Sewindu MoU Helsinki, Pemerintah Pusat-Pemerintah Aceh Ditampar oleh Amnesty International!
Delapan tahun telah berlalu dan tanggal 15 Agustus 2013, tepat sewindu sudah perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Pemerintah Republik Indonesia yang ditandai dengan penandatangan nota kesepakatan damai yang dikenal dengan MoU (Memorandum of Understanding) di Vantaa, Helsinki, Finlandia. Sejak saat itulah, GAM telah melebur dan tanpa perlawanan, menyatakan kembali bergabung dan setia memegang teguh kedaulatan bersama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
***
2 Hari Penting di Aceh (15 dan 17 Agustus)
Setelah kesepakatan damai itu, pemerintah Indonesia memberikan Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh untuk mengatur wilayahnya sendiri, sesuai syariat islam yang sebelumnya telah dilaksanakan untuk memaksimalkan Aceh agar tak hanya sebatas disebut Serambi Mekkah saja, juga sebagai pengamalan atas MoU Helsinki tadi. Mulailah dibuat berbagai macam Qanun untuk mengatur Aceh dan dari banyaknya Qanun, Qanun No. 13 tahun 2003 yang masih menjadi kontroversi hingga saat ini. Qanun yang membahas tentang Lambang dan Bendera Aceh itu telah berkali-kali dan pembahasan terakhir (31/7) hingga harus dilakukan langkah jeda karena Bendera Eks. GAM yang katanya diinginkan oleh seluruh rakyat Aceh, tak disetujui oleh Pemerintah RI. Terang saja tak disetujui karena Bendera itu mengingatkan kita pada masa konflik antara pemerintah RI-GAM, sebagaimana yang telah dikatakan pemerintah, boleh menggunakan bendera, tapi desainnya diganti.
Adanya keinginan sebelumnya dari pemerintah Aceh untuk menaikkan Bendera tersebut pada perayaan peringatan delapan tahun MoU Helsinki 15 Agustus 2013, tentunya ditentang oleh pihak RI. Apalagi tanggal itu mendekati perayaan Ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke 68 pada 17 Agustus 2013, kemarin. Seperti yang dikatakan Mendagri, Gamawan Fauzi (12/8), “Menjelang 17 Agustus, bendera Merah Putih yang harus dikibarkan beramai-ramai. Oleh karena itu saya berharap tidak ada pengibaran (bendera GAM) lagi di sana.” Lebih lanjut, beliau juga mengatakan, “Pemerintah Provinsi, DPR Aceh, para elit dan tokoh-tokoh di sana seharusnya mengajak masyarakat Aceh untuk melihat ke depan tentang kesejahteraan bersama.”
Kedua hari penting tersebut telah dilaksanakan secara khidmat oleh seluruh masyarakat di berbagai daerah di Aceh. Untuk daerah Banda Aceh sendiri, Upacara memperingati Ulang Tahun Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2013 kemarin di pusatkan di LapanganBlang Padang dengan Doto Zaini (Panggilan akrab rakyat Aceh bagi Gubernur Zaini Abdullah) yang menjadi Inspektur Upacara.
Ketimbang Bendera, Utamakan Kesejahteraan Rakyat Aceh Terlebih Dahulu
Oleh karena belum didapati kesepakatan tentang Bendera ini dan demi untuk menghormati rakyat Aceh, keputusan ini tidak bisa diambil sendiri oleh Pemerintah pusat, namun lebih mengutamakan mufakat dengan Pemerintah Aceh. Pembahasan lanjutan tentang Bendera ini akan dilaksanakan selama 2 bulan kedepan, terhitung dari tanggal 15 Agustus-15 Oktober 2013.
Tentunya ini mengulur-ulur waktu. Coba bayangkan dan pahami secara pelan dan bijak. Untuk pembahasan ini saja:
1. Berapa banyak dana yang dikeluarkan Pemerintah Aceh maupun Pemerintah Pusat?
2. Mengapa dana ini tak dipakai untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat saja?
Dana ini lebih bermanfaat bila digunakan untuk membangun/mensejahterakan Aceh dan rakyatnya. Belum lagi Korupsi di sana yang terus merajalela. Tentunya ini menambah penderitaan rakyat Aceh sendiri.
Terkait kesejahteraan rakyat Aceh sendiri, Pengamat politik dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh, M Jafar SH M. Hum berharap persoalan Qanun Nomor 3 Tahun 2013 tentang Lambang dan Bendera Aceh agar segera diputuskan sehingga Pemerintah Aceh bisa melaksanakan agenda lainnya yang lebih mengutamakan kesejahteraan rakyat.
Pembaca telah melihat beberapa tulisan saya sebelumnya, di mana saya tetap menyinggung tentang 21 Janji kampanye Gubernur dan Wakilnya agar memperhatikan kesejahteraan rakyat, bukan? Sesungguhnya ini murni bentuk keprihatinan saya terhadap banyaknya masyarakat di sana, terlebih yang berdomisli di pedesaan yang belum sejahtera secara finansial.
Pelanggaran HAM di Aceh. Amnesty International : No Peace Without Justice
Masih segar dalam ingatan saya bagaimana pertama kali melihat senapan laras panjang melintas di hadapan saya yang dibawa oleh GAM ketika kami di-sweepingdalam perjalanan kembali ke Banda Aceh dan terpaksa bermalam di mesjid daerah Bagok, Aceh Timur. Selanjutnya, saya masih ingat bagaimana bunyi rentetan peluru atau pun bom yang meledak. Pernah juga di tempat tinggal saya sebelumnya yang kebetulan Asrama TNI, ingin diledakkan oleh GAM (kepala Asrama mengumumkan hal itu di tengah malam). Jelas semua masih terekam dalam ingatan saya beberapa hal itu, sebelum Tsunami. Konflik di daerah Aceh pada masa itu cukup banyak juga memprihatikan. Darah yang mengalir dari GAM, TNI maupun masyarakat sipil terus mengalir.
Menurut catatan Amnesty International yang berpusat di London, korban konflik Aceh yang selama lebih kurang 30 tahun itu (1976-2005) mencapai 30.000 kasus. Yang paling anyar dan masih membekas bagi hampir seluruh rakyat Aceh adalah Tragedi pembantaian di Simpang KKA, Cot Muroeng, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Pada 15 Agustus kemarin, Suara Aktifis HAM untuk Rakyat Aceh (SAHuR Aceh)menggelar aksi di sana demi menutut kejadian pelanggaran HAM di sana.
Mengapa mereka mau melakukan itu? itulah bentuk solidaritas anak Aceh terhadap keadilan HAM yang belum di dapatkan, padahal mengenenai HAM itu, jelas tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka/GAM. Khususnya, tercantum dalam poin (2.2.) “Sebuah Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh”; (2.3.) “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh KKR Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi”.
Bukan hanya saya dan rakyat Aceh yang lain yang menutut Haknya, tetapi beban kami ini juga dirasakan oleh Amnesty International. Amnesty International dalam rilis terbarunya untuk memperingati 8 tahun MoU Helsinki 15 Agustus 2005, telah menyerukan bahwa, “Tiada Perdamaian Tanpa Keadilan (No Peace without Justice).”
Dikatakan oleh Isabelle Arradon, Deputi Direktur Asia Pasifik Amnesty International “Delapan tahun setelah konflik Aceh berakhir, warisan kekerasan masih menjadi bagian dari realitas harian ribuan orang di wilayah tersebut. Sementara para korban dan keluarga mereka menyambut baik situasi keamanan yang lebih baik, mereka tidak bisa memahami mengapa tuntutan mereka akan kebenaran, keadilan, dan reparasi masih diabaikan.”
***
Bagi saya pribadi, seruan/perkataan dari Amnesty International tersebut adalah tamparan keras bagi pemerintah pusat juga pemerintah Aceh sendiri. Bagaimana tidak? 8 tahun MoU Helsinki ini terlaksana, namun belum juga mampu menyelesaikan permasalahan yang sangat pelik tersebut. Mengapa kasus ini seakan-akan tak memperoleh kejelasan dan penyelesaian dari kedua belah pihak? Walau hanya terjadi di dalam negeri tapi kasus ini masih terus diperbincangkan oleh Amnesty Interntional yang berpusat di London. Sesungguhnya, Ini memalukan bagi kedaulatan NKRI di mata dunia internasional.
Banyaknya korban semasa konflik dahulu juga tak kalah pentingnya dari kesejahteraan tadi. Hendaknya persoalan ini diusut sampai ke akar-akarnya oleh pemerintah pusat dan pemerintah Aceh yang seharusnya tak hanya diam dan dapat bergerak cepat untuk mengusut dan menyelesaikan hal memprihatikan tersebut.
Hingga saat ini, memang pembicaraan mengenai Lambang dan Bendera Aceh masih terus diusahakan agar mendapati satu kata sepakat. Adalah benar jika dikatakan, Bendera dan Lambang itu akan menunjukkan kekhasan Serambi Mekkah, tetapi ini bukan yang sebenarnya diinginkan oleh seluruh masyarakat Aceh. Alangkah lebih baik jika hak masyarakat Aceh dipenuhi terlebih dahulu, baik soal kesejahteraan maupun keadilan HAM. Hal-hal demikian yang seharusnya menjadi fokus/prioritas utama yang patut diperbincangkan oleh pemerintah Aceh dan pemerintah pusat.
*
Sewindu MoU telah sama-sama kita lewati dalam damai, tapi ternyata masih banyak rakyat Aceh yang menjerit di sana. Atas tuntutan masyarakat Aceh itu sendiri serta tamparan Amnesty International itu, masihkah Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh menutup mata akan Kesejahteraan dan Keadilan HAM di Aceh? [AZ]
0 komentar