Semakin
hari, semakin heran ketika kutatap langit di kotaku. Entah oleh sebab Global
warming yang efeknya sepintas masih terasa, cuacapun menjadi tak
menentu. Seperti pagi tadi, akibat hujan semalam, mampu melumpuhkan hampir
semua aktifitas, dari pagi sampai sore tadi. Seketika, cuacapun cerah sampai
malam ini. Seperti itulah perubahan yang siap mematuk kita, kapan saja, bahkan
oleh negeri melati ini. Negeri yang terkenal dengan keramahan individunya
ketika berinteraksi. Namun, terdapat ribuan, bahkan jutaan klausul yang siang
telanjangi negeri yang tengah berkembang ini.
***
Dimulai
dari para mahasiswa. Kaum terpelajar yang melakukan demonstrasi menolak ini dan
itu yang ingin diberlakukan oleh pemerintah. Kalau demonstrasinya dengan aksi
damai, akupun setuju. Tapi kalau sudah merusak infrastruktur suatu tempat,
bagaimana? Mesti didiamkan? Terkadang kebingungan menghampiri pikiranku akan
mereka yang diam saja dengan perlakuan para mahasiswa, kaum intelek yang
kelakuannya sangat jauh dan tak mengagungkan intelektualitasnya. Mengapa tak
sedikit orang yang menyetujui hal bodoh yang mereka lakukan? Mereka yang
setuju, selalu mengajariku untuk berkaca pada kasus 1998. Mereka selalu
berbangga, oleh karena demonstrasi mahasiswa yang mengorbankan temannya, mampu
menumbangkan rezim 32 tahun itu. Dapat dikatakan hal itu wajar, mengingat
rakyatpun bosan dengan rezim KKN itu. Hm...
***
Selanjutnya,
institusi yang kerap kali melakukan kecurangan. Membela yang salah, juga
menyalahkan yang benar, hanya demi mendapat rupiah. Seperti yang kualami
beberapa waktu lalu. Aku yang hampir meregang nyawa di usia ke 22, masih juga
dituduh bersalah. Tanpa mengintrogasiku, mereka langsung meminta rupiah dari
kakakku demi menutup kasus yang hampir menewaskanku. Padahal, tanah merah itu
belum menguburku. Aku masih mampu memberi keterangan, bahwa bukan aku
yang bersalah. Namun tetap saja, aku yang harus menderita. Sudah jasadku hampir
mati, namun ternyata, naluri mereka sudah terlebih dahulu mati. Juga kasus
tilang, yang kali pertama dibebani 21 ribu, tiba-tiba kemarin, pecahan biru,
ungu dan oranye terang meluncur dengan gemulai ke tangan petugas
pengadilan.
Oleh sebab kecewa dan sakit hatiku akibat perlakuan mereka, ketika ditanya, maka aku pun balik bertanya, warga mana yang pernah benar bila membela diri di hadapan mereka? Ah... aparat negeriku! Kasusku saja tak bisa diselesaikan dengan adil, masihkah kau meminta anak negeri ini untuk mempercayaimu? Lalu kasus sang model cantik, bagaimana? Aku tak percaya, sang model yang juga manajer itu meregang nyawa akibat terseret oleh sepeda motor. Sedangkan para saksi melihat, tangan sang model dipegang oleh pelaku.
***
Lalu
mereka. Mereka yang tengah berkedudukan tinggi. Adakah mereka melihat kami,
rakyat kecil yang dengan terpaksa merelakan rupiah kami demi biaya liburan
mereka ke luar negeri. Katanya sih, demi mempelajari tata letak dan klausul
negara lain yang bagus-bagus tentunya, agar digunakan di negeri ini. Untuk apa
itu, tuan? Benarkah kunjungan Anda sekalian, memang murni demi memperjuangkan
hak kami, rakyat kecil yang terlanjur berharap pada kursi empuk kepemimpinan
kalian?
Jika
memang benar, mengapa masih banyak anak sekolahan yang mesti berenang di sungai
demi sampai ke sekolahnya? Lalu, mengapa sekolah mereka mudah rontok? Mengapa
Tuan?
Anda
pasti menjawab, dananya sudah diberikan pada dinas setempat. Lalu saya
bertanya, ke mana rupiah itu mengalir? Adakah sepenuhnya demi anak bangsa,
generasi muda, penerus kalian semua yang sebentar lagi akan meringkuk di liang
lahat? Apa malah telah disunat ke sana ke mari dan tinggal persenan kecil untuk
mereka, bocah tak berdosa yang harus merelakan dana yang demi mereka, kalian
gunakan untuk korupsi. Korupsi berjamaah!
Setiap
menjelang pemilu, wajah-wajah tak berdosa kalian menghiasi kota, bahkan sampai
ke pelosok desa. Kalian minta dipilih dan mengiming-imingi kami yang tak
mengerti kejamnya perpolitikan negeri akan stabilitas regional yang terjamin.
Sekarang mana??? Kedelai saja mesti diimpor!
Ah...
Lelah kulihat kalian. Lagak kalian bagai peri, malaikat pelindung kami.
padahal, kalian menggerogoti tubuh kami. Kalau sudah begini, adakah gunanya
kalian duduk di dewan terhormat itu? Sudahkah kalian menjadi sosok Superman
bagi kami? Di mana nurani kalian saat memandang kami yang tak
bermewah-mewahan seperti kalian? Adakah kalian peduli?
Namun,
bagaimanapun juga, gunanya institusi yang dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari
Timur itu, makin menunjukkan kredibilitasnya. Terbukti dengan semakin banyaknya
koruptor, dari segala institusi, duduk di kursi pesakitan.
***
Belum
lagi ormas itu. Ormas yang entah bagaimana, miliki banyak pendukung. Kalau aku
protes, pasti dengan sigap, pendukung kalian mengata-ngatai aku, "ah...
kau tak tahu diri. Negeri ini telah banyak dibantu oleh mereka. Dana yang tak
sedikit mereka berikan demi memperbaiki kampungmu yang telah digagahi oleh
Tsunami."
Oh,
Ok... Aku sadar, aku tak buta. Mata telanjangku melihat bahwa mereka telah
banyak membantu. Lalu, dengan memandang hal itu, aku tak boleh protes akan
segala tindak tanduk mereka yang katanya menegakkan 'amar ma'ruf nahi mungkar'
tapi dilakukan dengan kemungkaran. di mana nurani mereka yang menghalalkan
segala cara, merusak sana-merusak sini hanya demi kebaikan dan syurganya.
Memangnya Tuhan tak melihat tindakan mereka? Memangnya Tuhan merestui kerusakan
yang mereka sebabkan? Dan kalian, betapa sempitnya pikiran kalian, jika kalian
merestui perbuatan sia-sia mereka!
***
Aku
bukanlah orang pintar dan suci, tentunya aku tak pantas berbicara tentang
kalian semua. Aku hanya si bodoh dan lugu, yang selalu setia menjadi penonton
sekaligus korban kalian, baik korban materi, fisik juga psikis. Aku hanya
satu, dari penduduk negeri berdaulat ini, yang mungkin mudah terenyuh melihat
ketidakadilan bahkan kebengisan membunuh mental anak negeri, penerus kalian
yang sebentar lagi mati.
Ah... Betapa sensualnya negeri ini. Seluruh dunia akan memandang negeri ini, negeri para dermawan yang rela dibodoh-bodohi oleh kalian, pelaku kebobrokan negeri ini.
Aku kejam? Ya... Katakanlah tulisanku ini kejam. Lalu, apa
bedanya dengan kalian? Kurasa, kekejamanku tak ada apa-apanya dibandingkan
perlakuan kalian pada republik ini.
0 Komentar