Kesejahteraan Seluruh Masyarakat Aceh Lebih Penting Ketimbang Seorang Wali Nanggroe!

13807239471808201312
Ilustrasi/Admin (Ajie Nugroho)
Sebagaimana yang telah tersiar di banyak media di awal oktober ini, Provinsi Aceh akan mengukuhkan wali nanggroe, Malek Mahmud Al-Haytar untuk jabatan “seumur hidup”. Sebenarnya, pengukuhan itu bukan kabar baru bagi penulis. Karena kabar yang beredar masih belum jelas (baca: sebatas wacana), makanya belum penulis sajikan. Menurut berita yang penulis ketahui, awalnya beliau akan dikukuhkan pada tanggal 20 Sepetember 2013 yang lalu bersamaan dengan kedatangan Presiden SBY ke Provinsi Aceh yang akan membuka Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VI seperti yang dikatakan oleh Ketua Badan Legislasi DPR Aceh, Selasa (13/8/13) di Banda Aceh, “Jadwal pengukuhan Wali Nanggroe masih tentatif. Namun, dalam rapat Badan Musyawarah DPR Aceh dijadwalkan pada 20 September mendatang.”

Ternyata hari ini, berita tersebut tersiar kembali . Dengan akan menelan biaya sebesar  Rp 50 Miliar yang juga telah disetujui oleh Gubernur Provinsi Aceh, Dr. Zaini Abdullah, pengukuhan yang disebutkan akan dilaksanakan pada bulan Desember 2013 ini. Tentunya hal “menggembirakan” ini menuai pro dan kontra dari sejumlah kalangan. Mengapa?

Seperti telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, pengukuhan Jokowi dan Ganjar Pranowo saja , tidak lebih dari Rp 500 juta, padahal jelas bahwa jabatan beliau adalah pemangku jabatan tertinggi di tiap daerahnya. Banyak pertanyaan yang harus dipertanyakan kepada Gubernur Aceh sendiri, misalnya seperti:

1. Wali Nanggroe ini siapa?
2. Fungsinya apa?
3. Mengapa dananya harus Rp 50 Miliar?
4. Setujukah semua masyarakat provinsi Aceh?

Sebelum lebih jauh menelusuri lebih banyak tentang wali nanggroe dan kontroversi Rp 50 Miliar ini, ada baiknya jika kita mengetahui, siapa Malek Mahmud Al-Haytar.

Malek Mahmud Al-Haytar adalah Mantan Perdana Mentri GAM yang diangkat menjadi wali nanggroe sejak terpilihnya Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf sebagai orang nomor satu dan dua yang berhak memerintah provinsi Aceh. Bukan rahasia lagi, beliau berdua adalah mantan gerakan seperatis GAM yang telah berjanji setia kepada NKRI lewat MoU (Memorandum of Understanding) 15 Agustus 2005, di Vinna, Helsinki, Finlandia. Bersama Marthi Atthisari, diplomasi yang dibangun oleh delegasi Indonesia - Provinsi Aceh ini telah memberikan harapan baru bagi kedamaian provinsi Aceh.

*

Wali nanggroe sebenarnya dipilih untuk menyatukan seluruh masyarakat provinsi serambi mekkah ini. Namun, kekeliruanpun menyeruak dikarenakan, Wali Nanggroe yang dikatakan mewakili seluruh rakyat Aceh, nyatanya tidak menjawab aspirasi seluruh rakyat.
Mengapa saya katakan tidak? Alasannya cukup sederhana. Provinsi aceh itu jelas memiliki perbedaan di tiap suku di dalam provinsinya. Tak hanya satu suku dan bahasa yang ada di sana, tapi banyak. Mungkin pembaca pernah mendengar, suku dan bahasa Gayo atau Alas misalnya?

Keduanya, dari segi adat dan budaya, tidak sama dengan provinsi Aceh dari pantai timur. Mereka yang ada di Aceh Tengah, dan Pantai barat hingga selatan juga tenggara Aceh, tidak setuju dengan adanya bendera bulan bintang seperti yang dimiliki GAM sebelumnya.
Dari segi pemikiran saja, mereka tak sama dengan wali nanggroe. Lalu, bagaimana bisa dikatakan bahwa wali nanggroe adalah wakil masyarakat Aceh? Untuk rekan-rekannya sesama eks. GAM, mungkin benar. Namun tidak, bagi mereka yang menuntut adanya pemekaran provinsi ABAS-ALA.

Tuntutan pemekaran ini yang sebenarnya patut dikhawatirkan. Mengapa demikian? Karena dari dahulu, walaupun kita/kami berbeda-beda suku, agama, budaya, dan adat istiadat, tak pernah ada tuntutan seperti ini. Kalaupun ada, mungkin sekedar wacana yang tak perlu dibesar-besarkan.

Namun, sejak adanya kasus bendera dan lambang Aceh ini, provinsi Aceh Tengah, Barat, selatan dan Tenggara pun ikut bergolak karena terus terang saja, mereka sangat setia pada NKRI dan tak menyetujui bendera itu. Seputar ini, banyak di media cetak, elektronik maupun internet.

Dengan kata lain, mereka yang menolak berkata bahwa, lebih baik menjadi provinsi dari pada berada dibawah kepemimpinan eks. GAM. Ini yang harus dipikirkan dan dicerna oleh pemangku jabatan wali nanggroe.

*

Dana menggembirakan (baca: tak wajar) ini sebenarnya adalah usulan dari Ketua Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Tgk Adnan Beuranyah yang meminta persiapan alokasi dana kepada pemerintah Aceh, mengingat wali nanggroe ini akan dikukuhkan pada Desember mendatang. Menurutnya, dana itu adalah dana maksimal untuk kesuksesan acara itu karena acara itu akan mengundang dan menjamu seluruh rakyat aceh, perwakilan pemerintah pusat dan raja-raja serta duta besar negara asing, baik yang ada di Jakarta maupun kota lain, juga perwakilan negara sahabat.

Sebelumnya, seperti yang telah disebutkan, Gubernur Aceh sendiri telah menyetujui pengalokasian dana itu. Dan sore tadi (02/10/13) , Jawaban itu dibacakan oleh Asisten III Setda Aceh, Muzakkar A Gani, dalam sidang paripurna perubahan anggaran pendapatan dan belanja Aceh tahun 2013, di gedung DPR Aceh. “Terhadap pendapat, saran dan usul anggota dewan yang terhormat, pada prinsipnya kami sepakat. Namun demikian, alokasi anggaran pengukuhan Wali Nanggroe harus sesuai dengan kegiatan yang akan dilaksanakan. Untuk kegiatan pengukuhan Wali Nanggroe yang direncanakan pada bulan Desember 2013 telah tersedia anggarannya pada Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh tahun 2013,” kata Muzakkar saat membacakan jawaban atas pandangan fraksi yang ditantangani oleh Gubernur Zaini Abdullah.

Seusai pembacaan jawaban dari Gubernur Aceh itu, beliau juga mengatakan kepada wartawan yang bertanya lebih lanjut, “ini bukan menolak dan menerima ya, kita melihat aspek kebutuhan dan mamfaat. Secara sebisa mungkin ada pertimbangan-pertimbangannya. Ya kita lihat dan sesuaikan dengan kegiatannya.”

Seharusnya, sebagai orang yang telah mengusulkan dana tak wajar ini, Tgk. Adnan Beuransyah yang merupakan politisi dari partai Aceh dengan jabatan Ketua Komisi A DPR Aceh juga wajib hadir dalam pembacaan jawaban Gubernur tadi. Lalu, ke manakah beliau? Seperti yang terlihat di sini, kursi beliau kosong.

*

Alokasi dana itu sejatinya tak disetujui oleh masyarakat Aceh mengingat masih banyak masyarakat yang hidup dibawah garis kemiskinan ketujuh se-indonesia dengan tingkat kemiskinan 20.98%. Seperti yang dikatakan oleh masyarakat bahwa mereka tak akan membayar pajak apapun jika hal tersebut masih mau dilanjutkan, toh Dana ini nantinya akan memakai dana rakyat. Menurut mereka ini adalah pemborosan yang kalaupun harus dilakukan hanya sebatas kanduri rakyat. Biaya pelantikan presiden saja hanya Rp 1.2 Miliar.

Tak hanya masyarakat, dari @UnsyiahHAba yang juga menyertakan berita yang mengatakan bahwa Wali Nanggroe Kuras Anggaran Acehbit.ly/16fUJZp#buang duit, padahal masih banyak orang miskin, mau bukti.. byk pengemis waktu PKA.”

Selanjutnya dari @desinometri: Pak Gubernur, 50 M untuk pelantikan wali nanggroe? Itu.. janji 1 Juta per KK waktu kampanye dulu kapan realisasinya Pak?

Nah lho… janji 1 juta/KK bagi seluruh rakyat aceh kembali menjadi pertanyaan. Janji itu kan terucapkan dari Gubernur-Wakil  gubernur ketika masa kampanye sebelum mereka terpilih di 9 April 2012 yang lalu. Masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan di Aceh sendiri.

Tak hanya rakyat yang menganggap Rp 50 Miliar itu adalah pemborosan, Kepala divisi Kebijakan Publik GeRak Aceh, Isra Safril mengatakan, “Saat ini pengusulan anggaran Rp. 50 miliar tersebut, tidak rasional dan tidak masuk akal. Angka Rp 50 miliar sangat besar apalagi event seperti itu hanya seremonial yang tidak menimbulkan dampak untuk pembangunan bagi masyarakat secara langsung.” Dalam hal ini, peran Gamawan Fauzi selaku Mentri Dalam Negeri tentunya tak tinggal diam dan mengurusi Lurah Susan. Ini masalah antar provinsi. Lurah Susan, biarkan diurus oleh Jokowi-Ahok.

Ditambahkan oleh Askalani, Koordinator GeRak Aceh, “biaya untuk pengukuhan Wali Nangroe, menurut Askhalani, silakan dialokasikan tapi yang rasional, yang tidak menciderai atau melukai rasa keadilan rakyat.”

Tak hanya GeRak (Gerakan Anti Korupsi) Aceh, masih ada LSM lain yang menolak “uang panas” ini. MaTa (Masyarakat Transparansi Aceh) melalui Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menilai usulan dana Rp 50 miliar untuk pengukuhanWali Nanggroe sangat tidak rasional. Ini mengesankan pengusulnya kurang peka dengan nasib masyarakat Aceh saat ini yang hidup dalam kesusahan, termasuk korban gempa di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang masih perlu bantuan lebih maksimal. Selain itu, KAMMI (Komunitas Mahasiswa Muslim) Aceh juga menolak uang panas ini untuk dihambur-hamburkan hanya berupa seremonial yang tak ada untungnya bagi kelangsungan hidup rakyat aceh sendiri.

Masalah bendera dan lambang Aceh saja belum selesai, sekarang malah ada lagi masalah baru yang cukup mengejutkan masyarakat. Seharusnya, mereka yang duduk di DPR Aceh, lebih mengetahui dan memperhatikan kesejahteraan nasib masyarakatnya dan bersedih atas predikat provinsi termiskin ketujuh seindonesia yang disandang oleh provinsi ini. Sebaiknya, mereka mengkaji ulang pemakaian dana ini, sebab sesungguhnya, dana sebesar ini tak ada manfaatnya. Bagi orang yang mampu mencernanya dengan baik, malah dana ini akan semakin banyak menimbulkan konflik intern di provinsi Aceh sendiri. []

You Might Also Like

2 komentar

  1. tidak heran ya jika aceh mau hengkang dari NKRI.
    lah wong..jarang diperhatikan ..
    tulisan blognya panjan2 ya mb..
    salut ..
    hehe

    BalasHapus
  2. heheheeheh,, saya gak enak klo gak nulis panjang..
    btw, tq yaa :)

    BalasHapus

Mengenai Saya

Foto saya
Just an ordinary girl who wanna be a woman someday

Translate