Demi Identitas Bangsa, Tenun Ulos Penting Direvitalisasi
Agar tak semakin tergerus
dinamisasi zaman, Ulos Batak yang merupakan warisan asli budaya Indonesia ini
adalah mutlak harus dikembangkan. Usaha ini sangat penting dilakukan, mengingat
demi identitas suku bangsa dan menjaga budaya leluhur. Jangan sampai, ketika
adanya klaim dari negara lain, seketika rakyat Indonesia, khususnya masyarakat
suku batak, mengutuk tindakan yang memang dinilai tak sepantasnya. Seperti yang
sudah pernah terjadi beberapa waktu yang lalu. Inilah yang seharusnya dilakukan
oleh masyarakat Indonesia, khususnya suku batak
Tindakan melestarikan
kejayaan ulos ini yang sangat giat dilakukan Sandra Niessen, seorang Antropolog
dari Belanda. Sebagai seorang yang bukan pribumi, dia sangat sedih melihat budaya ulos ini semakin terpinggirkan. Demikian
yang dikatakan Ritaonhy Hutajulu, Moderator
acara diskusi bertema Revitalisasi Tenun Batak, Kamis (29/1).
“Narasumber kita adalah Eda
Sandra, seeorang Belanda-Kanada. Dia sangat senang dipanggil Eda karena sangat mencintai budaya Batak. Namun,
dia juga yang mungkin bisa dikatakan sangat sedih jika melihat kenyataan dimana ulos
ini tak seperti dulu lagi. Seharusnya kepada Sandra yang orang luar, mau
meneliti dan ingin menjaga kelestarian kebudayaan kita, kita patut malu,” ujar
Ritha di Rumah Musik Suarasama Kawasan Selayang, Medan.
Sandra
mengatakan, apa yang dilakukannya disebabkan kecintaannya kepada Indonesia,
khususnya tenun ulos Batak yang membuatnya ingin selalu kembali ke sini
sehingga menganggap datang ke Sumatera Utara (Sumut) ini sebagai pulang
kampung.
“Ya, Sumatera Utara ini
bagaikan kampung halaman sendiri bagi saya. Saya sangat mencintai kebudayaan di
sini, apalagi terkait Ulos ini sendiri. Ulos inilah yang sangat mendesak untuk
dilestariakan agar tak punah,” tutur Sandra.
Dijelaskannya, kebanyakan
daerah Batak, sangat disayangkan tak memiliki banyak penenun lagi. Kalaupun ada, penghargaan untuk mereka,
terbilang kecil. Kenyataan seperti ini yang membuat para pengrajin tenun ulos
batak semakin ke sini semakin tak terlihat. Apalagi, modernisasi zaman seakan
sudah tak memberikan jalan bagi mereka untuk terus hidup. Itu terlihat dari
banyaknya pemakai ulos sekarang bukanlah ulos asli tenun lagi, melainkan
teknologi mesin yang bekerja.
Namun demikian, dia sangat senang jika Indonesia
sudah semakin maju. Namun diharapkannya, adanya keseimbangan dengan tenun asli.
Ini menurutnya, demi anak cucu orang batak sendiri yang sampai kapanpun harus
mengenal kebudayaannya sendiri. Maka dari itu diharapkannya agar semua pihak di Sumatera Utara, terlebih pemerintah daerah mau mensosialisasikan gerakan mencintai produk lokal Sumut sendiri.
“Banyak kenyataan sekarang yang
membuat saya merasa miris sekali terkait ulos Batak sendiri. Apalagi, dengan
kemajuan dan modernisasi zaman yang semuanya sudah diolah dengan
mesin. Pengrajin tenun ini seakan sudah tak ada. Padahal di kampung-kampung,
masih ada yang setia dengan budayanya. Namun, di sisi lain, saya juga senang
jika Indonesia menuju kebangkitan Ekonomi,” tutur Sandra lagi dengan Bahasa
Indonesia yang lancar.
Pada diskusi informal
tersebut, Sandra menceritakan tentang observasi dan perjalanannya ke berbagai
tempat pengrajin ulos dari tahun 1979, hingga membuat film dokumenter
bertemakan ulos batak tersebut bersama Mja Nashir pada tahun 2010, yang juga
menjadi narasumber pada acara tersebut. Diceritakannya pula , berkat banyaknya
perjalanannya ke beberapa daerah di Sumatera Utara, khususnya Toba Samosir,
akhirnya dia menerbitkan beberapa buku berbahasa Inggris diantaranya Legacy in
Cloth: Batak Textiles of Indonesia pada tahun 2009.
“Setelah saya menyelesaikan
buku yang juga hasil disertasi saya di Belanda, saya kembali ke Indonesia, dan
saya serahkan buku itu kepada beberapa pengrajin ulos di beberapa kampung di
daerah batak ini. Walaupun mungkin mereka tak mengerti bahasanya, namun
setidaknya mereka mengerti betapa saya sangat mencintai seni ulos batak yang
merupakan buatan tenun asli, bukan buatan mesin. Itu dapat dilihat dari
foto-foto di buka tersebut,” pungkas Sandra yang juga bisa berbahasa Batak.
Acara bertema revitalisasi
tenun batak tersebut terselenggara berkat kerja sama antara rumah musik
Suarasama dan Jendela Toba. Pada acara tersebut, hadir beberapa mahasiswa dari
Fakultas Etnomusikologi, FISIP, Fakultas Psikologi, dan FIB USU, serta
perwakilan dari Gedegap (tauko medan) dan Jendela Toba.
***
foto dari : www.tobatabo.com dan www.medanbisnisdaily.com
0 komentar