Antara Aku, Kau, dan Pluralisme Negeri Ini (2)
Oleh : Auda Zaschkya
Hey kamu yang selalu bersemayam di hati, kapan kamu kembali? Aku ingin
bercerita padamu akan kemuakanku pada seseorang yang terus menggangguku,
tepatnya mantan kekasih sang don juan, Riko. Mungkin benar, sebelumnya memang
salahku biarkan Riko menemaniku hariku. Namun sejak adanya perempuan itu, aku
tak ingin mengenal Riko lagi. Dan itu memang telah ku lakukan. Jangankah
sepatah kalimat, sepotong kata pun tak pernah lagi ku dengar darinya, segala
akses Riko untuk menghubungiku telah ku tutup, karena aku menghormatimu. Dan
aku percaya, bahwa maafmu pun akan selalu tercurah padaku jika hal ini langsung
kau ketahui dariku.
***
Aku sangat mengenalmu, tentunya kamu tak tertarik akan ceritaku tentang
Riko dan perempuan itu, bukan? Ya... Aku tahu, kamu lebih tertarik kepada
status regional negeri ini yang masih sering muncul akibat perang saudara yang
sepantasnya tak perlu mereka lakukan. Jangankan kamu, aku pun heran, mengapa
mereka seolah-olah menghalalkan darah orang lain yang berbeda opini dengan
mereka? Di mana jiwa kemanusiaan mereka, bila meminum darah orang lain bagaikan
minuman segar yang diteguk setelah seharian menjalani ibadah puasa Ramadhan?
Entah apa yang mendoktrin mereka sehingga mereka merasa dirinya sebagai makhluk
tersuci di dunia. Jika diingatkan, bukannya berterima kasih malah hujaman caci
maki akan langsung terlontar dari mulut ringan mereka.
Adalah hal terpuji bagi mereka, bilamana dapat menebar caci maki bagi
sekelompok orang yang menurut mereka telah salah. Menurut mereka yang
berdiskusi denganku, pikiranku dangkal. Piciknya mereka sehingga membuatku diam
dan terus meringis dalam hati. Pada mereka, aku hanya mampu berkata bahwa
alangkah lebih bermoral sekaligus berpahala bila orang-orang yang mereka anggap
melakukan kesalahan, disadarkan lewat berbagai diplomasi saja, bukannya malah
menempuh jalan konfrontasi yang notabenenya merugikan orang lain Padahal sejauh
ingatanku, kita sebagai sesama manusia yang diutus Tuhan Yang Maha Kuasa di
muka bumi ini, harus saling mengingatkan. Setahuku juga, Tuhan tak pernah
menyuruh kita untuk menyakiti orang lain baik melalui lisan maupun tulisan,
bukan? Apalagi menghalalkan darah mereka.
Mengapa harus melegalkan main hakim sendiri jika aparat masih mengayomi
masyarakatnya? Atau mengayomi itu hanya sebuah status? Dari yang aku lihat dari
sebuah video, adalah benar bahwa seorang yang mengaku pengayom itu berada
dibalik mereka yang membubarkan paksa diskusi yang tengah berlangsung saat itu.
Ah... Sesungguhnya, hal seperti ini sangat memprihatikankan bagiku.
Bagaimana anak bangsa ini bisa bersatu, jika egoisitas masing-masing kelompok
masih terus dipertahankan? Kemudian, dangkalku juga berpikir, bagaimana kita
mau dikatakan bangsa yang maju, jika doktrinisasi itu masih memenuhi pikiran
mereka? Katakanlah mereka lupa atau bahkan tak mau peduli akan pancasila dan
UUD 1945, namun apakah mereka dengan mudah melupakan sang pencipta? Sang
pencipta tak pernah menghalalkan darah orang lain untuk diteguk, bukan?
Memangnya darah orang itu boleh dicoba-coba?
Mungkin bagi pikiran mereka yang telah diracuni oleh kebencian terhadap
suatu kelompok, menganggap caci maki itu benar dan harus dilakukan sebab
perintah agama. Setahuku, agama mana pun tak pernah mengajarkan kebencian,
bukan? Agama itu mengajarkan kita untuk berpikir dan memperkaya diri lewat
keanekaragaman budaya yang ada, bukan hanya memikirkan bagaimana memberangus
kelompok minoritas dengan tanpa rasa bersalah.
Sadarkah kita bahwa kemiskinan pikir ini yang membuat bangsa ini makin
tertinggal jauh, bahkan dari negara tetangga yang notabenenya negara kecil
bahkan miskin kebudayaan dan sering mengakui produk kita. Alangkah lucunya anak
bangsa ini, jika produknya telah diakui negara lain, baru disitulah tiba-tiba
rasa nasionalisme itu terpanggil, lalu kelompok mayoritas pun seakan melupakan
masalah internnya dengan si minoritas dan berseru, “produk dalam negeri dicuri
pihak luar, mari kita rebut kembali.” Apatah artinya jika memperlihatkan pada
bangsa luar bahwa kita bersatu? Padahal di dalam negeri, kebobrokan moral masih
terus terjadi!
***
Mungkin bagi kebanyakan orang, pikiranku “nyeleneh” bahkan cenderung gila.
Selama tak ada kamu di sini, ibuku yang menjadi “korban”ku. Beliau dengan
sabarnya mendengarkan retorikaku. Beliaupun tak menyangka bahwa anak
perempuannya masih sempat memikirkan nasib negeri ini di saat kondisi anaknya
ini tengah sakit.
“Sudahlah nak, pikirkan dirimu. Jangan bebani dirimu dengan status pekerja
sosialmu terus. Ibu tahu, kamu itu memang lebih banyak memikirkan orang lain
dari pada sakitmu sendiri, padahal kamu itu sedang tak bisa berpikir yang berat
seperti itu, bukan?” ujar ibuku. Jika ibuku telah berkata demikian, aku pun tak
bisa berkat-kata lagi. Padahal dari sorot mata ibu pun, beliau mengecam aksi
brutal anak negeri ini. Namun, beliau tak bisa berbuat apa-apa selain tetap
diam di atas tangisan hatinya.
Aku tak sanggup membebani ibu dengan bicaraku yang mungkin akan panjang.
Maka dari itu aku membutuhkanmu di sini, sebagai lawan retorikaku tentang
negeri ini. Diskusi seperti biasa mampu kita lakukan, tanpa koma, tanda tanya
dan tanpa tanda seru, atau bahkan yang sengit sekalipun. Besar harapku, semoga
retorikaku ini segera menjadi wacana bagi mereka di parlemen sehingga stabilitas
regional negeri ini akan lebih baik kualitasnya. Demikian juga, pikiranmu akan
menyalak. Mungkin kamu benar-benar sudah muak dengan situasi di sini, makanya
kamu mengambil pekerjaan di negeri orang.
***
Dan hal itu, juga memuakkanku, apalagi bila harus menantimu. Namun memang
tak ada yang mampu ku lakukan demi permintaan hatiku ini. Hatiku bersikras
menunggumu.
Menunggu kembalimu adalah kesepianku, namun tak mengapa sebab bagi hatiku,
adamu berbanding terbalik dengan Riko. Pikiranmu yang cukup luas, mampu
mengendorfin langkahku untuk tetap tegar jalani hariku sendiri di sini sebagai
pekerja sosial di negeri ini, walau aku harus berjuang juga dengan sakitku.
Bukankah aku sudah pernah mengatakan, “Adalah
kau yang tetap bersemayam di hati, dan menunggumu di sini adalah keinginan
kita. Saling menghargai adalah falsafah dalam hubungan kita, suatu perpaduan
yang dilandasi oleh kebutuhan akan jiwa sosialku dan pemikiran filsafatmu.”
*
Sebelum sahur, 12/07/2013
gambar dari sini
0 komentar