
dan kampung halaman tercinta adalah bukan suatu hal yang mudah. Dari
mulai mengurus diri, kuliah, rumah kostnya ia bisa kerjakan sendiri.
Dengan tetap memelihara sikap sabar tadi, ia mampu lewati berbagai
cobaan apalagi ia masih sering merasakan perih di tubuh dan pusing di
kepalanya akibat tsunami dulu. Hidup sendiri juga membuatnya dapat
bertanggung jawab kepada hidupnya. Ia menjadi mandiri. Lulus kuliah ia
kembali ke Banda Aceh dan sekarang ia telah bekerja di salah satu Bank
Syariah di Sabang.
Tak lupa ia selalu
mengingatkan saya agar selalu memelihara sikap sabar dimanapun saya
berada. Apalagi sejak Tsunami sampai tahun 2009 saya tidak tinggal
bersama ibu saya. Saya tinggal bersama keluarga abang saya, namun
semuanya saya yang mengurus sendiri. Baru lebih kurang 3 tahun ini saya
tinggal lagi dengan ibu saya.
***
Melalui tulisan ini saya
harapkan agar sebagai sesama manusia kita lebih mengedepankan sikap
sabar tehadap sesama tiap kita berinteraksi dalam kehidupan nyata maupun
maya. Jadi jangan pernah berkata, “sabarku ada batasnya dalam menghadapi seseorang”, sebab sejatinya Sikap
sabar tak pernah berbatas, hanya manusia saja yang memberi batasannya
sehingga sedikit banyak menghambat keinginan dan kreatifitasnya.
Tapi jika anda
bertemu dengan orang yang sabarnya luar biasa dalam menghadapi anda,
hendaklah jangan memanfaatkan kesabarannya itu dengan menganggap ringan
a.k.a sepele kepada orang itu.
Semoga kebodohan saya dalam menghadapi Juna dulu tak berulang kepada pembaca sekalian.
0 komentar