Pacar Sehariku Ternyata Psikopat
gambar
dari : mynameishasna.wordpress.com
*
“Sebabmu,
aku membenci perempuan. Jua olehmu, beberapa perempuan telah kusakiti. “
Ucapnya malam itu. Aku terkejut, lalu bertanya, “Maksudmu apa?”
“Ya...
Kamu meninggalkanku dan menolak tawaran bertahan bersamaku dan juga menikah di
tahun kelima jalinan cinta kita.” Jawabnya.“Wah... tawaranmu saat itu memang
kutolak, bang. Aku punya alasan.” Sergahku.
Tanpa
menunggu jawabanku, Ia pun berkata, “Aku ‘gak peduli. Yang penting dendam dan
sakit hatiku kepada perempuan setelahmu, terbalaskan.”
Sebab
ketakutan, aku pun mengatakan bahwa aku harus tidur, karena ini sudah larut.
Dan tak lama, teleponpun ditutup. Aku tidur? Tidak. Malah aku semakin ketakutan,
dan berujar sendiri, ‘Dasar psikopat. Mengapa sempat kukenal kau,ya?” Bisikku
dalam hati.
Namanya
Rian. Seorang WNI keturunan Arab yang memang sangat aku inginkan, kini. Namun,
seandainya saja saat itu dia tak berulah dan berujar macam-macam, aku juga tak
mau meninggalkannya.
*
Saat itu,
aku masih duduk di bangku sebuah SMA negeri di kotaku. Kebetulan, sekolah ini
adalah sekolah favorit yang banyak dihuni oleh anak orang kaya yang bisa dengan
mudahnya mengaktualisasikan dirinya. Selain kaya, mereka juga pintar. Seperti
mantan pacar yang tak pernah aku sukai. Ia mengikutiku ke SMA ini, namanya Abi.
Selama di SMA, aku berusaha menghindari Abi. Ah... kasihan dia. Padahal dia
cukup pintar dan juga anak orang kaya. Namun, inilah aku. Bila aku tak suka,
aku akan terang-terangan mengatakan kepada si lelaki, termasuk Andrian.
*
Namanya
Rian. Lelaki yang lebih tua tujuh tahun di atas usiaku yang saat itu masih
belasan tahun. Lelaki yang entah dari siapa mengetahuiku. Lelaki gila yang
menyukaiku. Kenapa kukatakan demikian? Tentunya, aku memiliki alasan kuat. Aku
tak mengenal latar belakangnya. Bisa saja dia psikopat murni atau apapun itu
namanya. Bagaimana tidak? Tiba-tiba sesosok cungkring itu menikmati tubuhku
dari kejauhan. Dan tiba-tiba, menghubungi nomor telepon rumahku. Dendangan
kalimatnya, seperti polisi.
Setiap aku
pulang sekolah, setiap sore juga tak ketinggalan malam hari, dia selalu
menghubungiku. Berhari-hari hingga aku muak. Kerap kumarahi dia, namun tetap
saja tak berguna bagi sang pecinta perempuan ini. Perempuan enam belas tahun
yang masih teramat lugu dan tak mengerti fungsi pacar. Kalau mengerti, tak
mungkin kutolak si kaya dan pintar, Abi.
*
Tiada hari
tanpa telepon darinya. Hingga suatu hari, ibuku mengintrogasiku. “Nak. Siapa
itu yang sering telepon? Katanya namanya Rian.”
Bagai
petir di siang bolong, pertanyaan ibu mengejutkanku yang baru pulang sekolah.
Berusah sesantai mungkin, lalu kujawab, “Ooo.. teman.”
“Teman
gimana? Dari mana dapat teman begitu? Kok suaranya lebih tua? Itu dia yang sering
telepon kamu tiap hari, kan?” Rentetan pertanyaan Mama ini memang menuntut
jawabanku. Ya... namanya orang tua, pasti khawatir sama bocah ingusan
sepertiku.
“Entah
siapa itu, Ma. Namanya memang Rian. Katanya dia kenal Sya dari teman sekolah
Sya. Dia sudah sering lihat Sya. Ketika berbicara ditelepon, dia juga bilang
kalau dia suka sama Sya.” Ceritaku.
“Terus,
kamu jawab apa?” lanjut perempuan yang pernah mengandungku dua puluh lima tahun
yang lalu itu.
“Sya belum
jawab apa-apa. Rencana tadi mau ketemuan di sekolah. Tapi Sya kabur, Ma.
Mungkin dia mau nanyain kenapa Sya gak nemuin dia.” Jelasku pada Mama.
*
Selepas
shalat magrib dan mengaji, tiba-tiba telepon pun berdering. Lalu, kuangkat
saja. Karena kau tahu ini dari dia.
“Ya... ada
apa?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Tadi kamu
ke mana aja sih, Dik? Abang udah nungguin lho. Pas di depan gerbang sekolahmu.”
Ucapnya.
Dengan
santainya aku menjawab, “Lupa. Sorry, ya.”
“O...
Begitu ya, Dik. Ya sudah, Please... besok kita ketemuan, ya... Abang mau kenal
kamu langsung. Memangnya kamu mau kita teleponan terus?”
“Doh...
rempong ya? Situ yang telepon, kan sini gak telepon situ.” Jawabku ringan.
“Please,
Dik.” Mohonnya berkali-kali.
“Ok, see
you and bye.” Ucapku sembari mencabut sambungan telepon rumah malam itu.
Heran
deh... nomor ponsel sudah kuberikan padanya, tapi masih saja menghubungiku ke
rumah. ‘Dasar bodoh.’ Umpatku saat itu.
*
Sepulang
sekolah, kami memang bertemu. Tuhan... Ternyata inikah makhluk yang Engkau
anugerahkan untukku setelah Abi? Baik... tampangnya memang manis. Namun,
pelajar sepertiku tentunya tak mau dengan lelaki yang lebih tua tujuh tahun
diatasku.
“Dik.
Abang gak mau banyak basa-basi lagi. Semua yang abang mau bilang, sudah abang
bilang ditelepon selama ini. Abang jatuh cinta sama kamu.” Ujarnya.
Seketika,
meledaklah tertawaku. Lalu ia bertanya, “salah ,ya? Kamu ini ada-ada aja deh.
Masa’ abang nyatain cinta, diketawain. Memangnya lucu gitu?”
“Eh, gak
lucu sih. Cuma, aku kaget aja. Gak pernah ketemu tapi sekali ketemu udah
langsung bilang suka. Sakit jiwa ini pasti, kan? Lagian, gak ada yang menarik
dariku, lho!” ucapku.
“Kamu itu
gak sadar ya kalau kamu itu manis. Mata sayumu itu bagus. Kamu pernah dengar
Love at the first sight? Inilah yang abang rasakan.” Jawabnya.
Setelah
suasana mulai mencair, iapun menceritakan bahwa dia sudah dua kali menjalin
hubungan dengan perempuan. Kedua-duanya berakhir. Yang satu minta putus karena
jarak jauh, yang satu lagi... diambil temannya. Lalu ia menanyakan kesediaanku,
tanpa pikir panjang dan terlanjur kasihan, kuterima saja.
“Ya udah
deh, aku mau jadi pacarmu, bang. Sekarang, abang pulang aja.”
Terlihat
dia tersenyum, “Makasi ya, Dik. Yuk... abang antar kamu pulang.”
“Jangan.
Gak usah. Aku bisa pulang sendiri.” Dan tak lama, iapun pergi
*
Ternyata,
hari itu adalah hari pertama sekaligus terakhir kubertemu dengannya. Tak pernah
kulihat dia hingga usiaku sudah menginjak seperempat abad, kini. Bukan kutak
mau, juga bukan kumenghindar. Namun, mungkin ini memang sudah jalan Tuhan untuk
menghindarkan sekaligus melindungiku dari psikopat seperti dia.
Tsunami
yang meluluhlantakkan kota kelahiranku, mengantarkanku untuk meneruskan sekolah
di kota lain. Saat kuliah, aku juga di kota ini. Namun, perasaan bersalahku
kepada lelaki cungkring tadi, menghantuiku selama bertahun-tahun.
Tahun
ketiga tinggal di kota ini, aku baru masuk kuliah. Keinginanku untuk menemuinya
untuk memohon maaf semakin besar seiring kepulanganku ke sana.
Singkat
cerita, setiba di sana, kuhubungi ponselnya. Kukatakan bahwa aku ingin bertemu
dengannya. Dalam pikiranku hanya memohon maaf, tak ada yang lain. namun,
mendengar pengakuannya yang telah meninggalkan perempuan yang telah
dihamilinya, juga meninggalkan perempuan lain yang akan bertunangan dengannya,
membuatku mengurungkan niatku untuk bertemu lelaki ini.
Setelah
bertemu para sahabatku di kampung, kuceritakan kronologis kejadian yang
sesungguhnya. Sahabat sekaligus teman ngopiku berkata untuk tak menemuinya
lagi. Jikalau aku ingin meminta maaf, cukup utarakan lewat pesan singkat.
Baiklah...
tiga puluh enam jam dan setelah bermain-main dengan para sahabatku, dan sudah
mengirim pesan singkat padanya, aku pun kembali ke kotaku yang sembilan tahun
terakhir kutempati ini.
Bukan.
Bukannya aku melupakan orang yang begitu baik menungguiku. Namun, meninggalkan
perempuan hamil dan perempuan lainnya yang akan bertunangan dengannya, adalah
sebuah kegilaan yang luar biasa menurutku.
Saat itu,
aku sangat ketakutan. Tak pernah kuceritakan pada siapapun tentang ini,
termasuk pada ibuku saat itu.
Dan
setelah kutanyakan pada ibu, ibu hanya mengatakan, “Sudah. Jangan pernah kamu
temui lagi dia. Benar, dia psikopat.”
*
Duh... aku
memang menginginkan pria keturunan dari Timur Tengah. Semakin hari, kegilaanku
untuk bertemu seorang dari jazirah Arab, semakin menjadi. Namun, sepertinya
memang benar, impian itu bukan saat ini terwujud.
Sejak
kuputuskan untuk meninggalkan Rian, memang telah banyak lelaki yang masuk di
hidupku. Aku tak pernah bermain-main dengan mereka, walaupun semuanya berakhir.
Baiklah, memang semuanya berakhir. Namun, aku terus mencari hingga ke belahan
bumi manapun. Walau bukan lelaki asing, siapapun kuterima, asal baik dan setia.
Dan yang
pasti, aku ingin lelaki normal, bukan psikkopat. Lelaki baik, mampu menerimaku
apa adanya, dan mampu membimbingku menuju Jannah-Mu, juga masih selalu
kuinginkan. Aku percaya, Engkau mengabulkan do’aku. Untuk itu, aku harus selalu
optimis untuk menghadapi hariku. Dan
mimpiku bukan puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Aku yakin, Tuhan melindungiku dan
memberikan yang terbaik untukku, suatu saat nanti. Aamiin.
0 komentar