Kusta dan Isu Inklusifitasnya di Dunia Kerja
Minggu
lalu, saya sempat ngobrol sama mama tentang penyakit Kusta, di mana pada zaman
Belanda dahulu, di dekat kampung halaman kami, penderita penyakit Kusta
tersebut, diasingkan oleh Belanda, ke daerah pesisir (pinggir
pantai). Hal itu dilakukan, agar tak menulari orang sehat, yang barangkali,
secara tak sengaja, berinteraksi dengan mereka, termasuk pihak Belanda. Di
tempat baru tersebut, saat itu, mereka begitu diperhatikan (diurus), sampai ke
obat-obatannya yang disediakan. Namun lambat laun, setelah mereka tak
mendapatkan obat lagi, sudah banyak yang kembali ke masyarakat.
Apakah
Kusta Menular?
Di
atas saya sebutkan, penyakit Kusta tersebut, dapat menular, bukan?
Jawabannya
ya, karena penyakit yang dulunya sempat disebut lepra ini, adalah jenis
penyakit kronis yang dapat menular, yang biasanya, menyerang kulit, permukaan
mukosa dari saluran pernapasan, juga mata, di mana dapat hinggap di anak-anak
hingga orang tua. Penyakit yang juga dikenal dengan nama Hansen ini (seperti
nama penemunya Gerhard Henrik Armauer Hansen),
memang harus segera mendapat pengobatan, karena bisa membuat penderitanya
menjadi cacat permanen, seperti jarinya putus, borok (ulserasi), infeksi kulit
daerah wajah dan anggota gerak karena terdapat kerusakan saraf besar. pun, penyakit
ini, dapat menyebabkan hilangnya saraf perasa, yang diikuti dengan lumpuh dan
mengecilnya massa otot.
Kok Penyakit Kusta, Bisa Ada?
Menurut
sejarah, penyakit Kustha (Bahasa India, mungkin Hindi atau Sansekerta),
penyakit Kusta sudah ada bahkan sejak 300 SM, yang dulunya umum terjadi di
peradaban Mesir Kuno, Tiongkok Kuno, dan India, di mana dulu sempat dikira
sebagai penyakit kutukan Tuhan. Dalam tradisi islam sendiri, penyakit ini
disebutkan sebagai saah satu penyakit yang sangat diwaspadai. Bahkan Nabi
Muhammad SAW sendiri dikatakan dalam sebuah hadist mengajarkan doa khusus
mengenai penyakit ini, yang artinya: Diriwayatkan dari Anas-Radliyalahu anhu –
bahwa Nabi Muhammad SAW berdoa: “Ya Allah, aku berlindung padamu dari belang,
gila, kusta dan penyakit-penyakit buruk.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud
dengan sanan sahid.
Penyakit
ini bisa ada, karena berasal dari bakteri yang disebut mycobacterium leprae, yang pada tahun 1873, ditemukan oleh Gerhard
Henrik Armauer Hansen, di mana hingga kini, penyakit Kusta, masih ditemukan di
beberapa negara, seperti Vietnam, India, dan Indonesia. Untuk di Indonesia
sendiri, salah satunya ada di Bone, Sulawesi Selatan.
Beberapa hari yang lalu,
saya berkesempatan mengikuti Live YouTube Ruang Publik bersama Berita KBR, yang
menghadirkan Komarudin, S. Sos, M. Kes, Wakil Supervisor Kusta Dinas Kesehatan
Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Ada juga DR. Rohman Budijanto SH MH, Direktur
Eksekutif The Jawa Post Institute of Pro – Otonomi – JPP, Lembaga Nirlabaa Jawa
Pos, yang bergera di bidang otonomi daerah, dalam topik yang sangat menarik
berjudul Geliat Pemberantasan Kusta dan Pembangunan Inklusif Disabilitas di Tengah
Pandemi.
Pemberantasan
Kusta di Bone, Sulawasi Selatan
Selama Pandemi Covid 19 ini,
diakui Komarudin, terjadi pengurangan keaktifan tenaga kesehatan dari Dinas
Kesehatan, yang terjun langsung ke lapangan untuk menemukan penderita Kusta,
apalagi yang sifatnya untuk mengumpulkan masyarakat. Jelas saja, karena selain
waspada tertular Kusta, juga waspada Corona, karena memang virus Covid 19 itu, tak
kelihatan wujudnya oleh mata kita.
Upaya deteksi dini penemuan
kasus Kusta di masa pandemi ini, memang terhambat, Namun di sisi lain,
programnya harus tetap berjalan, karena apabila penemuan kasus Kusta ini
diberhentikan saat ini, dikhawatirkan, kasusnya akan meluas penularannya. Misalnya,
identifikasi kasus kusta yang melibatkan petugas kesehatan (dalam hal ini bidan
desa), dalam melakukan pendataan pada masyarakat yang mengalami bercak-bercak
di kulitnya, yang mana untuk selanjutnya, akan ditindaklanjuti oleh pihak
Puskesmas untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut, baik di rumah pasien ataupun Balai Desa, dengan tetap
memperhatikan protokol kesehatan Covid 19.
Situasi prevelensi Kusta di
Kabupaten Bone sendiri dikatakannya, sebelum Covid 19 mengalami stagnan (dalam keadaan terhenti), bertahan
di angka 2.5%. sementara itu, saat pandemi ini, malah menurun jadi sekira 1.7%,
yang disebabkan oleh kurang aktifnya pegawai puskesmas menemukan kasus penderita
kusta, karena adanya pembatasan jarak temu.
Bagaimana
Tanda dan gejala Penyakit Kusta?
·
1. Mati rasa saat area kulit
disentuh
·
2. Sebagian area kulit tampak
berubah menjadi lebih terang atau gelap
·
3. Kulit kering, kaku, dan
tebal
·
4. Muncul luka tapi tidak terasa
sakit
·
5. Kerusakan mata yang bisa berujung
kebutaan
·
6. Dll.
Seperti yang sudah kita ketahui,
Kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Tapi tak sampai di situ,
seseorang bisa terkena Kusta jika:
1. Kontak fisik secara rutin dengan penderita kusta
2. Tinggal di daerah endemik kusta
3. Menderita cacat genetik pada sistem kekebalan tubuh.
Berkaitan dengan poin-poin tersebut
di atas, sangat disarankan, jika kita bertempat tinggal dalam satu rumah dengan
seseorang yang memiliki gejala kusta, kita wajib segera ke dokter, karena
berada di dalam satu rumah dengan penderita kusta bisa menjadi penyebab kita
tertular kusta.
Bagaimana Mengobati Kusta?
Selain dapat dilakukan deteksi dan pencegahan
sejak dini, dengan mendapatkan pengobatan dari dokter, dan sering-sering
membersihkan bagian tubuh yang terkena penyakit kusta, penyakit ini bisa
diobati. Namun, akan menjadi sangat berbahaya bila tak segera ditangani, karena
dapat menyebabkan kerusakan permanen pada kulit, saraf, tangan, kaki, hingga
mata. Selain itu bisa membuat disfungsi ereksi dan infertilitas pada pria,
gagal ginjal, lemah otot, dll. Nah, deteksi dini itu sangat penting, karena
kalau sudah ada kerusakan sisik dan saraf, tidak akan pulih kembali, walau si
penderitanya sudah sembuh.
Untuk mengobati kusta, sudah disediakan
pengobatannya secara gratis oleh pemerintah. Yang penting, motivasi dari diri
sendiri dan keluarga, juga si penderita yang menuruti aturan dan sabar dalam menjalani
pengobatan yang cukup lama, merupakan kunci utama.
Pada
penderita kusta dengan kerusakan saraf, penggunaan sepatu protektif penting
untuk mencegah terjadinya luka pada tukak dan infeksi sekunder. Makanya perlu
pengobatan yang rutin. Biasanya, dokter akan memberikan terapi multi obat (Multi
drugs therapy), yang bergantung pada tipe kusta yang diderita dengan durasi
pengobatan minimal enam bulan, yang dilakukan secara teratur.
Terapi multi-obat ini masih sangat efektif, dan secara umum
penderita kusta sudah tidak menularkan penyakit setelah satu bulan
menjalaninya. Makanya mesti rajin berobat. Namun dengan catatan, pengobatan
dilakukan pada saat kondisi pasien belum terlalu parah. Makanya kalau sudah
menemukan ciri dan gejalan Kusta, segera ke dokter. Kalau sudah parah, akan
lama sembuhnya.
Isu Inklusifitas
dalam Dunia Kerja
Level inklusifitas penanganan
Kusta, TBC, juga HIV AIDS sendiri kata Rohman, sejak Covid 19 ini, sangat
berkurang perhatiannya, karena kita kan memang dianjurkan untuk tidak
mengadakan kegiatan yang berpotensi akan mengumpulkan masyarakat. Demikian pula
katanya, bagi perusahaan, isu Kusta jadi makin tersisihkan, karena banyak
perusahaan pun tutup. Akhirnya yang terpilih adalah orang-orang yang bisa
bertahan di perusahaan itu. Dengan kata lain,
di masa pandemi ini, jangankan yang difabel, yang non difabel juga
mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), Work from Home (WFH), dll.
Namun demikian, bahkan jauh
sebelum undang-undang tentang Disabilitas disahkan kata Rohman, Jawa Pos
sendiri, tidak mendiskriminasi para pelamar yang difabel dalam perekrutan
tenaga kerja. Intinya menurut Rohman, semua berkesempatan bekerja,
sebaik-baiknya, sesuai kemampuannya. Jadi jangan dicegah dan dibatasi hanya
karena keterbatasannya.
Maka dari itu, sangat disarankan, bila
menemui gejala Kusta, segera diobati, agar bekerja pun nantinya, akan lebih
nyaman. (Auda Zaschkya)
Sumber bacaan: Halodoc, NU Online, Klikdokter.com
0 komentar