Aku Rindu (3)
Malam kembali berulang. Demikian pula rindu padanya, lelaki yang sama. Rindu ini menerobos hati, buyarkan logika dan pertahanan diri. Buncahannya menggelegar, serupa madu, dia manis, tanpa terkira. Namun tetap saja, sesakkan dada tanpa jeda sebab hingga detik ini, sang Maha belum menganugerahkan dia untuk menemaniku.
*
Setelah bermalam sekira tiga hari di rumahku, dia kembali ke rutinitas hariannya, bersama perempuan itu. Seperti pagi ini, dia begitu memanjakannya. Aku melihat kemesraan mereka di ruangannya, dia yang kusebut kekasihku terlihat tersenyum. Aku mengawasinya laiknya mata-mata, walau dari balik meja berisi komputer, segala macam catatan, koran, majalah fesyen terkemuka, serta foto kami di dalam dompetku.
Perasaanku teriris setiap melihat mereka. Namun apa daya bila situasi kini, lebih memihak pada perempuan itu? Aku benci situasi ini. Aku marah, sebab tak dapat kurengkuh dia, kini, di hadapan khalayak.
Aku masih menatap mereka. Mata perempuan itu seakan melihatku seolah berkata, "Ryan adalah milikku sekarang dan selamanya. Sedangkan kau adalah perempaun selingan."
Ah... Kata-kata perempuan selingan itu benar-benar menyesakkan. Sakit sekali rasanya. Kadang, aku merasa bagai pungguk merindukan bulan. namun saat tubuhnya tepat di hadapanku, sekelebat rasa seedih dan marah, hilang. "Ah Ryan... Seandainya kau mengerti arti hadirku bertahan di kantor ini hanya karenamu," gumamku.
Baiklah, sepertinya aku harus ke luar kantor. Aku benar-benar merasa gerah di ruangan berpendingin ini. Aku butuh waktu sendiri, entah berbelanja atau sekedar minum kopi di Kafe favorit kami.
Baiklah, sepertinya aku harus ke luar kantor. Aku benar-benar merasa gerah di ruangan berpendingin ini. Aku butuh waktu sendiri, entah berbelanja atau sekedar minum kopi di Kafe favorit kami.
*
Tanpa berpamitan apalagi mengajak siapapun, tepat pukul 12.00 siang, aku sudah sampai di salah satu toko buku. Kupikir dengan alunan Saxophone dari lagu-lagu Kenny G, bisa sedikit mengurangi kepenatanku.
Aku menuju rak buku-buku Filsafat. Membaca lembar demi lembar tentang tokoh-tokoh filsafat, membuatku teringat lagi padamu. Kau yang mengenalkan nama-nama mereka padaku, juga menjelaskan ide-ide cemerlang mereka. Entah sebab terhipnotismu, filsafat ini menjadi menarik bagiku, sepertimu yang sehari-hari kudalami, sejak hampir empat tahun terakhir.
Pembicaraan kita masih teringat jelas di ingatanku. Terlebih soal sabar dan mencari lelaki baru penggantimu. Namun entah apa salah mereka padaku, hatiku masih menolaknya. Namun kuyakin, aku tak pernah keliru dalam memilihmu.
Seperti kemarin malam, rindu kita masih terasa hingga siang ini, kau mengirim pesan ke ponselku, "Kau di mana? Mengapa tak terlihat di kantor? Di manapun kau berada, semoga kau masih mencintaiku seperti malam-malam kemarin. Terima kasih telah membuat tiga hari di akhir pekan kemarin tak membosankan. Aku merasa bebas dan benar-benar hidup bila sedang bersamamu. Rindu ini masih banyak untukmu, tanpa pernah kubiarkan berjeda."
"Aku di toko buku. Membaca karya-karya Plato hingga Ibnu Sina. Kurasa ini bisa menjadi pembicaraan kita bila kita bertemu selanjutnya. Pesanmu semakin membuatku jatuh cinta. Hubungi aku nanti malam," balasku.
*
Dua jam berada di luar kantor, aku kembali merapikan beberapa tulisanku untuk naik cetak malam ini dan akan terbit esok hari. Setelah menyerahkan tulisanku ke editor, aku akan melanjutkan bertemu beberapa narasumber.
Aku sedang merapikan Pashmina dan memakai jaketku saat kau tiba-tiba datang menghampiriku, "Tunggu teleponku nanti malam. Banyak yang ingin kuutarakan. Aku merindukanmu, masih sama seperti hari-hari kemarin."
Aku sedang merapikan Pashmina dan memakai jaketku saat kau tiba-tiba datang menghampiriku, "Tunggu teleponku nanti malam. Banyak yang ingin kuutarakan. Aku merindukanmu, masih sama seperti hari-hari kemarin."
Seketika kau pergi, aku tersenyum. Setidaknya kau masih menunjukkan cintamu walau sesaat. Ya aku paham, kau tak ingin hubungan kita diketahui orang lain. Tak lama, akupun melanjutkan rutinitasku.
0 komentar