Aku Rindu (2)
Bulan Juli ini adalah ulang tahunku. Orang bilang, aku
sudah cukup matang menjadi perempuan dan sudah harus menikah. Namun aku
bisa apa saat hatiku telah seutuhnya dimilikinya. Aku tak ingin
mengorbankan orang lain untuk membina cinta denganku sementara yang
kulakukan akan membebani diriku dan orang tersebut. Aku tak ingin menikah dengan orang yang tak kukenal secara baik. Aku takut. Lagi pula, aku sudah sangat nyaman dengan kehidupanku. Errr... Lebih tepatnya, posisiku di hati lelaki yang sudah tiga tahun ini menjadikanku perempuan keduanya.
*
Malam ini, kami akan bertemu. Segera kusiapkan diri dan, ya... sedikit upacara penyambutanmu di rumahku. Dari pintu depan, kamarku, dapur, hingga kamar mandi, kutata seindah mungkin untukmu. Aku tahu dia menyukai harum mawar dan melati hingga tak sekali kau memakai parfumku. "Kekasih, aku ingin kau bermalam di sini lagi, mungkin seminggu ke depan atau selamanya. Namun, apa daya bila kehadiranmu juga dibutuhkannya?" gumamku sendiri.
Tepat pukul 7 malam, suara sepeda motormu memasuki gerbang. Lamunanku buyar, kau kini tepat berada di hadapanku. Aku tak kuasa menolak menerima rengkuhanmu, "Aku sangat merindukanmu, Kasih. Kuharapkan rasa itu juga berada di hatimu."
"Setiap saat, buih rindu menerpaku tanpa permisi. Tanpa henti gelombangnya tak
jarang merusak pertahananku. Namun apa daya kala tak terungkap di
hadapmu? Kau tahu pasti, aku tak bisa lama menatapmu di depan orang lain. Saat melihatmu, rasanya aku ingin memelukmu," jawabku menyembunyikan wajahku di dadanya.
Dia diam namun semakin memperat pelukannya, tak jarang mengecup kening dan pipiku berkali-kali. "Tenang saja, aku masih mampu mengunci rapat-rapat tentangmu", kataku lagi.
"Di balik kebisuanku, aku juga masih
menyimpan namamu, tak hanya di pikiran, namun juga erat di hatiku. Rindu yang kau rasakan, sama denganku. Percayalah, Kekasih. Rindu yang dipendam pertanda cinta
yang dalam," katamu menatapku dalam.
Sungguh pernyataannya membuatku perih, "Hei, kau tahu aku membutuhkanmu. Kuyakin tak cuma aku yang memiliki bahan
obrolan denganmu."
"Aku
mengenalmu. Aku tahu kau membutuhkan hadirku, sebab hanya aku yang
mengerti jalan pikiranmu. Aku memantaumu dari kejauhan. Tak jarang aku menyebut namamu dalam hati walau saat sedang bersamanya. Namun aku bisa apa?" tanyanya dengan sedikit parau.
"Sudahlah, aku selalu mencoba diam. Tak menegur bahkan tak mengusik hubunganmu dengan dia. Aku sadar posisiku," aku melepaskan pelukannya dan menariknya ke ruang keluarga.
Saat aku menuangkan teh kesukaannya, dia membuang pandangannya. "Sudah kukatakan berkali-kali, lepaskan aku. kau berhak bahagia. Kau berhak menemukan laki-laki lain yang tak hanya memberimu beban seperti ini."
"Aku sudah mencobanya, Sayang, Namun hatiku tak berada di situ. Saat obrolan terasa mulai tak nyambung, aku mulai gusar dan mencari alasan untuk pergi. Tak hanya satu atau dua, selalu kucoba. Namun apa dayaku jika hati dan cintaku memilihmu? Tak sekali kumohon pada Tuhan untuk menghilangkanmu dari hati dan pikiranku. Tapi apa? Sebulan kita tak saling bicara, itu sangat menyiksaku. Aku seperti kehilangan arah. Apa yang kulakukan, selesai namun tak berarti," jelasku sembari memberikan cangkir teh kepadanya.
Dia menerima teh itu, menghirup aromanya, "Seperti biasa, cuma kau yang mampu menyuguhkan teh seperti ini untukku. Kau tahu kesukaanku, teh dengan beberapa bunga melati di dalamnya, di cangkir merah-hitam ini."
"Aku berusaha memahami meski dari jauh. Saat sedang tak bersamamu, cangkir teh itu tetap berisi. Kubuatkan dan kuhidangkan teh di dalam dua cangkir. Aku membayangkan sedang berbicara denganmu, tentang apa yang kurasakan, apa yang kupikirkan. Tak hanya tentang cintaku padamu, namun juga soal memahami berita di media massa," aku tersenyum padanya.
"Tak usah kausembunyikan terus perihmu, Kekasih. Bila kau ingin marah dan menangis, lakukan. Aku di hadapanmu. Aku menerima jika kau ingin mencaci maki kelemahanku atau kejahatanku. Lakukan saja agar kau lega. Kau tak harus menutupinya saat kita bersama. Toh tak ada yang mendengar kita di sini," sambutnya.
Aku menatapnya. dua langkah ke hadapannya, tanpa bicara lagi aku langsung menciumnya. Kuluapkan marah dan sakit hatiku dengan ciuman ini sembari aku menangis. Rasanya, aku tak ingin melepas pelukannya. Aku menikmati malam ini. Aku merasa damai di dekatnya, seperti ini saja tanpa banyak bicara. Aku masih merasakan cintanya.
"Kau benar, Sayang. Rindu yang ditahan, pertanda cinta yang dalam. Aku bisa merasakanmu meski ragamu tak di sampingku. Aku bebicara denganmu, meski tubuhmu tak ada. Mencintaimu memberikanku kesempatan untuk belajar mencintai hidup. Atau ini adalah jalan Tuhan untuk membuatku sadar arti hidup. Mungkin Tuhan menyuruhku untuk membantu banyak orang tanpa jeda, tanpa memikirkan orang lain," tanpa sadar aku meracau.
"Jangan berbicara demikian. Kau berhak bahagia," katanya.
"Apalah arti kebahagiaanku jika tak bersamamu? Apalah arti menikah dengan orang lain tanpa cinta? Apalah artinya melakukan segalanya denngan orang lain sementara aku tersiksa?" aku mulai terisak.
0 komentar