Jadi Penulis, Jangan Manja dong!
Sebagaimana yang kita ketahui, manusia adalah makhluk sosial di mana ia selalu membutuhkan orang lain, hingga pada akhirnya terjalinlah sebuah hubungan pertemanan. Melewati proses tadi itu, tentunya bukanlah hal yang mudah, bukan? Masih banyak yang harus kita lewati untuk mendapat predikat teman atau bahkan sahabat. Adakalanya, si teman ini cocok dalam segala hal dengan kepribadian kita. Namun adakalanya juga tidak. Contoh kasus, sahabat saya sendiri, Rini yang manjanya ampun-ampunan. #gemas
Suatu hari Rini ke rumah, mengatakan kalau ia baru kehilangan uang. Saya yang mengerti akan sifatnya Cuma mendiaminya sembari berkata supaya lain kali mesti berhati-hati. Tak puas dengan jawaban saya, ia pun menghampiri mama saya. “Bu, uangku hilang di kantor, entah ke mana.”
Alhamdulillah mama saya juga bukan orang yang mudah panik. Beliau hanya berujar, “coba lihat di tasmu. Kalau ‘gak ada juga, ya udahlah, di mana lagi mau dicari? Eh,,, tiba-tiba dia malah nangis. Mama saya yang tak tahu apa-apa malah jadi bingung.
Setiap orang memang adakalanya bersikap seperti Rini. Baiklah, Rini sedang mau bermanja-manjaan dengan saya dan mama. Tapi saya bilang juga saat itu, “kau ini, dikit-dikit nangis. Uang hilang nangis, berantem sama pacar nangis juga, eh pas putus nangis makin ditambah durasinya. Kapanlah kau mau tegar jadi perempuan? Masalah kecil gitu aja nangis, huh!” kesal saya.
*
Untunglah si Rini ‘gak hobi menulis seperti saya. Kalau dia menulis terus dikomentari kasar, bisa nangis lagi dia. Kan saya yang repot. #lega
Awal-awal saya bergabung di sini, saya banyak mendapat komentar “manis” dari manusia tak bertanggung jawab. Jujur saja, saya sempat down saat itu. Wajar dong… namanya newbie #senyum
Seperti Rini, saya juga sedih. Buat saya, lebih sakit ditampar ditulisan daripada langsung. #Yaiyalah… ditulisan kan mainnya langsung ke perasaan. Sempat pengen berhenti menulis sih, tapi berkat dukungan dari teman-teman, gak jadi deh. Itu sekali lho saya bilang sama teman-teman yang dekat. #jujur. Setelah itu, gak ada lagi cerita sedih-sedih dalam kamus berkompasiana saya. mau dibully seperti apapun, saya cuma berterima kasih. Paling jauh saya cuma berterima kasih buat penghinaannya.
Tapi, ‘gak pula saya mesti latah dan sedih berkepanjangan sampai buat tulisan caper (cari perhatian) dan bilang, “ini tahun terakhir saya menulis di sini. Semoga dilain kesempatan, kita bertemu lagi.” #seperti_pesan_orang_mau_meninggal
Atau, buat tulisan yang isinya mengadu sama seluruh kompasianer kalau saya baru disinggung hingga saya tak mau menulis lagi sambil menasehati juga mendeskripsikan ciri-ciri penguntit. Jiah…. perasaan dikuntit, deh kamu :P #senyum
Oiya, kita yang nulis di sini kan pakai keikhlasan hati ya… Secara, gak dibayar juga, toh? Terus, ngapain juga mesti nafsu sekali dengan HL/TA dan ter ter lainnya. Kalau tulisan kita itu bagus, pasti admin mengetahuinya kok, dan bakal menjadikan tulisan kita itu di posisi HL/ TA dsb.
Terus, ‘gak pake ngambek juga donk!!! Mau hapus pertemanan pula itu sama orang yang ‘gak pernah berkomentar ditulisanya. Lagian, mungkin bukan ‘gak mau komentar, kok… Mungkin, akibat kesongongongan kita sendiri, jadi orang malas deh mau komentar. Jangankan komentar, vote aja malas deh! Terus kita buat tulisan ngadu-ngadu gitu? #childish
*
Gini deh, kalau boleh saya memberikan opini kepada yang merasa “dikuntit”, biarlah mereka yang “menguntit” kita berkreasi dengan manisnya. Kalau mereka mengkritik, ya diucapkan saja terima kasih. Kalau diajak bertukar pikiran sekali dua kali, saya rasa tak masalah, monggo dilayani saja. Tapi kalau udah menjurus ke debat kusir, lebih baik menyingkir. Bukan karena takut, lho! Cuma ngapain sih berseteru di dunia maya? Paling, yang berkomentar kasar itu jadi berani Cuma karena dibatasi layar PC/HP. Coba diajak kopdar? #nantangi. Mana berani dia kopdar… hihihi.. alasannya ‘gak sempatlah, banyak urusanlah, and bla.. bla…
Menjadi seorang penulis itu jangan songong, sombong, dan merasa tulisan kita itu udah akurat 100%. Mana ada sih manusia yang sempurna? Cuma Tuhan yang sempurna.
Kalau diberikan masukan atau dinasehati, seperti apapun bentuk penyampaiannya ya diterima saja. Kalau kita belum mengerti maksudnya, ya ditanya lagi maksudnya. Soal dijawab atau tidak, itu kan hak si komentator. Kalau tidak dijawab, coba dibanting-banting logikanya biar bisa belajar berpikir, biar lama-lama jadi kritis.
Kita yang memutuskan untuk berani terjun menulis di dunia maya ini, berarti sudah mengetahui perilaku para penulis dan komentator. Kalau disinggung ya JANGAN MANJA dong! Apalagi sampe buat tulisan “ini tahun terakhir saya menulis” atau teriak-teriak bilang, “woy… saya dibully. Saya minta dukungan semua kompasianer.” #lebay.
Toh yang menulis di sini bukan balita lagi, kan?
Last but not least, Konsisten. Kalau kita memang sudah hobi menulis, sudah pasti tangan itu kan gatal kalau tidak menekan keyboard PC/HP. Ya sudah, tak perlulah membuang waktu untuk berteriak-teriak ke sana ke mari cari dukungan. Nulis ya nulis aja, tetap konsisten sama hobi yang kita miliki itu, tentunya pakai logika yang dibenturkan sama perasaan. Simple!
Begitu juga tugas komentator, hati-hati kalau berkomentar. Soalnya kan tak semua orang berpikiran sama. Bisa saja, waktu dikomentari, si empunya tulisan “tersentuh” dan malah berember-ember airmatanya dan nulis curhatannya panjang lebar. Who knows? []
0 komentar