Kesejahteraan Rakyat dan Infrastruktur Daerah Aceh Lebih Penting Ketimbang Wali Nanggroe!
Oleh karena kerasnya keinginan pemegang perpolitikan di Aceh, akhirnya tanggal 16 Desember 2013 kemarin, telah terjadi sejarah baru bagi Provinsi Aceh dibawah kepemimpinan Gubernur dan wakilnya yang terpilih sejak 9 April 2012 yang lalu. Setelah dilantik oleh Ketua DPRAceh, Hasbi Abdullah dan mendapatkan gelar Al Mukarram Maulana Al Mudabbir Al Malik, prosesi pengukuhan Malik Mahmud Al-Haytar untuk menjadi Wali Nanggroe ke-IX telah terlaksana di Gedung DPRAceh.
-
Sejujurnya, kejadian kemarin menyimpan duka tersendiri bagi penulis, dikarena adanya sejumlah dana yang sangat besar yang terbuang percuma bagi terselenggaranya upacara yang sampai saat ini, paling tidak menurut penulis adalah suatu kesia-siaan. #miris
Beberapa hari yang lalu, ibu penulis baru saja pulang kampung ke Banda Aceh dan Bireun. Sejauh penglihatan beliau, infrastruktur di sepanjang jalan menuju kampung kami, mengalami kerusakan di beberapa titik. “Taxi yang kami tumpangi, hampir terbalik. Alhamdulillah masih diberi kesempatan hidup.” ujar mama.
Wow!!! Tentunya ini sangat beresiko kecelakaan bagi pengguna jalan lintas yang sejatinya memang tak pernah sepi dari berbagai kendaraan seperti Truk penyuplai bahan kebutuhan pokok, Bus Besar, Taxi, Mobil Pribadi, bahkan Sepeda Motor yang berisikan manusia.
Alasan penulis mengatakan pengukuhan ini hanya kesia-siaan karena seharusnya uang yang ada itu, dipergunakan untuk perbaikan ini yang menyangkut nyawa seluruh rakyat Aceh, bukan malah difoya-foyakan untuk kesenangan sesaat demi seorang Wali Nanggroe.
-
Upacara yang dikabarkan telah menelan dana sebesar Rp 2,4 Miliar tersebut, pada awalnya direncanakan akan mengundang Presiden SBY, menteri Dalam Negeri dan sejumlah tokoh yang terlibat dalam penandatanganan MoU di Helsinki, Finlandia. Kepala Dinas Keuangan Aceh, Paradis mengatakan, “Dana sebesar itu tidak habis semua, kita akan berusaha sehemat mungkin.”
Pemerintah dan DPRAceh boleh berbangga diri mengatakan ini dan itu, tapi pemerintah pusat yang belum menyetujui adanya Lembaga Wali Nanggroe (LWN) ini tak hadir dalam upacara itu.
Menurut Kepala Biro Hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakhrullah, Kemendagri memang memperoleh undangan untuk ikut menghadiri acara tersebut. Namun, Pemerintah melarang (pelantikan Wali Nanggroe). Pemerintah belum mengizinkan pelantikan dan tidak akan menghadirinya karena pihak Kemendagri belum mendapatkan hasil perbaikan atas klarifikasi yang diberikannya atas Qanun Nomor 8 Tahun 2012 tentang Lembaga Wali Nanggroe.
Lebih lanjut dikatakan Zudan, jika Pemprov Aceh bersikeras mengalokasikan anggaran operasional Wali Nanggoe dalam APBD 2014-nya, maka pihaknya tidak akan segan-segan mencoretnya.
-
Sampai saat tulisan ini ditulis, masih merupakan tanda tanya besar bagi diri penulis pribadi dan masyarakat Aceh yang menolak adanya pengukuhan ini. Bagaimana bisa mereka bersenang-senang di atas penderitaan rakyat? Padahal untuk tahun 2013 ini, Provinsi Aceh termasuk dalam 10 Provinsi termiskin se-Indonesia.
Jika tak dicabut jabatan pemangku Wali Nanggroe dan pemerintah pusat tak mengalokasikan dana APBD 2014 bagi Wali Nanggroe, kasarnya dapat dikatakan, Malik Mahmud Al Haytar ini, makan apa? Lalu, jikapun dana yang diberikan pusat kepada Pemerintah Aceh demi kesejahteraan rakyat, apakah benar-benar akan digunakan untuk rakyat? Mengingat kosongnya dana untuk Wali Nanggroe, Bukannya malah diselewengkan dana ini oleh Pemerintah Aceh sendiri? Katakanlah penulis berpikir kejauhan. Namun apapun bisa terjadi, bukan? Ini alasan lain lagi mengapa penulis katakan pengukuhan ini adalah sebuah kesia-siaan.
_
Seperti dikatakan oleh Hasbi Abdullah, Wali Nanggroe ini diibaratkan sebagai sebagai langit yang mampu melindungi seluruh persada Aceh dari berbagai pengaruh negatif yang dapat merusak keharmonisan kaum di Tanah Aceh.
Ini juga yang terutama masih mengganjal, melidungi Aceh dan menjaga keharmonisan yang bagaimana yang dimaksud? Sedangkan, penolakan terjadi di mana-mana.
Selanjutnya, benarkah wali nanggroe ini benar-benar untuk seluruh rakyat Provinsi Aceh tanpa kecuali? Padahal realitanya, mereka yang telah datang jauh-jauh ke Banda Aceh kemarin, tak dapat mendekat ke lokasi acara. Muhammad, warga Pase, Aceh Utara, mengatakan, “Capek datang jauh-jauh, tapi enggak bisa masuk.”
-
Ada ungkapan keheranan dari teman penulis yang merupakan anak Aceh yang selalu memantau perkembangan kampung halamannya walaupun ia tengah menempuh pendidikan di Jerman. Ia sempat berkata, “kalau memang benar-benar telah bersatu dengan Indonesia, mengapa harus ada Bendera, Lambang dan Wali Nanggroe?”
Sungguh, ini menjadi kesedihan tersendiri bagi penulis melihat situasi perpolitikan di Aceh pasca-MoU Helsinki. Tadinya penulis pikir, penandatanganan perdamaian itu bisa membawa kedamaian dan benar-benar bersatu tanpa adanya beragam perbedaan. Nyatanya, kesinergian yang penulis harapkan, tak terlaksana secara maksimal dikarenakan belum ada kata sepakat dari kedua belah pihak dalam permasalahan Bendera, Lambang, juga Wali Nanggroe.
Presiden, Mentri Dalam Negeri dan beberapa tokoh perdamaian MoU memang tak menghadiri upacara itu. Namun, melalui Mentri Pemberdayaan Aparatur Negara, Azwar Abu Bakar, lewat telepon dengannya, presiden mengatakan bahwamenunggu Wali Nanggroe di Jakarta.
-
Wacana pelantikan ini telah lama bergulir, namun karena belum memperoleh hasil konkretnya, keinginan yang begitu membuncah harus tersalurkan dengan segera sebelum tahun 2013 ini berakhir. Kita lihat saja nanti, apakah seorang Wali Nanggroe yang dilantik secara ilegal ini mampu bertahan di atas penderitaan seluruh rakyat Aceh? []
0 komentar