[Cerpen] Brownies untuk Anakku

Sekira lima tahun lalu, aku pernah melakukan kesalahan. Namun betapa berat dosa yang harus kupikul, jika saat itu, permataku terpaksa kehilangan masa depannya, hanya akibat dendam pada laki-laki yang menanam benihnya di rahimku, persis setelah aku melahirkan anakku, Rio.

*

"Ma, kue. Abang mau kue coklat. Nanti mama belikan, ya," suara bocah lelaki dalam gendonganku, perlahan semakin jelas. Dia sudah mahir memangilku dengan sebutan Mama.

"Iya. Nanti pulang kerja pasti Mama belikan. Abang di rumah jadi anak baik. Jangan merepotkan nenek dan tante Nita," ujarku sembari mencium pipinya.

"Sembari memelukku, dia berujar, "Abang selalu jadi anak baik dan akan jaga nenek dan tante."

Melangkah dengan semangat, aku sampai di tempat kerjaku, sebuah Showroom mobil mewah keluaran Eropa. Jika aku belum memiliki seorang putera, bisa saja saat ini aku akan dekat atau mungkin menjalin hubungan dengan beberapa pelanggan Showroom ini, tentu mereka bukan dari kalangan biasa. Terlepas dari sudah memiliki pasangan, mereka terlihat cukup tampan, rapi, dan bersih. Memang, mereka kebanyakan adalah eksekutif muda.

Beberapa dari mereka, bukan tak ada yang mendekatiku. Dari mulai rajin mengirimiku pesan, sampai ada yang terus terang mengajakku kencan. Apalagi dengan status perempuan single, bukan tak mungkin aku menjerat mereka. Namun, setiap kali didekati oleh seorang laki-laki, aku kembali teringan dengan Rizki. Lelaki yang menikmati besarnya cintaku padanya, lalu membuangku ketika mengetahui aku melahirkan anaknya.

*

Maret 2012.

Rizki namanya. Pertama berkenalan, kami cukup dekat. Walaupun aku telah memiliki seorang kekasih, tak gentar, Rizki mendekatiku. Segala upaya dilancarkannya demi mendapat perhatianku. Didukung oleh tabiat pacar pertamaku yang temperamental, lambat laun aku menjadi semakin dekat dengan Rizki. 

Ternyata, apa yang kulakukan diketahui juga oleh sang pacar. Dia marah besar. Sungguh berbeda dengan Rizki. Setelah menumpahkan amarahnya yang menurutku sudah menjurus pada kekerasan Psikis, akhirnya kami berpisah.

Tak lama berselang, Rizki menjadi kekasihku. Dari situ pula kuketahui, Rizki penggemar kue coklat jenis Brownies. Beberapa bulan, kami menjadi semakin dekat, termasuk keluarga. Saat itu pula aku yakin, pencarianku berakhir pada Rizki, hingga kami menikmati hubungan yang belum semestinya. Ya, bersamanya, surga dunia --kata orang--, kuraih, lagi dan lagi. 

Namun setahun belakangan, tubuhku rasanya tak nyaman. Makanan yang kutelan, kebanyakan kumuntahkan, persis seperti perempuan yang tengah mengandung. Seketika aku khawatir, mengingat hubunganku dengan Rizki sudah cukup jauh. Dengan alasan tak bisa menikmatinya, Rizki menolak memakai kondom. Aku kebingungan dan terus menangis. Ditambah, ketika kuhubungi, telepon selularnya sedang tak aktif. Tak membuang waktu, aku bergegas ke apotik.

Tak percaya dengan hasil testpack yang bergaris dua berwarna merah, sendiri, aku menemui dokter kandungan. Perasaan marah dan ketakutan, menghantuiku akan hasil yang akan diucapkan dokter. Setelah diperiksa, dokter menyatakan bahwa aku tengah hamil empat minggu. Dengan masih menyisakan sedikit keramahan, aku tersenyum. Setelah berterima kasih, aku segera meninggalkan rumah sakit itu. Tanpa memberitahunya lagi lewat sambungan selular, aku langsung menuju rumah Rizki.

Sesampainya di rumahnya. Setelah menyalami asisten rumah tangganya, aku menemui Rizki. Tanpa menunggu diciumnya, aku langsung berujar, "Ki, aku hamil."

Kalimatku terlontar begitu saja saat aku berhadapan dengannya. Dia memelukku yang tengah menangis. Namun sialnya, dia masih menanyakan kehamilanku ini atas perbuatan siapa. "Kok bisa, Sayang? Siapa yang menghamilimu?"

"Tolol, Kau! Ini anakmu, baru berusia empat minggu. Selama setahun lebih kita pacaran, aku hanya melakukannya denganmu sebab aku bodoh, mencintaimu terlalu dalam. Kupikir kau adalah masa depanku. Tak kusangka kau masih menanyakan ini anak siapa," sembari masih menangis, kuucapkan dengan jelas kepadanya.

"Tapi?" ucapannya segera kusergah, "Tapi apa? Kau mau lari dari tanggung jawab?"

"Sudah sudah. Kau tak perlu gusar. Kecemasanmu tak seketika menghilangkan kenyataan kehamilanmu, kan? Duduklah. Aku punya solusi," katanya berusaha menenagkanku. "Demi kenyamanan kita, digugurkan saja," katanya kemudian.

Aku terkejut dengan ucapannya. Walau tak menamparnya seperti di sejumlah sinetron tanah air, namun peralatan Band di kamarnya, menjadi sasaran murkaku. Perempuan yang sedang marah, tentu bisa melakukan apa saja. Tanpa mampu dicegah, kamarnya seketika menjadi neraka baginya. Gitarnya patah, berikut bas, stik dan drum yang rusak. Aku benar-benar marah sebab ucapannya.

Setelah puas, akupun beranjak pergi walau dalam hati, aku benar-benar kecewa padanya. Dia yang kuanggap adalah lelaki terakhir dalam pengembaraan cintaku, ternyata memandang rendah diriku yang pernah ditidurinya, dari hotel hingga kamarnya. "Bangsat! Kapanlah kau tak membutuhkanku," Rutukku sendiri.

Setiap hari dia ingin menemuiku sebab aku sempat mengancam akan memperkarakan ini ke pihak yang berwajib dengan tuduhan pemerkosaan. Memang urung kulakukan sebab aku masih mengharapkan kemurahannya untuk bertanggungjawab. Namun hingga kehamilanku berumur empat bulan dan telah diketahui keluargaku, dia masih saja menawarkan solusi untuk menggugurkan kandunganku ke ahli medis, maupun memberiku buah Nenas dan Timun.

Keluargaku marah dan mendesaknya untuk menikahiku. Dia memang sempat berucap akan menikahiku, namun perlu waktu untuk berbicara dengan keluarganya. Namun kukatakan kepada keluargaku agar tak usah mempercayainya lagi. Aku salah sebab sempat berangan-angan memiliki pernikahan indah dengannya. Ternyata, aku cuma perempuan bodoh.

Solusi darinya, tak pernah ingin kulakukan. Menurutku, aku memang sudah salah. Namun aku tak ingin menambah murkaNya dengan menghilangkan nyawa seseorang. Jangankan membunuh seseorang, membunuh semut yang mengerubungi sarapanku, aku tak tega.

Aku selalu ketakutan ketika membaca atau menonton berita bahwa ditemukan bayi di pinggir jalan. Belum lagi berita yang menyatakan bahwa ditemukan mayat bayi di selokan, di tempat sampah atau di mana saja. Bayangan-bayangan demikian semakin menambah ketakutanku akan dikejar dosa. Makanya demi berharap akan dosaku terampuni, aku ingin melahirkan anak ini. Walau tanpa ayah kandungnya, aku berjanji pada diriku untuk merawatnya.

Hari berganti bulan. Memasuki usia lima bulan, sebab tak ingin pengakuan apapun lagi darinya ditambah ponselnya semakin sulit dihubungi, bersama keluargaku yang juga sudah pasrah, aku pindah ke rumah lain, semata-mata demi menghindari omongan tetangga. Wajar saja, kita tinggal di belahan bumi timur, jadi tetangga masih banyak yang mau tahu akan urusan orang lain. Syukurlah, keluargaku menerima calon anakku. Penerimaan mereka, sudah cukup menguatkan langkahku bertahan demi calon buah hatiku.

*

Beberapa hari sebelum waktu melahirkan tiba, tiba-tiba dia menghubungiku. Sebab dia menunjukkan itikad baik, keluargaku mengijinkannya untuk menungguiku di rumah sakit. Setelah melewati proses panjang dan kesakitan luar biasa, akhirnya bayi laki-laki itu lahir. Setelah mengazankan, dia memberikan nama anak kami, Rio sebagai singkatan nama kami, Rizki dan Olla. Dia tampak begitu senang menjadi seorang ayah. Setelah aku cukup sadar, bersama ayah dan ibuku, kami kembali berbicara tentang pernikahan.

Setelah kembali melewati proses penjang, akhirnya dia bersedia menikahiku bulan depan setelah kondisiku kembali pulih. Di rumah sakit, kunikmati perhatiannya untukku dan anak kami. Beberapa perlengkapan bayi, juga sudah disiapkannya sebelum ke Rumah Sakit. Dia mulai banyak tersenyum dengan keluargaku. Tanpa berpikiran macam-macam, keluargaku sudah kembali menerimanya. 

Namun kenyataannya, segalanya berubah. Bagai petir di siang bolong, aku kembali merasa tak berarti. Setelah dia tiba di rumahnya, tak sampai 24 jam, dia tiba-tiba mengirimkan pesan, "Maaf, aku tak bisa menikahimu. Aku masih sangat muda dan tak siap menikah sekarang. Aku masih ingin berkarya. Lagipula, aku tak yakin Rio adalah anak kita."

Ditambah baru melahirkan, aku menangis sejadi-jadinya. Keluargaku pun terkejut, tak menyangka Rizki bisa berubah dalam hitungan beberapa jam saja. Keluargaku yang mendukungku, mereka menguatkanku, siap mengurus bayiku hingga mereka mengubur keinginan mereka untuk memiliki suami untuk putrinya, paling tidak sementara ini.

*

Juni 2017

Kini, anakku sudah empat tahun. Serupa mencari sesuap nasi, bagiku, Rio adalah prioritas. Aku tahu diri, aku bukan remaja, konon lagi seorang bocah perempuan. Ditambah telah memiliki anak, aku bertekad agar semakin giat mencari uang demi meringankan beban keluargaku. 

Walau banyak lelaki yang mendekatiku, namun pikiranku masih terpusat pada anakku. Pun demikian, aku masih trauma dengan laki-laki. Setiap lelaki yang mendekatiku, aku teringat pada Rizki yang memiliki kegemaran serupa anaknya, kue coklat.

Bukan, bukan karena aku masih mencintainya. Aku malah telah sangat membencinya. Aku terpaksa mengingatnya karena Rio. Anak yang tanpa dosa, bocah sekira empat tahunan yang tak mendapat pengakuan dari ayah kandungnya, yang ternyata telah menikah dan menanti kelahiran anak keduanya. Ya, anak itu adalah anak keduanya setelah Rio.


*




Medan, Juni 2017



You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate