Starlink Elon Musk ke Indonesia. Akankah Satria-1 Tersingkir?
Nobar peluncuran Satria-1 https://www.menpan.go.id/ |
Seperti pada tulisan
saya yang sebelumnya ,
saya telah membahas betapa bangganya kita sebagai bangsa Indonesia, pada
akhirnya memiliki Satelit Republik Indonesia 1 (Satelit Satria-1) yang telah
meluncur ke luar angkasa pada 19 Juni 2023 lalu, pada pukul 5.21 WIB, dari Cape
Canaveral Spare Force Station, Orlando, Florida, Amerika Serikat. Dikatakan
oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), satelit ini adalah
satelit terbesar se-Asia.
Satelit tersebut
dikatakan akan beroperasi mulai akhir tahun ini, yang digadang-gadang,
bisa meluaskan penggunaan teknologi internet cepat, hingga ke seluruh Daerah
Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T) di Indonesia. Daerah 3T sendiri maksudnya
adalah wilayah di Republik Indonesia (RI), yang memiliki kondisi geografis,
sosial, ekonomi dan budaya, yang kurang berkembang bila dibandingkan dengan
daerah lain.
Meski tidak serentak,
perlahan nantinya, Satelit Satria-1 dipercaya dapat memenuhi kebutuhan kita
seluruh rakyat Indonesia, akan internet cepat secara merata, sebagai perwujudan
sila ke 5 Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Maka
dari itu, tentu peluncuran Satelit Satria-1, penting sekali untuk kita
apresiasi.
https://indonesiabaik.id/ |
Upaya yang telah dilakukan pemerintah ini, sudah cukup baik, mengingat proyek Satelit Satria-1, merupakan salah satu Proyek Strategi Nasional (PSN) tahun 2018. Proyek Satelit Satria-1 ini, sudah dianggarkan sebesar Rp 21.4 Miliar untuk 15 tahun perancangan, pengoperasian, dan pemeliharaannya. Namun demikian, bila dijumlah, investasi di proyek tersebut, kira-kira mencapai Rp 8 triliun, yang dibiayai oleh sindikasi perbankan internasional.
Satelit ini dikerjakan
oleh PT Pasifik Satelit
Nusantara (PSN) lewat anak usahanya SNT, bersama pabrikan piranti ruang angkasa
Prancis, Thales Alenia Space (TAS). TAS sendiri pernah menggarap satelit milik
PSN sebelumnya, Nusantara II, dan satelit yang dioperasikan Indosat, yakni
Palapa D.
Sementara itu, ternyata terlebih dahulu, dikabarkan bahwa satelit internet Starlink sudah siap beroperasi di Republik Indonesia. Starlink ini adalah proyek konstelasi satelit yang telah dikembangkan perusahaan transportasi antariksa SpaceX milik Elon Musk tahun 2015. Proyek tersebut dikatakan memiliki tujuan untuk memberi akses internet untuk masyarakat seluruh dunia. Namun, sampai saat ini izin resmi untuk pengoperasian secara retail ke pelanggan perseorangan, masih belum ada.
Satelit prototipe pertama dari Starlink, sudah diluncurkan ke orbit di tahun 2018. Jadi sejak saat itu, ribuan satelit telah diletakkan di orbit rendah bumi. Bisa dikatakan, Starlink ini, mau menjual layanan akses internetnya, ke masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan di mana pun, yang belum memiliki akses broadband internet berkecepatan tinggi.
https://www.weforum.org/ menyebutkan,
satelit orbit rendah bumi atau Low Earth Orbit (LEO), adalah teknologi untuk
melakukan perubahan pada teknologi internet. Dengan kata lain, LEO ini bisa
digunakan di daerah-daerah pedalaman.
Terkait LEO ini, juga
masih menjadi perdebatan oleh sejumlah astronom tentang lalu litasnya di
antariksa, bahkan di tahun 2019, International Astronomical Union, memberikan
pernyataan terkait konsekuensi yang tidak terduga untuk pengamatan bintang dan
perlindungan satwa liar nokturnal. Makanya setelah adanya peringatan tersebut,
Starlink menguji beberap desain baru, untuk mengurangi tingkat kecerahan dan
visibilitas dari satelitnya.
Kemudian, di tahun
2020, barulah perusahaan meluncurkan satelit VisorSat, yang dilengkapi dengan
penghalang khusus, setelah dilakukan pengujian DarkSat, yang mengikutsertakan
lapisan khusus non-reflektif.
Lalu pertanyaannya,
kenapa kita mesti membuat satelit baru satelit satria 1, kalau sudah ada
starlink yang masuk lebih dahulu ke Indonesia di tahun 2022?
Sebagai bangsa yang
besar dan negara berkembang, tentu Indonesia, mesti menunjukkan kemampuannya
berpartisipasi di skala global, demi kelancaran dan kecepatan teknologi
internet di Indonesia, khususnya daerah 3T, lewat satelit Satria-1. Tentu kita
tidak lupa, bahwa negara harus menjamin dan memenuhi hak-hak setiap warga
negaranya yang hampir 280 juta ini. Jadi jelas, Satelit Satria-1 adalah yang
terbaik.
Perbedaannya, untuk Satelit Starlink sendiri, bukan untuk
melayani pelanggan ritel. Satelit Starlink tersebut, digunakan untuk keperluan
internal Telkom Group.
Mantan Menteri Kominfo
Johny G. Plate pernah mengatakan, pihak Kominfo telah memberikan Hak Labuh
Satelit Khusus Non Geostationer kepada Telkomsat, supaya dapat menyelenggarakan
jaringan tetap tertutup satelit Starlink.
Jadi keduanya memiliki
peruntukan yang berbeda.
Makanya baru-baru ini,
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kominfo, Usman
Kasong juga mengatakan, Starlink itu low orbit dan
Satria-1 sendiri merupakan satelit high orbit. Maka dari itu,
teknologi yang digunakan kedua satelit ini, sangat berbeda.
Hal itu merupakan
penjelasan mengenai kabar bahwa Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan
Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan satelit
Starlink dipakai untuk menyediakan layanan akses internet di Indonesia
Timur.
Pertanyaanya,
sebelumnya disebutkan, tujuan diadakannya Satelit Satria-1, untuk di lokasi dan
peruntukan yang sama, bukan? Sekarang kenapa malah perlu Satelit Starlink lagi?
Kata Dirjen IKP tersebut,
satelit pemerintah satria-1, masih kurang untuk memenuhi kebutuhan akses
internet di puskesmas-puskesmas yang ada di sana.
Satelit Satria-1 ini
kan masih baru, yang memiliki kapasitas 150 Gbps yang dipakai rencananya di 150
ribu titik. Sekarang baru mampu diletakkan di 50 ribu titik yang kapasitasnya
masih terbatas di 1 Mbps. Jadi karena kita perlu internet kencang hingga akhir
tahun ini, makanya kita perlu bantuan satelit Starlink supaya bisa dapat
kapasitas 4 Mbps.
Pertanyaan berikutnya,
kenapa Puskesmas?
Kenapa Kementerian
Kesehatan (Kemenkes), tertarik bekerjasama dengan menggunakan Low Earth Orbit
(LEO) dari satelit Starlink ini?
Hal itu, masih di
tingkat penjajakan, karena Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melihat bahwa
Starlink memiliki pengalaman yang bagus di Benua Afrika.
Ketika Menteri
Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin ke Amerika Serikat, sempat bertemu dengan Elon
Musk, Budi membicarakan tentang kesuksesan Starlink di Afrika dan ketertarikan
Kementerian Kesehatan untuk menggunakan Starlink di daerah-daerah 3T di
Indonesia.
Hal ini memang cukup
menarik, karena kita sedang mengusahakan Satelit Satria-1 agar bisa mencukupi
akses internet di daerah-daerah 3T.
Ketua Umum Asosiasi
Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Muhammad Arif, jadi bingung. Menurutnya
Menteri Kesehatan, belum mendapatkan informasi yang jelas, terkait produk
telekomunikasi yang sudah ada di Indonesia. Padahal, satelit Satria-1 dan
provider internet lokal, sudah cukup mapan untuk beroperasi di daerah 3T yang
dimaksud. Katanya tinggal koordinasi saja. Terlalu cepat untuk meminta pihak
luar.
Namun
demikian, kesepakatan dengan Elon Musk, sampai saat ini, belum ada kesepakatan
apapun, kata Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia
Tarmizi. Tambahnya, nanti akan dikoordinasikan lagi sama
Kemkominfo.
Menteri
Komunikasi dan Informatika (Menkomifo), Budi Arie Setiadi menilai,
langkah Kemenkes tersebut, cukup baik. Sementara itu, untuk pemenuhan akses
internet tersebut katanya, akan melalui skema business to business (B2B).
Jadi
dengan penjelasan di atas, kesimpulannya, antara Satelit Starlink dan Satria-1,
sama-sama kita butuhkan. Namun, jelas berbeda peruntukannya.
Sekarang
ini, kita sangat membutuhkan Satelit Satria-1, yang memang merupakan satelit
terbaik untuk Indonesia, karena high earth orbit dengan
kapasitas lebih besar dan dapat menjangkau seluruh Indonesia.
0 komentar