Aku Bukan Perempuan Manja !




Terlalu sering menggunakan logika ketika menatap riuhnya hari, hingga aku melupakan siapa aku. Situasi itu terkadang mendesakku untuk memikirkan, adakah aku sebenar-benarnya wanita atau hanya tampak luar?

Terkadang mereka berpikir, sepantasnya aku terlahir sebagai kaum adam saja sebab aku seperti tak berperasaan ketika menolak cinta yang hampiriku. Sebuah prediket bodoh telah tersemat untukku dari mereka yang tak mengenalku. Ah, bukankah itu tergantung berpasang-pasang mata yang sudi menatapku? Harusnya, jutaan terima kasih kuucapkan kepada mereka sebab mereka mampu menilaiku walaupun aku tak sepenuhnya begitu. Apa peduliku? Kalian tak mengenalku, jadi jangan pernah menjorokkan tubuh kalian yang suci itu terlalu dalam ke hariku.

*

Kau, kau yang sedang dekat denganku. Dari gelagatmu seperti sedang mengharapkan sesuatu yang lebih. Itu tertangkap ketika kau selalu memberi perhatian pada risaunya hari yang selalu kupikul sendiri. Polahmu lebih dari facebook yang selalu menanyakan kabar dan kegiatanku. Kau seperti ibuku yang selalu ingin tahu apa yang sedang kulakukan. Kau juga ibarat kakakku, terlalu sering mengintrogasiku, bak polisi yang sedang memangsa tahanannya. Namun, kau bukan ayahku yang harus selalu mengurusi hidupku, bukan?

Jika semuanya itu adalah inginmu, izinkan kuberkata, kau belum pantas mengambil fungsi mereka dalam keseharianku. Hari-hariku terlalu jenuh hingga aku harus menggunakan logika demi memuluskan hadirku di dunia ini, tak terkecuali ketika harus menatapmu.

*
Seiring berjalannya waktu yang kita telan bersama, entah mengapa dibalik kebosanan itu ada sebongkah keinginan yang terlalu kuat untuk kulawan. “Biar saja,” Ucap akalku. Ya… disini aku masih menyematkan logika kebangganku.Namun tiba-tiba, kemarin ia mengirim sebuah tulisan berlatar hitam, mungkin ia memungutnya dari tong sampah maya. “Ah, ia tahu aku menyukai warna pekat ini, seperti aku mencintai kopiku”, bisikku dalam hati.

Seketika aku bingung mengartikan tulisan yang berbunyi :

Jika aku tidak mengatakannya,
bukan berarti aku tidak merasakannya.
Aku hanya tidak menemukan kata2
yang lebih besar dari perasaanku.

Kalimat itu cukup menohokku. Kalimat yang telah menodai dunia baruku ketika aku memakai naluriku untuk memahami makna kalimatnya. Sekelumit rasaku sebagai wanita seketika muncul menghadang alur logikaku, namun gejolak itu mampu kutahan. “Jangan gegabah dalam mengartikan rayuan lelaki, bukankah kau telah mampu bangkit setelah terperosok ke dalam jurang ketika dia sang pendahulu mendewasakanmu dengan kejamnya?” Logikaku kembali berontak dan ingin berjalan di depan.

Ketika kutanyakan padanya tentang makna tersirat dari ungkapan itu, ia hanya mampu berkata bahwa hanya asal kirim. “Ah,, lagi-lagi jawaban klise,” hardikku dalam hati. “hei, bukankah ini keuntunganku,” Senyum bahagia tersungging di bibirku.

Sebab ia tak mengakuinya, aku pun tak ingin merepotkan diri untuk mendeklamasikan ungkapannya itu. Aku tak akan mendesaknya untuk mengakui rasa pengecutnya itu. Bagiku, lewati hari bersamanya sebagai teman adalah lebih utama daripada harus menaikkan jabatannya untuk menjadi penguasaku. Aku tak mau dikuasai oleh siapa pun, 

walaupun sepertinya ia sudah mulai menghargai aku dan duniaku, setidaknya ini adalah sebuah progress yang baik jika ia inginkan jabatannya naik di hidup. Namun ia mengatakan hal yang sesungguhnya benci untuk kudengar. Ia berkata bahwa akan menjelajahi suatu tempat. “Fine, Ini berarti kami akan semakin jauh, bukan? Ya,, baiklah.. aku harus mampu menjadi lebih tegar. Aku harus mampu meyakinkan hatiku bahwa ini bukan masalah besar bagiku sebab ia pun tak mengikatku,” rontaku dalam hati.

Ya, jiwaku meronta seakan aku tahu jawabnya. Kuteguhkan hatiku demi yakinkan diri untuk merelakannya pergi, demi cita dan cintanya. Oleh sebab itu, aku tak mau menaikkan jabatanmu di hatiku karena aku tahu, kau pasti akan semakin jauh meninggalkanku dan aku tak mau membuang air mataku hanya untuk menangisimu seperti dia, dia lelaki yang sempat kucintai dan meninggalkanku dalam luka hingga akhirnya luka itu mampu dewasakanku, mengajariku akan arti kehilangan.

Aku bukan sesosok manja yang akan berkata tak akan mampu hidup tanpamu. Hei,, siapa kau? Seperti mereka, Kau hanya seonggok daging yang akan tega meninggalkanku jika saatnya tiba. Serupa wajah yang tak harus kuratapi berhari-hari.

Aku telah menyiapkan diriku untuk kehilangan, maka dari itu aku tengah sibuk menutup diri demi cita-citaku sendiri. Egois, kah aku? Kurasa tidak, sebab pilihanku mengharuskanku bertahan diantara riuhnya hati ini. Atau, angkuhkah pilihan hatiku? Tidak, sebab ini hidupku dan aku mampu mengatur jalanku sendiri. Aku adalah aku, bukan sesosok manja yang akan meraung hanya karena kehilangan. Bukankah telah kukatakan berkali-kali bahwa aku mampu menapaki jalanku walau harus menghadapi jutaan kerikil yang mengancam?Tenang, tak perlu kau khawatir akan hidupku.

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate