Kasus Perzinahan di Aceh, Pelajaran untuk Netizen “Malas”
Saat online tengah malam (7/5/14), seperti biasa, selain facebook dan kompasiana, saya juga bermain di twitter. Saat tengah saling berbalas mention, tanpa sengaja, saya melihat salah satu berita dari kompas.com yang berjudul awal, Diperkosa 8 Orang, Wanita Ini Akan Dicambuk Polisi Syariah.
Jujur saja, melihat judul yang saya yakini akan menjadikan Aceh menjadi sorotan lagi itu, saya terkejut dan me-retweetnya sbb:
Kenapa saya spontan berkomentar demikian di retweet-an saya itu? Sebab saya sudah tahu dan merasa bahwa nanti akan ada kekeliruan (baca: salah tafsir) disebabkan pemilihan judul awalnya itu yang menurut hemat saya akan memancing konflik sosial kedaerahan dari banyak pembaca yang MALAS membaca keseluruhan isi berita.
Sebagaimana yang kita ketahui, kebanyakan masyarakat kita, seolah-olah dukun/peramal, yang merasa sudah tahu isi berita dari HANYA membaca judul, belum lagi yang memang sengaja tendensius. Padahal, terkadang, judul yang dipilih hanya agar menarik. Dan untuk berita diatas, dijelaskan apa yang tejadi.
Mungkin, karena hanya demi mengejar rating sehingga penulis, bahkan editornya kurang cermat dalam menyajikannya. Untuk lebih jelas, silahkan baca tulisan Kakanda Zulfikar Akbar, kemarin.
*
Tak hanya orang biasa, bahkan seorang Ulil Abshar @ulil dan sang sutradara @jokoanwar juga bisa terseret ke “keramaian” ini akibat tak teliti tadi. Namun, tak lama kemudian, @ulil pun menuliskan sbb:
Namun, sejauh pantauan saya dan beberapa pengguna twitter dari Aceh, sampai pukul 03.00 pagi, @jokoanwar belum mengkonfirmasi tweet menyesatkannya itu, sampai ada yang seperti ini:
Dan akhirnya, keesokan paginya @jokoanwar pun meminta maaf atas kesalahannya.
Hemat saya, ini adalah keterlambatan. Namun, karena kebanyakan orang tak mau memperpanjang, maka masalah itu selesai. Seperti yang dikatakan @IndieGem :
*
Saya kira, selesai saat itu dan cukup melegakan saya. Ternyata, ketika saya buka berita dari tempo.co dengan judul Hukum Syariah Aceh Disorot Media Internasional.
Pada tulisan di Sidney Morning Herald (SMH) tersebut, saya rasa, ada sedikit kekeliruan dan berdampak bagi opini masyarakat luas baik dalam-luar negeri terhadap Aceh lagi. Silahkan disimak kalimat berikut, “Perempuan juga diharapkan untuk menutup rambut mereka dan pasangan muda yang belum menikah tidak diperbolehkan duduk bersama di depan umum, takut perasaan seksual akan muncul.”
Tulisan yang saya cetak tebal itu, selayaknya dapat saya komentari bahwa Pasangan muda (baca:pacar) itu, jangankan di Aceh, diluar Aceh pun tidak akan melakukan apa-apa bila di depan umum. Yang namanya di depan umum, hemat saya, perasaan seksual apalagi sampai bermesum ria, tidak akan mungkin dilakukan, namanya juga di depan umum. Yang ada, bila mereka melakukan macam-macam (aktifitas seksual), mereka akan menghadapi sanksi sosial. Yaiyalah…. siapa juga yang mau “ngapa-ngapain” di depan umum/publik/orang banyak.
See? Kalimat itu begitu rancu. Kembali lagi, masyarakat kita yang tidak mau banyak berpikir, pasti langsung IYA begitu disodorkan berita itu, apalagi orang-orang yang mendewakan luar negeri. Lalu dampaknya? Lagi-lagi, aceh yang disorot tajam.
*
Mengenai kasus tersebut, sampai hari ini (9/5/14) ada pertanyaan yang saya baca di facebook, “kenapa nggak diberlakukan qanun juga kepada pemerkosa, sebab pemerkosa adalah merampas harga diri wanita tersebut sedangkan zinah adalah mau sama mau… atau jangan-jangan hukum qanun itu hanya untuk perzinahan saja dan khususnya untuk kaum perempuan saja?”
Di sini saya coba jelaskan, tidak ada perbedaan perlakuan hukum hanya karena jenis kelamin. Seingat saya, semua manusia adalah sama haknya di mata hukum dan pemerintahan. Jadi, jangan khawatir. Karena Aceh ada di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kasus pemekosaan itu merupakaan delik pidana, maka hukuman bagi pemerkosa, pasti ada dan menjadi hak dan tanggung jawab polisi setempat.
Sementara Perempuan itu, dihukum dengan Qanun yang berlaku di Aceh (jangan lupakan otonomi daerah) karena alasan perzinahan. Hukuman tentang perkara mesum ini diatur dalam Qanun Aceh Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat/Mesum.
Sedikit kembali ke twit “panas” @ulil dan @jokoanwar, saya hanya ingin mengatakan, di zaman yang serba canggih ini, pemikiran kita TIDAK boleh sempit. Kalau pikiran kita sempit, apalagi sampai menyampaikan informasi yang salah kepada orang lain, kita malah akan menerima boomerang, lho!
Walaupun kasus pencemaran nama baik tersebut sudah selesai, namun tolong, jadikan kasus itu sebagai pelajaran bagi netizen yang MALAS membaca. Jangan hanya pasrah dan terpancing dengan judul dari media yang sengaja dibuat bombastis.
Tulisan ini bukan disebabkan hanya karena saya bersuku Aceh, namun lebih kepada agar kita tidak sembarangan mendiskreditkan juga berpikiran negatif kepada orang/tempat/ suku bahkan agama lain jika mendapati sebuah berita. Karena sejatinya kita tak tahu apa-apa tentang daerah lain.
Jadi, dari pada salah omong dan tambah dosa akibat MALAS tadi, baiknya langsung observasi langsung, seperti yang saya lakukan saat saya pulang kampung ke Aceh, beberapa minggu yang lalu, mungkin akan saya ceritakan lain waktu. [AZ]
*
Beberapa SS gambar dari sini
0 komentar