Nembak Cowok, Praktek Emansipasi yang Kebablasan!
Memiliki perasaan suka (baca: cinta) terhadap lawan jenis adalah hal yang sangat wajar yang dimiliki oleh seorang manusia. Di mana biasanya dimulai setelah beberapa kali perkenalan langsung yang diikuti dengan intensnya komunikasi diantara keduanya. Apalagi untuk di zaman yang teknologinya sudah canggih seperti sekarang, di mana keakraban itu bisa dilewati dengan mudah. Seiring banyaknya media sosial maupun fitur chatting di berbagai smartphone, kemudahan itu seakan memberi peluang lebar untuk merasakan sekaligus menikmati si virus merah jambu ini. Setelah dirasakan cukup dekat, barulah seorang laki-laki menyatakan cintanya kepada perempuan yang disukainya. Ya, hal ini wajar dong, toh sudah kodratnya cowok nembak cewek. Lalu, jika hal sebaliknya terjadi, bagaimana?
***
Tentang cewek nembak cowok ini yang kembali mengusik perhatian saya sejak dua hari yang lalu dan jujur saja ini membuat saya tersenyum sendiri sampai saat ini. Pasalnya, seorang adik perempuan menghubungi saya via whatssapp dan mengatakan bahwa dirinya tengah galau akibat mencintai seorang lelaki yang ternyata telah memiliki seorang kekasih.
Awalnya, saya hanya mengatakan bahwa untuk dilupakan saja. Setelah sang adik berkata sulit, lalu sayapun menyarankan untuk pelan-pelan saja. Kemudian sang adikpun akhirnya mengatakan bahwa, “pas aku bilang suka, baru dia jujur kalau dia udah punya pacar, kak.”
Betapa terkejutnya saya membaca pesannya yang mengatakan bahwa dia “nembak” lelaki itu. Setelah saya tanyakan alasannya, ia berkata bahwa tak sanggup lama-lama memendam cintanya ke si lelaki. Karena menyimak pengakuan si lelaki yang mengatakan bahwa telah menganggap adik saya ini sebagai saudara, iapun hanya bisa menangis. Menangis karena malu, “udah aku yang nembak, ditolak pula. Gimana cara lupainnya, kak?” tanyanya.
Saya juga bingung jawabnya harus bagaimana. Kebetulan saya teringat akan cerita seorang kakak bahwa, jangan dilupakan. Mengapa? sebab semakin berusaha untuk dilupakan, maka akan semakin sakit rasanya. Ya sudah, daripada bingung, ya saya bilang gitu saja ke si adik. Dia bilang sih, akan dicoba.
Adalah hal yang menggembirakan bila pernyataan cinta tadi diterima oleh sang target (laki-laki), jika ditolak? Hasilnya tak jauh beda dengan yang dialami oleh adik saya tadi, lho! Di mana dia malu sendiri akan “kebodohan” yang ia lakukan. Lalu ia juga menangis dan kata move on pun sampai ia lupakan. Malah ia sempat berujar, “biarin ajalah dia sama pacarnya, tunggu aja sampai putus.” Duh,,, iya kalau putus, kalau ‘gak, gimana? Bukannya tambah galau nanti kamunya dik?” balas saya. intinya sih seperti yang kakak bilang tadi, jangan berusaha dilupakan, karena kau yang akan merasakan sakitnya sendiri. Santai saja. Kalau jodoh juga ‘gak kemana, toh?” kata si kakak yang sok kuat ini ke adiknya.
*
Banyak yang mengatakan, untuk zaman maju seperti sekarang ini, jangankan laki-laki, perempuanpun bisa menyatakan cintanya kepada laki-laki yang disukainya. Terlebih, dengan perangkat smartphone dan social media yang ada. Apalagi, sekarang zamannya emansipasi di mana, perempuan berhak menyuarakan suaranya. Emansipasi? Emansipasi ini yang kerap menjadi alasan bagi kebanyakan perempuan timur, seperti kita yang berdomisili di Indonesia memilih untuk “nembak” cowok. Adanya kalimat, “bilang aja, dari pada hatimu sekarat sendiri”, agaknya menjadikan nembak cowok ini menjadi “legal” untuk dilakukan.
Memang benar, tak ada hukum negara yang mengatakan bahwa seorang perempuan akan dipenjara karena menyatakan cintanya terlebih dahulu kepada lawan jenis. Jangankan hukum negara, saya rasa, hukum agamapun rasanya tak ada yang akan mengatakan perbuatan ini salah. Bahkan ada juga yang mengatakan bahwa dahulu, ibunda Siti Khadijah yang melamar Rasulullah Saw. Dengan adanya alasan-alasan di atas, perempuan tadi berani mengungkapkan perasaannya kepada lawan jenis.
Memang tidak ada yang salah dengan ungkapan cinta ini, toh juga tak ada salahnya membicarakan fakta/kejujuran. Namun, di mana rasa malu bila sebagai perempuan yang biasanya menunggu didatangi, malah mendatangi laki-laki?
Menurut hemat saya sebagai perempuan timur, rasa malu kerap menjadi halangan untuk saya memproklamirkan apa yang saya rasakan kepada lawan jenis. Ya… seperti perempuan kebanyakanlah, yang masih menggunakan cara-cara konvensional di mana ia lebih sanggup memendam perasaannya ketimbang harus menanggung malu akibat pernyataan cintanya itu ditolak oleh sang target.
Banyaknya persentase kelahiran perempuan dibandingkan laki-laki, terkadang menjadikan alasan lain untuk si perempuan ini “unjuk gigi”. Unjuk gigi. Hm… Untuk perpolitikan negeri ini, saya juga amat mendukung semangat emansipasi ini, dimana untuk zaman sekarang, peran perempuan untuk menjadi politikus semakin diperhitungkan. Toh faktanya, banyak perempuan yang melenggang ke senayan atau menjadi pejabat di daerahnya masing-masing.
Perempuan yang menjalankan semangat emansipasi ini akan lebih tampak elegant jika kita sendiri sebagai perempuan lebih mampu menyeimbangkan antara penggunaan logika dan etika kita bila akan berkreasi untuk memajuankan kepentingan diri, lingkungan, dan sosialisasi menjadi pribadi yang mampu menyetarakan diri si perempuan ini dengan laki-laki, bahkan ke kancah dunia politik. Namun kalau untuk masalah hati? Rasanya, tak layak jika menempatkan masalah hati ke dalam suatu tatanan emansipasi.[]
0 komentar