Aku RIndu (7)
Adalah aku yang semakin sukar melupakan ceriamu, penatmu, dan segala tentangmu, Kekasih. Bagiku, entah sampai kapan, engkau akan kuanggap sebagai kekasihku. Manusia yang dipilih Tuhan untuk kucintai hingga sedalam ini,
*
Saat tengah tergolek di sofa sembari membuka isi telepon selularku, tanpa sengaja, potretmu kembali terlihat. Meskipun kita sudah beberapa bulan tak bertemu seiring kepindahanku ke kampung halamanku, namun engkau masih memiliki tempat di hatiku. Oh Tuhan, mata itu, senyum itu.
Bagi mereka yang tak paham akanku, aku pasti dianggap perempuan bodoh, mencintai kekasih yang telah memiliki kekasih. Khalayak juga mungkin akan menganggapku perebut kekasih orang. Berlebihankah anggapan mereka?
Mereka tak tahu akan kita. Kita memiliki hati yang terlanjur diserang virus merah jambu. Sang Dewi Cinta, setidaknya tak salah sasaran kali ini. Tak hanya Zoya saja yang menyukai Ryan. Demikian pula sebaliknya, walau tentu saja, situasinya kurang tepat.
*
Aku berbicara sendiri ketika tengah menatap potret kebersamaan kita. Aku teringat lagi ketika suatu malam, kau menginap di sini, di rumahku. Kau meringkuk dalam selimut di sofa yang tengah kududuki sekarang.
Saat itu, entah sebab deskripsiku yang terlalu panjang, kau tiba-tiba tertidur.
Kekasih, Wajahmu lucu ketika mengucap rindu beberapa jam sebelumnya. Namun tak hanya sampai di situ, apa pun bisa menjadi pembicaraan kita. Walau saling mencintai, kita tak melulu hanya mengucap rindu dan cinta. Dari mulai filsafat dan hubungannya dengan politik dan tokoh publik, ekonomi, dan sosial, keinginanmu untuk melanjutkan sekolah lagi, rencana-rencana gemilangmu, demikian pula ceritaku, selalu menjadi bumbu-bumbu rindu, pengawet adamu untukku.
***
Menatapmu yang tengah pulas, rasanya ingin kujamah lagi jemarimu. Namun tak tega bila kau terbangun. Aku menghormatimu. Pun sebelumnya beberapa kali kau berkata lelah dan menguap. Namun sebab tak ingin melepaskan celotehku, kau mendengarku. Kekasih, aku mengerti akanmu. Bagiku, pedulimu masih selalu kubutuhkan. Bahkan sejujurnya, aku masih inginkanmu hingga esok malam.
Dengkuranmu
nyaring saat itu, mungkin karena kau sangat lelah namun masih mau meladeni obrolanku. Bagi sang pecinta sepertiku, dengkuranmu semerdu suara penyanyi dari timur, yang serupamu. Atau mungkin
kita harus membuat nada baru, aku ingin rebah di sampingmu.
Namun aku
tak ingin terlelap saat itu, Kekasih. Kau tahu, menatapmu ketika sedang
tak beretorika, aku semakin jatuh hati hingga tak mau berpikir
banyak-banyak. Dalam hati aku berujar, "Hei kau
yang sulit menahan kantuk. Aku mengamatimu lama, namun kau diam saja. Entah tengah menikmati mimpi."
Tanpa ada dorongan dari manapun, tiba-tiba, kukecup
bibirmu saat itu. Lembut, sedikit kering, mungkin sebab kau kebanyakan tertawa
sebelumnya. Mati aku, untung saja tak membangunkanmu. Kalau tidak, aku ingin segera bersembunyi di kolong tubuhmu, menahan dekapmu.
***
Kekasih, hari ini aku kembali merapal namamu yang mungkin sudah harus kulupa. Namun apalah dayaku sebagai seorang pecinta biasa. Aku teringat, Sang filsuf Plato pernah berkata, "Love is serious mental dieseas." Kukira,
dia tak salah. Setidaknya, itu yang kurasakan sejak kembali percaya
cinta, sebab hadirmu. Kau membutakan mataku hingga kini. Kata-katamu
memang benar, tak ada yang mampu mengulitiku hingga sedalam ini, selain
kau. Dan oleh sebab itupula, melupakanmu adalah dukaku.
0 komentar