Dia Perempuanku, Namun Bukan Milikku
Rasa
sakit itu mungkin masih berbekas di hatiku. Namun, ini bukan salahnya.
Ini salahku, belum bisa mewujudkan harapan kami untuk hidup bersama. Dia
akan selalu mendapat tempat istimewa di hatiku walaupun nanti aku telah
menemukan perempuan lain yang menjadi ibu bagi anak-anakku. Namun, aku
harus menyelesaikan kuliahku yang tak kunjung selesai ini.
***
Orang
tuaku memberiku nama Reza. Aku adalah seorang mahasiswa tingkat akhir
yang juga bekerja sebagai penyiar di salah satu radio swasta di kotaku.
Sebelum menjadi penyiar radio, aku adalah seorang presenter sebuah acara
musik maupun talkshow pada televisi lokal, di kotaku juga tentunya.
Saat masih di dunia pertelevisian, hari-hariku dipadati dengan pekerjaan
di dunia broadcasting itu yang sedikit banyak menyita waktuku. Karena
kesibukanku, kuliahku terlambat selesainya, padahal aku bukanlah
mahasiswa bodoh. Nilai-nilaiku di kampus, rata-rata bagus. Seharusnya
dibelakang namaku sudah ada gelar sarjana hukum. Ya.. seharusnya namaku
Reza Fahlevi, S.H sekarang. Atau aku dapat melanjutkan pendidikan ke
jenjang s2. Namun, keinginan itu belum terwujud sampai kini, sampai saat
dia menikah dengan pria lain dua bulan yang lalu.
***
Namanya
Rina Wahyuni. Ia adalah seorang perempuan pendiam dan penurut. Itu
terbukti ketika aku melihatnya di sekolah semasa kami SMA dulu. Aku
mengagumi semangatnya dalam mengikuti MOS di awal masuk sekolah dulu.
Semakin sering aku memperhatikannya hingga timbullah rasa suka di
hatiku. Aku tak yakin akan perasaan ini. Ah,, mungkin ini yang dikatakan
cinta monyet. Kubiarkan rasa itu berjalan seiring kedekatanku
dengannya, hingga suatu hari aku memantapkan hatiku untuk menyatakan
perasaanku padanya.
Sekitar
pukul 4 sore setelah menunaikan shalat ashar, aku datang ke rumahnya
untuk meminjam buku. Aku tahu, alasanku meminjam buku itu adalah alasan
klise yang terlalu dibuat-buat. Aku bingung, bagaimana harus kuutarakan
perasaanku padanya. Ya.. dengan alasan meminjam buku itu, semoga saja
keberanianku muncul.
Setelah
ia memberikan buku yang ingin kupinjam, aku bangun dari dudukku dan
tanpa banyak berkata lagi langsung kuraih jemarinya, “Na, aku mau ngomong nih, penting”.
Ia tampak terkejut mendengar suaraku yang tiba-tiba menjadi berat,
bahkan intonasinya cenderung serius. Sambil berusaha tersenyum dan
melepaskan jemarinya dariku, ia berkata “silahkan Za, tapi ‘gak pake
pegang-pegang tanganku juga dong, kayak di sinetron aja. Hahahaha.. eh,
emang kamu mau bicara apa Za?”
“Wajahku seperti kepiting rebus nih”, yakinku dalam hati akibat malu. Terlebih aku masih dilanda kegugupan, namun aku memberanikan diri dan akhirnya berkata, “aku cinta kamu”.
Seperti kebanyakan perempuan lainnya, Rina pun terkejut dan terdiam.
Segera saja ia meletakkan bokongnya di kursi taman itu. Aku menyadari,
mungkin Rina berharap sesuatu yang romantis diaksi nembak ini, namun
dasar aku yang tak tahu bagaimana cara beromantis ria, jadi Cuma tiga
kata itu yang mampu kuutarakan.
Aku
melihatnya yang tetap diam, mungkin ia marah pikirku namun aku harus
mendapatkan jawaban saat ini maka aku memberanikan diri bertanya,
“Na, gimana? Jawab dong.. kamu cinta ‘gak sama aku? Aku tau, aku ‘gak
romantis ya? Maaf ya Na.. aku Cuma pengen kamu jawab, Ya atau nggak.
Kalau iya, berarti kamu mau jadi pacar aku. Kalau ‘gak, berarti kita
tetap berteman saja dan lupain aja kebodohanku ini ya Na”.
Seketika Rina pun akhirnya tersenyum dan ia berkata, “Maaf, aku ‘gak cinta sama kamu Za”.
Seketika itu juga aku merasa tubuhku lunglai. Aku tak tahu, masih
dapatkah aku beranjak pulang. Yang ada dalam kepalaku adalah aku telah
kecewa.
“Tapi aku mencintaimu”, lanjutnya kemudian sambil tertawa. Aku terkejut, sambil berusaha tertawa dan berkata, “ah,,
kamu yang benar Na? Kalau benar, mulai malam minggu ini kita malam
mingguan ya”. “Baiklah kalau begitu, kita malam mingguannya dirumah aja
ya, sambil ngobrol-ngobrol kalau perlu sambil buat PR”, senyumnya kemudian.
Mulai
malam minggu itu, cerita cinta kami dimulai. Walaupun kami memulainya
saat kami masih sama-sama duduk dikelas 1 SMA, tapi hubungan kami terus
berjalan tanpa pernah ada masalah sampai kami lulus SMA.
Dimana
ada Reza, disitu ada Rina dan begitu pula sebaliknya. Saat memilih
jurusan untuk SPMB pun kami saling bertukar pikiran. Bagiku, Rina yang
pendiam dan penurut itu adalah seseorang yang mampu memberikan pandangan
yang masuk akal kepadaku. Ya.. Rina memang perempuan cerdas yang tak
hanya pintar di sekolah namun wawasannya luas.
Kamipun
dapat melewati SPMB dengan lancar dan kami diterima di Perguruan Tinggi
Negeri (PTN) di kotaku. aku di Fakultas Hukum dan Rina di Fakultas
Sastra, tepatnya Sastra Inggris. Kami memulai perkuliahan seperti biasa.
Beberapa bulan kemudian, aku mencoba untuk bergelut di dunia televisi
dan berhasil menjadi presenter disana. Sementara Rina, tetap
berkonsentrasi dengan kuliahnya.
Hubungan
ini berjalan lancar dari tahun ke tahun hingga tak terasa sudah tujuh
tahun cinta ini telah kami rajut, dan Rina pun telah diterima bekerja
sebagai costumer service di sebuah Bank Swasta di kota kami. Sementara
aku? Masih setia bersama dunia broadcaster dan kuliah hukumku.
***
Di
Sabtu siang itu, Rina mengajakku bertemu. Ditelepon ia mengatakan ada
hal yang harus ia bicarakan. Kelihatannya ini serius. Setelah jadwal
pekerjaanku, bergegas aku pergi untuk menemuinya di cafe biasa. Setelah
memesan makanan, Rina pun mengatakan, “Za, aku dijodohkan oleh orang
tuaku dengan anak temannya namun aku tak mencintainya. Aku telah
berkata, aku telah memiliki kekasih, namun orang tuaku malah menyuruh
kita untuk putus saja. Bagaimana ini? Aku tak mencintainya. Hatiku telah
seutuhnya ke kamu Za”.
“cubit aku Na, supaya aku tahu bahwa aku sedang bermimpi”, ujarku. “kamu ‘gak mimpi kok Za, itulah kenyataannya dan bulan depan kami akan bertunangan”, kata Rina.
Terlihat
air mata di sudut matanya, aku tahu ia ingin menangis dan aku pun
merasakan hal yang sama, namun sebagai laki-laki, aku tak boleh cengeng.
Sambil menyantap makanan di meja kami, aku baru berpikir dan mungkin
sedikit menyesal. “Seandainya saja kuliahku telah selesai dan dengan modal pekerjaan yang aku miliki, aku dapat melamarnya”.
Sejak
saat itu, kami harus berpisah sebab orang tuanya telah menyuruhnya
untuk memutuskan aku. Dan praktis, saat itu pula aku tak pernah
mengetahui kabarnya, sampai ia berpisah dengan tunangannya itu.
Rina
memang tak mengatakan bahwa ia telah berpisah dari tunangannya itu. Aku
mengetahui kabar itu dari Opi. Opi adalah sahabat Rina sejak SD yang
masih berhubungan dengan Rina. Opi menyuruhku untuk menghubungi Rina,
namun aku tak melakukannya. Aku berusaha ikhlas. Ah,, rasanya lagi-lagi
itu adalah alasan klise. Bagaimana mungkin rasa ikhlas itu menghampiriku
mengingat tujuh tahun kebersamaan kami dulu.
Seiring
waktu berjalan, pendidikanku di strata 1 pun tak kunjung selesai. Gelar
S.H ternyata belum mau disematkan di belakang namaku. Namun, aku masih
tetap bekerja di dunia yang telah mengenalkanku kepada masyarakat
kotaku.
***
Oleh
karena prestasiku di dunia pertelevisian ini, oleh pimpinanku aku
dipercaya juga untuk menjadi penyiar radio yang ternyata satu perusahaan
dengan TV lokal ini. Mengapa penyiar radio? Karena aku suka
berinteraksi langsung dengan orang lain. Karier di dunia broadcaster
telah ada dalam genggamanku karena ini hobiku. Namun kuliahku? Ya..
kuliahku pun belum selesai. Sementara Rina, telah menemukan tambatan
hatinya yang baru, yang dari Opi juga kuketahui bahwa mereka telah
melakukan pertunangan dan akan menikah di tahun ini juga.
Pria
itu memang lebih mapan daripada aku. Ia telah menyelesaikan pendidikan
s2nya diluar negeri dan sudah dua tahun ini ia bekerja di Bank milik
Pemerintah sebagai Back Office. Masih kata Opi, bila mereka telah
menikah, pria yang bernama Fathir itu pun akan melanjutkan pendidikan
s3nya, mungkin Rina akan mengikutinya ke luar negeri.
Bagaimana
dengan aku yang belum menamatkan kuliahku yang sekarang sedang berada
di semester 10 ini? Aku tak mau di D.O dan Aku harus menyeleaikan
kuliahku. Satu-satunya jalan adalah aku harus memilih untuk melepaskan
salah satu pekerjaanku. Dan aku lebih memilih menjadi penyiar radio saja
yang tak begitu banyak menyita waktuku sehingga kuliahku dapat segera
selesai.
Enam
bulan setelah Opi mengabari aku tentang pertunangan Rina, hari ini Rina
menikah dengan Fathir. Dan melalui Opi juga, Rina berkata bahwa, “tolong
undang Reza di resepsiku ya Pi, mungkin hari ini adalah sebagai hari
pertama sekaligus hari terakhir aku melihatnya sejak satu setengah tahun
yang lalu”. Mendapat amanah dari Rina, Opi menemuiku dan menyampaikan amanah itu. “kamu
jangan sedih ya Za, bawa aja pacarmu ke resepsi Rina siang nanti”. “Aku
belum memiliki penggantinya Pi. Aku mau menyelesaikan kuliahku dulu”, lagi-lagi jawaban penuh keklisean kutunjukkan pada Opi.
Sebenarnya
apa tujuanku mengatakan hal itu kepada Opi? Berharap Opi mengatakan hal
itu kepada Rina, kemudian Rina membatalkan pernikahannya dengan Fathir?
Kalau itu harapanku, itu adalah harapan bodoh yang sempat kupikirkan.
Aku mengenal Rina yang penurut, terlebih kepada kedua orang tuanya. Tak
mungkin Rina melalukan itu. Ah,, aku melakukan hal bodoh lagi !
Rina
telah menikah dan harus melaksanakan kewajibannya sebagai istri Fathir
mulai hari ini. Aku telah melihat kebahagiaan mereka, namun disaat aku
mengatakan selamat kepada Rina dan Fathir pada resepsi pernikahan mereka
siang tadi yang kudatangi seorang diri, aku melihat sedikit genangan
air mata di mata Rina. Aku yang memegang tissue saat itu, langsung
memberikan tissue kepada Rina seraya berkata, “Na, jangan menangis, hapus air matamu, karena ini hari bahagiamu. Jangan biarkan para tamu di resepsi ini melihat tangismu”.
“Aku berusaha Za. Aku mohon maaf padamu atas kesalahanku. Aku menangis karena aku masih sangat mencintaimu”.
Sungguh, terharu ketika kudengar kata cinta itu dari bibir Rina yang
sempat ia bisikkan di telingaku sebelum aku meninggalkan pesta itu.
Setelah
menyalami keduanya, aku pun pulang ke rumah. Tak terasa aku menitikkan
air mataku di dalam kamar. Aku tahu, lelaki tak boleh menangis, namun
saat-saat sendiri seperti ini adalah saat yang tepat untukku tumpahkan
sesak di dadaku apalagi tadi aku melihat Rina dan mendengar kata cinta
darinya.
***
Setahun setelah hari pernikahan itu, aku menerima SMS berupa kata-kata perpisahan dari Rina yang tak dapat ku balas lagi.
“Za,
hari ini aku berangkat ke Australia, menemani suamiku yang akan
melanjutkan pendidikannya. Mungkin di ulang tahun kelima putraku nanti,
aku baru kembali ke kota ini.Do’aku untukmu Za. Segeralah cari
penggantiku ya Za, menikahlah. Salam sayang, Rina”
Seusai membaca SMS dari Rina, aku mencoba menghubunginya namun nomornya sudah tidak aktif lagi.
***
Aku
berpikir, mungkin Tuhan telah mempersiapkan jodoh yang lebih baik dari
Rina untukku. Namun aku tak mau terburu-buru, aku harus sesegera mungkin
menyelesaikan pendidikan strata s1 ini sambil tetap menjadi penyiar
radio saja. Setelah itu, aku baru akan menikah jika Tuhan memberikan
jodoh untukku sebelum aku pergi juga ke Australia, bukan untuk
mengganggu Rina tetapi untuk melanjutkan cita-citaku yang juga diketahui
oleh Rina. Atau mungkin, di Australia nanti aku akan menemukan calon
istriku. Tak ada yang tahu rahasia Tuhan. Semoga Dia memberikan yang
terbaik untukku. Amin.
- TAMAT
0 komentar