Akankah Soft Power Berlaku Pada Kontroversi Bendera Aceh?


Provinsi Aceh meninggalkan berjuta kenangan bagi saya pribadi dari sebelum peristiwa tsunami yang mana saya sering mendengar adanya bunyi tembakan di mana-mana sejak zaman GAM (Gerakan Aceh Merdeka) masih merajalela hingga peristiwa gempa dan tsunami (26 Desember 2004) yang meluluh lantakkan daerah itu. Setelah Tsunami, pada tanggal 15 Agustus 2006, telah ditandatangani MoU Helsinki yang praktis menjadi titik perdamaian antara pemerintah daerah Aceh dengan Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ya… Aceh telah damai. Kedamaian itu turut saya rasakan jika saya pulang kampung dan melintasi jalan provinsi, tidak di temukan lagi sweeping oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Bendera dan Lambang tersebut muncul bukan baru-baru ini, namun telah ada sejak tahun 2009 dimana setelah dilantiknya struktur DPRAceh. Keduanya adalah amanah dari Mou Helsinki yang ingin digunakan oleh pemerintah Aceh sebagai ciri khas daerahnya. Sebelum disahkan di tahun 2013 ini, Qanun tersebut telah menjadi pembicaraan paripurna DPRAceh sejak tahun 2012 yang menempatkan Raqan Identitas Aceh sebagai salah satu dari 15 Qanun prioritas. Sebenarnya raqan prioritas itu terdiri dari bendera, lambang, dan hymne. Namun dikarenakan kekosongan hymne, maka DRPAceh mengganti nama menjadi Raqan Bendera dan Lambang Aceh, sedangkan Hymne akan dibuat qanun khusus.
Dikarenakan oleh waktu yang terbatas di akhir 2012, maka pengesahan ini baru dilakukan di awal 2013 Kedua ciri khas Provinsi Aceh itu telah disahkan oleh DPRAceh tanggal 22 Maret 2013 yang mana telah melewati rapat paripurna sejak 18 Maret 2013. Kemudian pada tanggal 25 Maret 2013, Pemerintah Aceh secara resmi membukukan Qanun tersebut dan menempatkannya pada lembaran Aceh nomor 49 Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013, sebagaimana tersaji selengkapnya di sini.
Pengesahan Bendera dan Lambang Aceh ini sudah pasti menjadi sorotan tajam Pemerintah Pusat dimana telah dilakukan evaluasi Qanun Aceh nomor 3 tahun 2013 itu, sebagaimana  dikatakan oleh Mentri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, ”Kami sudah menyelesaikan evaluasinya. Ada sejumlah hal yang harus diperbaiki.” MetroTV, Minggu (31/03/2013).
Senada dengan Mendagri, Djohermansyah Djohan selaku Dirjen Otda Kemendagri juga menyampaikan bahwa evaluasi Kemendagri menghasilkan setidaknya ada sejumlah hal yang harus ditindaklanjuti oleh Pemerintah Aceh yang mana menurutnya penggunaan bendera bulan bintang betentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 77/2007 tentang Lambang Daerah. Telah jelas dikatakan pada pasal 6 ayat 4 bahwa desain logo dan bendera tidak boleh punya persamaan dengan desain logo bendera organisasi terlarang atau gerakan separatis. Lebih lanjut beliau mengatakan bahwa, ”Lambang ini juga bertentangan dengan semangat MoU Helsinki. Buatlah bendera yang lebih diterima seluruh kelompok yang ada di daerah itu. Lagi pula ini bukan lambang partai.” Seperti yang dilansir oleh www.metrotvnews.com.
Terkait penolakan itu, usai menghadiri rapat tertutup dengan Dirjen Otonomi Daerah di Meuligoe, Banda Aceh, Gubernur Aceh, Zaini Abdullah mengatakan, “Kami akan duduk bersama untuk mencari solusi, bukan saling gontok-gontokan.” Menurutnya, apa pun hasil pertemuan-pertemuan itu Aceh harus tetap dalam kondisi damai. Pertemuan lanjutan akan terus dilakukan bersama DPRA dan pemerintah pusat untuk mencari solusi terkait kontroversi bendera dan lambang Aceh (www.okezone.com 2/4/2013).
Dalam wawancara pada acara Primetime News (4/4/2013), Bapak Yusril Ihza Mahendra mengatakan bahwa dalam membuat bendera sebagai lambang Aceh itu, pedomannya sudah ada dalam undang-undang pemerintahan Aceh itu sendiri. Bendera sebagai lambang Aceh itu :
Pertama, mencerminkan keistimewaan dan kekhususan Aceh.
Kedua, bukan simbol kedaulatan.
Ketiga, dituangkan ke dalam qanun dengan berpedoman kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada wawancara itu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan, Bendera tersebut adalah keinginan seluruh rakyat Aceh. Pertanyaan saya, rakyat Aceh yang mana? Bukankah Provinsi Aceh itu cukup Luas dan terdiri dari berbagai suku?
Seperti yang diketahui, massa yang pro terhadap Bendera Bulan Bintang itu telah melakukan konvoi guna mendukung pengesahan Qanun tersebut (1/4/2013), sehari sebelum bapak Djohermansyah datang ke Aceh. sebelumnya, pada tanggal 27/3/2013 telah terjadi konvoi seperti yang terlihat di sini.
Sementara massa yang kontra terhadap bendera bulan bintang itu membuat konvoi tandingan dan mengibarkan bendera merah putih seperti di Aceh Tengah (www.okezone.com).  Sebelumnya juga masyarakat Aceh Tenggara melakukan hal yang sama. Selanjutnya, seperti yang diberitakan oleh RCTI, masyarakat Aceh Barat pun berjanji setia pada merah putih dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada berita di tvone (4/4/2013) juga terlihat ketidaksetujuan masyarakat Kutacane atas bendera tersebut dengan berkonvoi sembari membawa bendera merah putih raksasa ke kantor DPRKutacane.
Nah, lagi-lagi yang harus saya pertanyakan, rakyat Aceh yang mana? Mentang-mentang ada rakyat Aceh yang pro bendera itu, terus dikatakan keinginan seluruh? Tolong jangan mengenaralisir. Tak semua rakyat Aceh menerima bendera bulan bintang yang mirip bendera GAM tersebut.
***
Sebenarnya, Provinsi Aceh itu adalah provinsi yang cukup kaya dan sejahtera jika pemimpin mampu menyejahterakan masyarakatnya, bukan hanya menebar janji-janji sewaktu kampanye. Alangkah baiknya jikalau janji tersebut segera direalisasikan sehingga masyarakat Aceh pun hidup makmur dengan mengelola kekayaan alamnya.  Mendagri juga menegaskan, semestinya pemerintah Aceh fokus kepada upaya menyejahterakan rakyatnya, tidak lagi diusik dengan persoalan lambang, bendera yang kecil semacam itu seperti tertulis di sini.
Sebenarnya, pemerintah telah memberikan alternatif lain bagi bendera Aceh yaitu bendera pada masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, seperti yang dikatakan olehMenko Polhukam, Djoko Suyanto saat pada www.detiknews.com , Rabu (3/4/2013).
1365093100240860381
gambar dari Facebook 91.8 KISS FM Aceh
Pada tanggal 4/4/2013, Mendagri Gamawan Fauzi menepati janjinya berkunjung ke Banda Aceh dan bertemu langsung dengan Gubernur, Wakil Gubernur, Wali Nanggroe, dan  di Pendopo Gubernur. Untuk apa? Tak lain dan tak bukan adalah untuk memperoleh kata sepakat. Namun harapan tersebut belum dapat terealisasikan juga. Oleh karena itu, seperti yang telah dikatakan sebelumnya di sini, bahwa Pemerintah Pusat memberikan waktu selama 15 hari kepada Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengevaluasi qanun yang telah disahkan itu. Masih dari tayangan Primetime News Metro Tv, Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengatakan tidak sampai 15 hari, hasilnya akan dikirim ke pusat.
Dalam acara Primetime News tadi, kalimat Pak Yusril Ihza Mahendra membuat saya pribadi menangis ampai saya menuliskan ini. Pak Yusril mengatakan bahwa beliau saja mencintai Aceh dan berkomitmen menjalankan amanat sesepuh-sesepuh Aceh di masa yang lalu yang pernah beliau temui. Amanat itu adalah bantu Aceh. Beliau juga sungguh-sungguh berharap, mudah-mudahan persoalan bendera ini dapat diselesaikan dengan baik dengan musyawarah semua pihak dan semangat persatuan dan persaudaraan kita semua. Harapan beliau selanjutnya perdamaian Aceh sesudah MoU Helsinki itu menjadi perdamaian yang selama-lamanya.
***
Kemarin malam juga saya sempat ke toko buku dan membaca sebuah buku yang berjudul Soft Power untuk Aceh - Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi karangan Dr. Darmansyah Djumala, M.A yang diberi kata sambutan begini :
Dengan terbitnya buku ini diharapkan publik dapat memahami konflik Pusat dan Daerah tidak mesti diselesaikan dengan kekerasan. Ada opsi lainuntuk menyelesaikan konflik, yaitu soft power yang lebih mengutamakan dialog dan perundingan. Jika Indonesia menyatakan diri sebagai demokrasi, penyelesaian konflik dengan soft power mesti dikedepankan dalam menangani konflik Pusat dan Daerah di tempat lain.
- Dr. Zaini Abdullah
Gubernur Aceh
***
Anda pasti bertanya-tanya, apa maksud saya menyertakan kata sambutan tersebut, bukan? Saya hanya ingin mengingatkan kembali bahwa perjuangan rakyat Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam memperoleh kemerdekaan dahulu bukanlah hal yang mudah. Kita pernah saling bahu membahu dalam membangun negara ini. Tak layak jika adanya konflik ditengah-tengah kita, diselesaikan dengan cara seperti zaman GAM dulu. Ada soft power dimana musyawarah dan mufakat yang selalu bisa digunakan.
Bagaimana pemerintah Provinsi Aceh? Harapan saya, jangan sia-siakan perjuangan dan itikad baik dari pemerintah pusat yang sudah sangat baik memberikan Otonomi daerah untuk Aceh dan silahkan rundingkan masalah ini dengan sebaik-baiknya sehingga dicapai satu kata sepakat.
***
Selanjutnya, dari beberapa tulisan yang disajikan di Kompasiana ini maupun situs lain, ada yang berkomentar selalu menyinggung tentang Aceh dan Tsunami. Sesungguhnya, ini sangat melukai nurani kami sebagai yang merasakannya. Jika Anda mau membuka pikiran Anda sembari berdo’a supaya segera ditemukan solusi yang terbaik dan tidak mengedepankan emosi Anda di tengah masalah ini, pasti semua akan lebih baik. Biarkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Aceh yang bermusyawarah, Anda tidak usah menjustifikasi Aceh seperti gambar di bawah ini :
13650991841845677929
screenshoot by AZ
13650993261957725970
screenshoot by AZ
Anda boleh tidak suka dengan yang dilakukan oleh Pemerintah Aceh,tentunya itu hak Anda. Tapi jangan menghakimi dan mengatakan apa pun yang bertendensi menyakiti kami. Gunakanlah Logika dan Etika Anda jika Anda ingin berpendapat.
Saleum Aneuk Nanggroe

You Might Also Like

2 komentar

  1. Keknya ni sudah di persiapkan sejak di sepakatinya kesepakatan Damai (pasca Tsunami).
    Sekarang Aceh dah kuat lagi, boleh dah merdeka... dari pada g jelas kan...

    BalasHapus
    Balasan
    1. tidak, Aceh tidak boleh merdeka mengingat perjuangan dulu
      alangah baiknya jika para tetinggi di Aceh itu berpikir

      Hapus

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate