Aktivitas “Gila” Femen dan Kesesatan Jalan Pikirannya!

Dalam interaksi antar sesamanya, adalah hal yang wajar jika seseorang ingin melakukan suatu perubahan ke arah yang menurutnya lebih baik terhadap diri dan lingkungannya. Bahkan tak jarang demi memenuhi kebutuhan itu, mereka juga melakukan demonstrasi yang lebih kurang telah kita saksikan sewaktu pemerintah akan menaikkan harga BBM beberapa waktu yang lalu, sebelum bulan Ramadhan. Sekarang sudah bulan Ramadhan, adakah yang merusak kesuciannya?

Untuk di dalam negeri, kita semua telah mengetahui aksi “manis” FPI pada Kamis (18/7) di Kendal, Jawa Tengah akibat melakukan protes dan sweeping terhadap tempat hiburan yang beroperasi di bulan ramadhan. Hampir seluruh media mainstream telah menerbitkan beragam artikel mengenai itu, bahkan juga di Kompasiana ini. Hemat saya, terlepas dari tujuannya, tindakan FPI ini merugikan orang lain dan mereka sendiri. Kalau mereka mau berterus terang tanpa tersogok doktrin, mereka akan mengatakan bahwa tindakan ini  mengurangi kekhusyukan diri mereka sendiri dalam menjalankan ibadahnya. Nah, kalau itu yang di dalam negeri, bagaimana dengan yang di luar negeri?

Di luar negeri pun ada yang mengganggu umat muslim dalam melaksanakan ibadah puasa. Seperti artikel yang sempat trending di Kompasiana.

Selain mereka berdua, ada lagi yang mengganggu kita dalam beribadah di bulan ramadhan ini, dialah Inna Shevchenko seorang aktivis Femen atheis yang dalam akun twitternya terang-terangan berkicau, “Apa yang lebih bodoh dari Ramadhan? Apa yang lebih buruk dari agama ini (Islam).” Selengkapnya di sini.

Sebagai seorang muslimah, pernyataan ”gila” Inna tersebut amat “menggelitik”. Oleh karenanya, saya Cuma “tersenyum” saya saat membaca kabar tersebut, namun saya memilih untuk diam dahulu dari pada “senyum” saya mengakibatkan hal yang tidak menyenangkan, sembari mencari tahu dengan jelas tentang Inna dan  Femen.

Femen itu apa?

Mungkin sebagian pembaca sudah tahu, namun tak ada salahnya jika saya tuliskan lagi, ya? Femen adalah sekelompok aktivis atheis perempuan yang membela hak atas kaumnya. Femen ini berbeda dengan feminisme Amerika, apalagi Muslim. Mereka ini adalah feminis ekstrim yang lahir pada tanggal 10 April 2008 di Ukraina, yang kini memiliki sekitar 150.000 pengikut yang tersebat di 17 negara.

Nah, katanya kan membela, otomatis setiap ada perempuan yang terenggut haknya, mereka akan melakukan protes. Namun protesnya itu dilakukan selalu dengan bertelanjang dada (topless) dan menuliskan berbagai bentuk kata/perlawanan di tubuhnya.

*

Dalam laman situs resminya, FEMEN menjelaskan jati dirinya sebagai “…the scandal famous organization of topless women activists, who defend with their breast sexual and social equality in  the world. (…  organisasi yang terkenal karena skandal aktivis-aktivis perempuan yang bertelanjang dada yang dengan payudaranya mempertahankan kesetaraan seksual dan sosial di dunia).” Selengkapnya di sini

Sebelum Inna Shevchenko berkicau di akun twitternya tentang bulan suci Ramadhan (18/7) kemarin, aksi mereka yang tergolong gila ini juga pernah meresahkan muslimah dari seluruh dunia.

Pada 3 April 2013, mereka membakar bendera bertuliskan “Laa ilaaha illallaah, Muhammadan Rasulullaah” di depan sebuah Masjid di Prancis sebagai bentuk protes. Pada 4  April 2013,   aksi digelar di  depan Masjid di Kiev dan Berlin. Aksi serupa juga digelar pada hari yang sama di Brussels dan Kedubes Tunisia di Paris.

Kemudian, Pada 4 April 2013, mereka menyelenggarakan protes yang menurut mereka, islam melakukan penindasan terhadap kaum perempuan. Aksi ini sudah pasti dilakukan dengan bertelanjang dada dan mencoret-coret bagian yang seharusnya ditutupi oleh setiap kaum perempuan, apapun agamanya.

Aksi yang berjudul International Jihad Topless Day ini, tentunya mendapat tanggapan dari para muslimah. Salah satu yang muslimah yang bersuara adalah Ilana Allezah yang merupakan aktivis muslim di Washington. Ia juga menentang keras “kegiatan” femen tersebut. Sebagaimana sebutnya dalam sebuah wawancara dengan Huffingtonpost, acara ini adalah rasis dan merupakan penghinaan bagi muslimah. Selanjutnya, feminis yang keturunan Pakistan-Amerika bernama Farah Rishi mengatakan bahwa kebebasan bagi seorang muslimah tidaklah harus dilawan dengan hal-hal yang bersifat fisik. Kebebasan yang hakiki dan diinginkan oleh para Muslimah di seluruh dunia adalah ketika mereka bisa bebas mengenakan pakaian Muslimah dan menjalankan nilai-nilai Islam, di tengah peradaban Barat yang memiliki standar ganda.

Setelah banyaknya penghinaan terhadap muslimah yang dilakukan oleh Femen, adalah Sofia Ahmed melakukan perlawanan terhadap Femen dengan mengkampanyekan keindahan seorang muslimah dalam balutan jilbab melalui media online. Ia mengatakan, salah satu kebanggaan tersendiri bagi seorang muslimah bila bisa menunjukkan jati dirinya. Foto-foto muslimah berjilbab yang Sofia unggah di media sosial, langsung mendapat tanggapan dari Noor Firdosi yang mengatakan, “saya sangat bangga dan bahagia memakai jilbab.”

*

Tentunya komentar tersebut semakin menguatkan sekaligus menggembirakan muslimah pengguna jilbab lainnya, bukan? Terutama bagi saya pribadi, membacakomentar dari Melody Church yang dari namanya saja non-muslim, mengatakan “Sebagai warga AS, saya malu dengan apa yang dilakukan FEMEN. Saya berharap, ini membuat kita peduli dengan apa yang dikenakan muslimah.”

Ketika menghina bulan suci ramadhan kemarin, Inna Shevchenko mengatakan kepada salah satu media Prancis bahwa, “perlawanan” yang mereka lakukan bukan hanya terhadap agama Islam, tetapi terhadap semua agama yang ada di dunia ini, terlebih yang mengekang kebebasan kaum perempuan.

*

“Kegiatan” ini benar terbukti, memang bukan hanya dengan agama islam protes mereka lancarkan, namun terhadap seorang Uskup Katolik bernama Andre Leonard dari Belgia yang memang anti dengan isu-isu gay yang kerap beredar. Seperti dalam sebuah pernyataan, yang mana Gereja mengecam siapapun yang menentang keputusannya dalam menolak pernikahan sejenis. Nah, aktivis femen ini tak terima dengan pernyataan gereja/uskup itu, jadi merekapun melancarkan protes-tetap dengan bertelanjang dada- dan menyemprotkan air ke wajah sang uskup.

Tak hanya aksi protes melawan kebijakan uskup/gereja tersebut “berhasil” mereka lakukan, mereka juga menyambut gembira atas mundurnya paus Benediktus XVI pada 12/2/2013 di Katedral Notre Dame, Paris. “Tidak Ada Lagi untuk Paus!” teriak mereka. “Tidak ada lagi homofobia” dan “Bye bye Benediktus!” sambil memamerkan dada mereka yang tidak memakai sehelai benangpun dan punggung bertuliskan “Pope No More,” dan “Bye Bye Benedictus.” Lagi-lagi aksi “gila” mereka tersebut medapat protes dari jemaat gereja dan pihak keamananpun dengan sigap menyeret mereka keluar.

*

“Kegiatan” para aktivis femen atheis itu sudah sangat salah kaprah dalam mengartikan kebebasan. Kebebasan bagi mereka adalah bila dapat menentang kebijakan agama dan pemerintah, bahkan industri seks komersial dengan bertelanjang dada.

Kebebasan yang salah kaprah itu menjadikan mereka (femen) terjebak dalam pemikirannya sendiri. Menurut mereka, aksi gilanya itu telah membela kaum perempuan, padahal sejatinya ini tidak benar. Justru hal bodoh ini semakin menghina kaum perempuan.

Hemat saya mengatakan bahwa, kebebasan itu mutlak perlu bagi setiap perempuan, namun hendaklah mendahulukan norma sosial, kepatutan, dan kesopanan. Terlebih bagi kita yang memiliki agama  (tidak atheis maupun agnostik) dan berdomisili di Indonesia, tentunya dalam beragama pun kita memiliki norma. Jangan malah melegalkan tindakan bodoh kaum femen Ukraina yang mana merupakan suatu kesesatan dalam berpikir.

Yang sangat saya sayangkan adalah kebebasan ini malah diartikan semena-mena oleh sebagian kaum perempuan. Walaupun tidak seekstrim femen Ukraina, lihat saja di televisi, di mana semakin banyaknya iklan yang kita saksikan menggunakan model seorang perempuan yang bangga dalam mengeksplorasi tubuhnya dengan alasan “ini seni”, semisal iklan cat, pewangi pakaian, bahkan rokok pun menggunakan model perempuan. Atau banyak juga aktris yang terkenal karena aksi gilanya dalam mempertunjukkan kemolekan tubuhnya.

Padahal, kalau mereka (aktris) maupun aktivis femen ini mau membuka pikirannya, perlakuan mereka tersebut telah merendahkan diri mereka sendiri dengan membiarkan banyak orang terutama kaum adam yang (walaupun mengagumi tubuh mereka), namun kaum adam ini juga tak suka melihat itu.

Setiap orang, apapun masalah yang dihadapi baik lisan maupun tulisan (terlebih kaum perempuan), hendaklah selalu menyandingkan antara Logika dan etika sehingga menghasilkan sebuah nilai seni yang merupakan suatu tatanan yang menyelarskan antara norma kepatutan, kesopanan, kesusilaan, maupun norma agama.

Terakhir, izinkanlah saya mengatakan kepada kaum saya di Indonesia, tolong, jangan ikuti langkah femen ukraina yang atheis itu. Terlepas dari agama manapun kita, protes itu memang perlu tapi lakukanlah protes dengan beradab. Membaca aktivitas femen ini, sejujurnya sebagai kaum hawa, saya sendiri amat malu sekaligus sedih, juga marah ketika mereka menghina muslimah dan ibadah puasa ramadhan yang sedang saya jalani.

Bagi saya pribadi, rumus yang selalu saya gunakan dalam hidup saya sebagai seorang perempuan adalah Logika + Etika = Estetika sebagaimana yang telah saya uraikan di atas. Dengan demikian, Insya Allah saya mampu menilai baik dan buruknya suatu perlakuan demi membentengi diri saya. Bagaimana menurut Anda? [AZ]

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate