Terkait Komentar: Mencaci Penulis Karena Arogansi Pembaca ?

13760960151270421902
Ilustrasi/Admin (Shutterstock)
Di tahun 2013 ini, kemudahan untuk mengakses internet semakin terasa seiring banyaknya smartphone, dari yang sebesar telapak tangan sampai yang sebesar talanan, sehingga mau tak mau memberikan sebuah “tantangan” tersendiri bagi pemakainya. Tak menutup kemungkinan, adanya internet ini memberikan dampak yang cukup signifikan dalam menempa daya pikir seseorang, di mana semakin mudahnya seseorang mencari informasi untuk memuaskan rasa keingintahuannya.

Seperti Kompasiana sendiri. Bagi saya pribadi, blog keroyokan ini cukup menempa pola pikir saya. Pada blog yang mengusung tema Sharing & Connecting ini, seorang penulis dapat berinteraksi dengan orang lain, di mana masing-masing memberikan reportase dan opini yang tentunya luput dari perhatian mainstream media.Tulisan/artikel yang baikbiasanya memiliki News Value (Nilai Berita). Adanya jurnalisme warga sekelas Kompasiana, memungkinkan seseorang menyalurkan opininya yang tentunya luput dari perhatian mainstream media.

Untuk menayangkan tulisan di Kompasiana, Kompasianer dapat memilih reportase atau opini, sesuai dengan isi tulisannya. Mungkin dalam reportase, sangat jarang atau dapat dikatakan hampir tak ditemukan debat. Lalu, bagaimana dengan opini?

Sejauh pengamatan saya, opini adalah pendapat pribadi dari seorang penulis. Untuk mendukung opininya, tak jarang seorang penulis melakukan riset ke berbagai media dan HARUS mencantumkan link terkait dengan topik tulisannya demi menghindari plagiat.

Ketika sebuah artikel selesai di posting, mulailah berdatangan komentar dari pembaca. Dari sekian banyak komentar yang ada, tak semua yang setuju dengan opini si penulis, sehingga menuliskan hal yang bersebrangan. Tentunya ini masih bisa dimaklumi, bukan? Mungkin pembaca kurang mengerti akan substansi tulisan tadi, ya… bahasanya agak susah di pahami. Saya juga sering mendapati tulisan yang harus saya baca berulang kali sampai saya mengerti. Kadang bingung juga dan bertanya sendiri, ini tulisan bicarain apa sih?

Selanjutnya, saya juga harus mengingat, seorang penulis memiliki hak untuk menuliskan opininya dengan menggunakan bahasa tersirat. Dari bahasa tersiratnya itu, maka ada kewajiban si penulis atas pertanyaan si pembaca untuk lebih mendeskripsikan (menjelaskan) maksud tulisannya itu sebagai bentuk terima kasihnya kepada si pembaca, karena penulis tanpa pembaca, bukan apa-apa.

Dua Tahun Bercengkrama di Kompasiana
Setelah dijelaskan maksudnya, namun tak jarang bahwa komentar yang didapati  masih saja bersebrangan dengan isi opini. Dan ini memang harus benar-benar di maklumi oleh penulis. Kesal mungkin terjadi, tapi ya kembali lagi seperti yang salah seorang kompasianer katakan, bahwa setiap orang punya persepsi masing-masing ketika membaca sebuah tulisan.
Benar, seorang penulis tidak akan dapat mengarahkan orang lain sebagaimana maksud penulis. Ini adalah sebuah keniscayaan. Ibarat kepala sama hitam, tapi pemikiran pasti berbeda-beda. Contoh jelasnya, mungkin dapat dibaca di sini.

Pada tulisan saya tersebut, terlihat jelas bahwa seorang komentator hampir tak setuju dengan komentar lain, apalagi dengan isi tulisan saya itu. Terus terang, awalnya saya jadi bingung, setelah berkali-kali dijelaskan oleh banyak komentar di sana (terima kasih semua) dan terjadi debat kusir, tapi tetap saja tak ada yang masuk ke dalam logikanya. Sebenarnya ini lucu, kok ngotot sekali ya si beliau itu? Demi menghentikan komentar marah-marahnya, saya cukup berterima kasih. Karena mau dilawan pun tetap saja tak akan masuk ke logikanya, toh sudah banyak yang berbicara, tapi tetap aja dia malah balik marah-marah. Lucu!!!

Mencaci Penulis = Arogansi Pembaca
Selanjutnya, sedikit mengenai hal lucu lain terkait komentar. Cukup menggelitik sekaligus “menggemaskan” ketika membaca komentar yang terkadang keluar dari isi tulisan (bukan komentar OOT, semisal : menyimak, memberi emoticon atau komentar chatting, ini tak masalah bagi saya), tapi komentarnya itu menyudutkan dan mendiskreditkan orang lain yang memang tak sepaham dengannya hingga cenderung mengandung fitnah. Fitnah ini pun pernah saya alami, mau buktinya? Sudah saya screenshoot lho! Bahkan tak jarang, ada komentar orang yang bernada OOTpun tadi dijadikan bahan ejekan di artikel lain. Apa-apaan ini? Penting ya melakukan hal bodoh begitu?

Menurut hemat saya, hal-hal yang saya sebutkan tadi adalah suatu kesia-siaan karena tak dapat menanggapi opini si penulis. Mengapa hal tersebut terjadi? Bisa jadi disebabkan oleh :

1. Tidak mengerti
—> Pembaca tak mengerti akan topik yang sedang dibahas oleh penulis, cuma karena sudah terlanjur masuk ke tulisan itu, mau tak mau berkomentar juga. Tapi komentarnya, tak terkait isi tulisan. Misalnya menyerang ideologi dan keyakinan bahkan menuduh seseorang.

2. Malas Membaca
—> Hal itu dapat terjadi karena si pembaca malas membaca keseluruhan isi tulisan. nah, akibat malas membaca ini, jadi berkomentar asal-asalan.

3. Termakan Doktrin
—> Selain tak mengerti dan malas membaca sebuah tulisan, hal lain yang menyebabkan seorang pembaca menyerang penulis adalah karena ia telah termakan doktrin. Orang yang telah termakan doktrin ini, sungguh tak bisa menerima pandangan orang lain, bahkan cenderung berkomentar kasar. mungkin ia tak mau berkomentar demikian, namun akibat doktrin tadi, mau tak mau ia harus melakukannya.

*

Benar, bahwa tak semua orang harus mengerti maksud tersirat dalam sebuah tulisan. Bahkan tak jarang karena ketidakmengertiannya itu, ia menjadi berang sehingga memojokkan  si penulis. Meskipun beragam ilustrasi telah diberikan, namun tetap saja tak mau berpikir lagi. Baginya, si penulis itulah yang salah.

Mengapa terjadi demikian? Tak lain dan tak bukan, disebabkan oleh orang tersebut telah termakan doktrin yang mendarah daging dalam dirinya hingga dengan sedemikian naifnya ia menjalankan suatu hal yang sebenarnya memperlihatkan kebodohannya sendiri di hadapan orang lain. Oleh sebab itu, apapun yang disampaikan orang lain, akan langsung dikatakan sebagai sebuah kesalahan dan ia merasa harus segera mencari pembenaran. Dan dengan bangganya, ia menari-nari di atas kebodohannya sendiri. #miris

Berbeda itu adalah hal yang biasa. Kemudian bila menjadi bodoh untuk menjadikan diri ini pintar, tentunya tak masalah dan di sinilah point positifnya. Bahkan akan cenderung menjadi suatu hal yang aneh jika semua manusia memiliki pikiran yang sama. Namun adalah suatu kesia-siaan dan hanya membuang-buang waktu jika harus mempertahankan arogansi si logika tanpa menyeimbangkan dengan etika yang terus digunakannya demi menjatuhkan orang lain, bukan? [AZ]

You Might Also Like

0 komentar

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate