Refleksi Sewindu Tsunami : Tetap Tegar Menghadapi Tahun 2013
Medan, 26 Desember 2012
Hari ini, saya kembali terkenang pada musibah besar yang terjadi 8 tahun silam. Musibah yang telah merenggut ribuan korban dimana diantara korban tersebut adalah teman dan saudara saya. Musibah besar yang telah meluluh lantakkan pantai barat aceh sampai ke beberapa negara lainnya. Untuk memperingati mereka yang telah mendahului kita, maka telah dibangun museum Tsunami yang terletak di kota Banda Aceh.
Kini saya berdomisili di kota Medan. Tentunya banyak yang bertanya, marga saya apa ? Tidak, saya tidak memiliki marga karena saya bukan asli Sumatera Utara. Sekarang saya berdomisili di kota ini karena saya tidak memiliki rumah lagi di kampung halaman saya. Mengapa saya bisa pindah dan melanjutkan pendidikan disini?
*
Tanggal 25 Desember adalah tanggal yang menegangkan bagi saya di delapan tahun silam. Betapa tidak, pada hari senin tanggal 27 Desember 2004 rencananya saya akan di hadapkan pada kenyataan yang mana saya harus menjalani operasi. Dokter telah menjadwalkan saya untuk dioperasi. Kalimat yang sebenarnya teramat menakutkan bagi saya setelah mendengarkan vonis dokter. Apalagi sejak beberapa hari sebelumnya, saya telah menjalani tes darah dan tes urine. Sejujurnya saya menganggap ini adalah malapetaka baru bagi saya. Namun, ternyata Dia berkehendak lain. Saya harus dihadapkan terlebih dahulu dengan satu peristiwa yang maha dahsyat yaitu Tsunami.
Minggu pagi, 26 Desember 2004. Seperti biasa saya menonton film kartun di televisi sembari menahan sakit dan sarapan pagi. Entah karena sedang pusing, saya merasakan gempa yang awalnya ringan namun lama-kelamaan menjadi berat. Saya dan ibu langsung berlarian ke luar rumah dan duduk di tengah jalan beraspal bersama warga asrama lainnya sambil berdo’a. Beberapa menit kemudian gempa yang kencang tadi pun berhenti dan kami masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah kami mendapati tumpahan air bak yang membajiri dapur, berarti gempa yang tadi kami alami cukup dahsyat. Tak lama para warga yang tinggal di lokasi di belakang asrama kami telah berlarian dan berkata “air laut naik, tinggi sekali”. Saya dan ibu pun panik dan bersama warga lainnya berlarian mencari tempat untuk berlindung. Yang anehnya, entah kekuatan dari mana saya sanggup berlari padahal seperti yang telah saya katakan, saya sedang sakit dan bersiap untuk di operasi.
Sekitar 10 menit, akhirnya kami sampai di sebuah gedung sekolah dan langsung naik ke kelas-kelas yang berada di lantai dua. Tak lama berselang, air pun sampai dan telah membanjiri lantai satu. Saya memandang ke arah jendela bahwa ada beberapa manusia yang telah mrnjadi mayat yang terbawa derasnya arus air laut ini. Gempa susulan pun masih dapat saya rasakan walau tak seberat gempa 8.9 SR itu. Malam harinya, saya tidur di atas meja kelas tersebut.
Keesokan harinya sekitar pukul 09.00 Wib setelah air laut tersebut surut, saya dan ibu kembali ke rumah untuk mengambil surat-surat penting yang diletakkan oleh ibu di dalam satu koper. Di dalam rumah kami yang telah porak poranda itu, terdapat beberapa mayat yang masuk dari berbagai lubang besar di dinding. Sekitar pukul 12.00 Wib, tibalah abang sepupu saya ke sekolah itu. Kemudian saya dan ibu dibawa pulang ke rumahnya. Malam itu kami menginap di rumahnya. Karena situasi dan kondisi transportasi yang parah, abang kandung saya baru tiba di Banda Aceh hari Rabu 29 Desember 2004. Pukul 12.00 siang kami pun menuju bandara Sultan Iskandar Muda hendak bertolak ke Medan. Sesampai disana, kami tak langsung memperoleh tiket dan baru berangkat ke Medan pada hari Kamis, 30 Desember 2004 sekitar pukul 04.30 wib.
Setelah tahun baru 2005 saya dibawa ke salah satu klinik. Dan dokter pun mengatakan bahwa saya tidak boleh menjalani operasi dulu karena umur saya saat itu masih dibawah 17 tahun. Saya hanya diberi obat dan suntikan 3x selama 3 bulan. Masing-masing perbotol harganya saat itu Rp 1.005.000,00. Setelah menjalani injeksi itu, saya belum sembuh total.
Sembari tetap melanjutkan sekolah SMA sampai kuliah dulu, saya menjalani berbagai pengobatan dengan medis yang dilanjutkan lagi pada tahun 2006 saya mengunjungi dokter di Rumah Sakit yang berlokasi dekat rumah. Berobat disana setiap bulan dengan diberi obat dan suntikan sampai pada akhirnya dokter tersebut berkata bahwa sudah cukup untuk disuntik yang ada badanmu makin besar saja. Suntikan itu pun saya jalani hampir 3 tahun. Dan akhirnya saya pun bosan dengan obat dan suntikan, saya hanya mengunjungi dokter jika sakit saja.
Mei 2012, saya sendirian pergi ke rumah sakit. Setelah dilakukan cek ulang, betapa terkejutnya saya karena kembali dokter menyarankan bahwa saya harus di operasi. Saat itu dokter menyuntik saya dan memberi obat lagi. Pulang ke rumah, saya mengatakan juga kepada mama dan abang. Abang tak memberi izin saya untuk melakukan operasi. Katanya, kemungkinan kambuh masih bisa. Jadinya, saya sekarang menjalani pengobatan alternatif saja. Harapan saya, semoga saya dapat pulih tanpa menjalani operasi.
*
Yang ingin saya katakan sebagai refleksi disini adalah mau tidak mau saya harus mengakui bahwa penyakit ini adalah salah satu sumber kekuatan saya dalam menjalani hidup sampai hari ini.
Dan harapan saya untuk tahun 2013 yang akan datang adalah tetap tegar dan jangan mudah menyerah dalam menjalani hidup. Jalani hidupmu apa adanya. Bila sedang melanjutkan pendidikan, jalani sebaik-baiknya. Bila telah bekerja, jalani pekerjaanmu. Tetap jadi dirimu sendiri.
Menjalani hari seperti ini tak menutup kemungkinan saya pun bisa galau. Namun sebisa mungkin tradisi menggalau itu saya hindari, karena menurut saya pribadi galau itu tak berguna karena hanya menghambat proses berpikirmu dan membuatmu malas serta menutup diri.
2 komentar
Kita harus banyak belajar dari kearifan masyarakat di Pulau Simeulue dalan mengenal Smong kepada generasinya :)
BalasHapussetelah tsunami 2004, mudah2an ada progres yg baik bg masy. Aceh :D
BalasHapus