Kecewa Terhadap Oknum Polisi
Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat sudah berkurang kepercayaannya terhadap institusi kepolisian akibat perlakuan dari oknum nakal yang masyarakat terima, misalnya pungli (pungutan liar) kepada truk-truk pada jalan lintas daerah atau perlakuan tak adil, yang mana didasari oleh uang. Terkait perlakuan tak adil tersebut, saya pun pernah mengalaminya.
***
Pada hari ini, senin 25/3/2013 adalah tanggal terpenting dalam perjalanan hidup “kedua” saya dimana tepat 3 tahun yang lalu, saya mengalami kecelakaan yang membuat saya koma.
Dengan sepeda motor milik seorang teman, pukul 11.00 wib saya ingin mengambil tiket untuk kembali ke Medan setelah hampir 1 bulan lamanya saya menikmati liburan di kampung halaman. Saat itu, saya ingin pergi ke SPBU terdekat guna mengisi bahan bakar. Untuk sampai ke SPBU yang dimaksud, saya harus menyeberang jalan. Oleh sebab masih banyak kendaraan yang lalu lalang, sudah sepantasnya saya berhenti terlebih dahulu, bukan? Ketika saya berhenti itulah, saya ditabrak oleh seorang pengendara motor dan saya baru tersadar setelah 5 jam berada di Rumah Sakit.
***
Seperti orang yang sedang mabuk pada umumnya yang mana perkataannya adalah kejujuran, demikian pula saya yang baru sadar dari koma itu. Ketika ditanyai oleh ibu, saya katakan bahwa sepeda motor yang saya kendarai ditabrak dari belakang oleh sepeda motor lain, setelah itu saya tidak tahu apa-apa. Namun kebanyakan orang (termasuk teman-teman saya) tak percaya dengan pengakuan saya dimana menurut mereka saya lah yang menabrak orang itu, katanya polisi berkata demikian.
Menurut hemat saya, saya tidak mungkin melakukan kesalahan tersebut karena :
1. Posisi sepeda motor yang tengah saya kendarai sedang berhenti karena ingin menyeberang.
2. Saya merasakan bahwa ditabrak dari belakang.
3. Jika saya yang menabrak, logikanya saja, saya tak mungkin koma dengan darah mengucur deras dari kepala dan telinga, paling saya hanya menderita luka-luka seperti si penabrak.
Setelah saya sadar total, seluruh organ tubuh sebelah kanan saya tidak dapat bergerak, termasuk perkataan saya yang tak bisa didengar orang lain.
***
Namun kesaksian ini tak bisa saya sampaikan kepada polisi karena polisi tidak menanyai saya saat itu atau maksimal menunggu saya sadar(cuma 5 jam koma). Saya ini posisinya adalah sebagai korban yang hampir meninggal namun sang oknum tersebut keburu meminta tebusan sebesar Rp 500.000,00 kepada abang saya guna menutup kasus ini. Abang saya yang memang pembawaannya tenang dan tak ingin ribet serta ingin segera kembali ke Medan untuk pekerjaannya, membayar saja uang tersebut. Sejujurnya saya amat kecewa dengan tindakan abang saya itu. Namun, seperti kata kebanyakan orang dimana berurusan dengan polisi itu rumit, mau tak mau, abang pun membayarnya.
Kekecewaan saya adalah dimana oknum polisi itu tak menanyai fakta yang sebenarnya kepada saya, padahal saya belum meninggal dunia saat itu. Lalu dengan mudahnya meminta uang kepada abang saya hanya berdasarkan kesaksian palsu dari orang tua si pelaku yang mengatakan bahwa saya yang menabrak sepeda motor anaknya. Di sini saya katakan, saya tidak menabraknya karena jelas saya yang ditabrak dan nyaris meninggal dunia, sedangkan anak itu Cuma menderita luka ringan. Logikanya, kalau saya yang menabrak, saya Cuma luka dan tidak mengalami koma.
Perlu diketahui, anak itu masih pelajar SMP yang belum 17 tahun. Pertanyaan saya:
1. Mengapa bisa membawa kendaraan ke jalan besar?
2. Sudahkan seorang anak SMP memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi)?
Secara hukum, seperti yang tertulis di http://www.tmcmetro.com, persyaratan pemohon SIM berdasarkan Pasal 81 ayat (2), (3), (4), dan (5) UU No. 22 Tahun 2009, batas ketentuan membuat SIM C minimal telah berumur umur 17 th (Berdasarkan KTP).
Disini yang amat saya sesalkan bukanlah nominal rupiah yang dikeluarkan abang saya, namun lebih kepada kredibilitas polisi yang memiliki VISI dan MISI yang saya rasa tak sebanding dengan perlakuan yang saya dapatkan sebagai warga negara.
Membaca Visi Polri tersebut, saya merasa perlakuan yang saya dapatkan jauh panggang dari api, dimana sang oknum langsung memvonis saya yang bersalah tanpa mengintrogasi saya sebagai korban sekaligus saksi yang masih hidup.
Sejujurnya beberapa waktu lalu, saya sempat membicarakan kepada abang saya dimana saya ingin membuka kembali kasus ini, saya hanya ingin mencari keadilan dimana ayahnya si empunya motor (teman saya) mengenali orang tua si pelaku bahkan mengetahui alamatnya. Namun kata abang saya, “sudahlah Da, abang gak sempat untuk balik ke sana kan abang kerja di sini.” Ok, saya pun Cuma bisa diam.
***
Kepada polisi saya hanya harapkan, silahkan dibaca dan dipraktekkan Visi dan Misi tersebut secara jujur dan profesional. Tunjukkanlah kredibilitas Anda sekalian di mata masyarakat, agar kami mempercayai Institusi Anda lagi. Apalagi adanya kasus simulator SIM yang menjerat Irjen. Djoko susilo yang mana kasusnya telah berada di tangan KPK, tentunya ini mencoreng institusi kepolisian.
Kepada orang tua, sayang anak sih boleh-boleh saja, mau dimanjakan juga terserah Anda, tapi tolong awasi perlakuan anak Anda. Jangan biarkan anak dibawah 17 tahun dan tidak memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) bebas berkeliaran di jalanan. Selain membahayakan nyawanya sendiri, juga membahayakan nyawa orang lain.
***
Benar kiranya, bahwa manusia biasa memang tempatnya salah dan khilaf. Namun tidak dibenarkan bila ketidakjujuran itu menjadi budaya, bukan?
0 komentar